Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Ekspor Sawit Dilemahkan Faktor Global

Andhika Prasetyo
07/8/2019 15:00
Ekspor Sawit Dilemahkan Faktor Global
Sejumlah pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit di PT Kimia Tirta Utama (KTU) di Kabupaten Siak, Riau.(ANTARA/FB Anggoro)

GABUNGAN Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat kinerja ekspor produk minyak sawit, baik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya serta biodiesel dan oleochemical, sepanjang semester pertama 2019, mencapai 16,84 juta ton.

Angka tersebut lebih tinggi 10% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang hanya 15,3 juta ton.

Kendati sudah membukukan peningkatan 10%, Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menilai capaian tersebut masih belum maksimal.

"Kenaikan volume ekspor ini seharusnya masih bisa digenjot lebih tinggi lagi," ujar Mukti melalui keterangan resmi, Rabu (7/8).

Ia mengatakan ada banyak hambatan yang tengah dihadapi industri sawit Tanah Air.

Di India, produk sawit olahan Indonesia dikenai bea masuk yang sangat tinggi yakni 54%. Hal itu membuat komoditas lokal kalah bersaing dari komoditas Malaysia yang hanya dikenai bea masuk 45%.

Baca juga: Indonesia Optimistis Kalahkan UE terkait Sawit

Akhirnya, volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya ke 'Negeri Bollywood' itu, pada semester pertama 2019, tersungkur 17% atau dari 2,5 juta ton menjadi 2,1 juta ton.

Hal serupa terjadi di Eropa. Dengan diberlakukannya kebijakan proteksionisme terhadap produk sawit, permintaan komoditas tersebut ke Benua Biru pun mengalami pelemahan.

Sepanjang semester pertama, ekspor CPO dan turunannya ke Eropa hanya mampu tumbuh 0,7% dari 2,39 juta ton menjadi 2,41 juta ton.

Penurunan juga diikuti oleh Amerika Serikat sebesar 12%, Pakistan 10%, dan Bangladesh 19%.

Praktis, capaian positif hanya dibukukan oleh pasar Tiongkok yang mengalami peningkatan permintaan sampai 39% dari 1,82 juta ton menjadi 2,54 juta ton.

"Meningkatnya permintaan dari Tiongkok merupakan salah satu dampak dari perang dagang antara negara itu dengan AS. 'Negeri Tirai Bambu' mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan kebutuhan mereka dengan minyak sawit," ucapnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya