Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Perang Dagang AS-Tiongkok Bayangi Pertemuan Pemimpin ASEAN

Tesa Oktiana Surbakti
20/6/2019 18:30
Perang Dagang AS-Tiongkok Bayangi Pertemuan Pemimpin ASEAN
Presiden AS Xi Jinping dan Presiden China Xi Jinping saat bertemu beberapa waktu lalu( (REUTERS/Damir Sagolj))

PARA pemimpin Asia Tenggara akan membahas dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bangkok, Thailand, akhir pekan ini. Seperti diketahui, Tiongkok bertekad untuk mendorong pakta perdagangan yang mencakup 40% perdagangan global, tidak termasuk AS.

Perselisihan di titik nyala Laut China Selatan dan tindakan Myanmar terhadap kelompok etnis Rohiingya, kemungkinan besar akan dibahas dalam pertemuan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) selama dua hari. Pertemuan di ibu kota Thailand dimulai pada Sabtu mendatang.

Baca juga: Perang Dagang Paksa BI Pertahankan Suku Bunga Acuan

Bagaimanapun, isu perdagangan dipastikan mendominasi agenda pembicaraan. Mengingat perang dagang antara dua ekonomi raksasa global, telah mendorong sejumlah produsen besar angkat kaki dari Tiongkok ke Asia Tenggara. Hal itu menimbulkan kekhawatiran atas masa depan perdagangan bebas.

Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif terhadap komoditas asal Tiongkok senilai US$ 200 miliar, mulai dari sepatu hingga mesin cuci. Sebuah langkah yang dibalas Tiongkok dengan mengenakan tarif atas komoditas AS senilai US$ 60 miliar.

"Salah satu penerima manfaat terbesar (dari perang dagang AS-Tiongkok) adalah ASEAN," pungkas Drew Thompson, peneliti Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Singapura. Pernyataannya menyoroti keuntungan yang diperoleh negara-negara industri berbiaya rendah di Asia.

Sejumlah perusahaan termasuk Brooks Running Company dan Haier, mulai memindahkan basis produksi di Tiongkok ke pasar yang berbiaya rendah, seperti Vietnam, Thailand dan Indonesia. Dengan konflik yang semakin sengit, Beijing mengintensifkan upaya untuk mendorong pakta perdagangan berskala besar yang menyasar Asia Tenggara.

Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) mencakup seluruh anggota ASEAN, yang ditambah India, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru. Lingkaran itu menghubungkan sekitar setengah populasi dunia, dan dinilai Tiongkok sebagai cara untuk merancang arsitektur perdagangan Asia-Pasifik. Apalagi, AS telah mundur dari kawasan tersebut. Tak lama setelah terpilih sebagai presiden, Trump menarik AS dari Kemitraan Trans Pasifik (TPP), yang digadang-gadang menjadi kesepakatan perdagangan terbesar di dunia.

Para pendukung berharap kesepakatan RCEP dapat ditandatangani akhir tahun ini. Akan tetapi, negosiasi menjadi alot ketika Australia dan Selandia Baru mendorong perlindungan lingkungan dan tenaga kerja "berkualitas tinggi".

Sementara itu, India berupaya mencari jaminan bahwa kesepakatan itu tidak akan memaksa pasarnya terbuka bagi komoditas bebas tarif dari saingan ekonomi utama, Tiongkok, melalui pasar Asia Tenggara. New Delhi digambarkan sebagai penentang keras terhadap kesepakatan perdagangan bebas.

Harapan adanya kemajuan konkret dalam pertemuan di Bangkok mulai meredup, walaupun negosiator RCEP dijadwalkan bertemu pada Sabtu mendatang. Jika tidak tercapai kesepakatan, para pengamat khawatir keuntungan jangka pendek ASEAN dari perang dagang AS-Tiongkok, akan dimusnahkan penurunan tingkat pertumbuhan global.

"Dengan perang dagang AS-Tiongkok yang terus berlanjut, ekonomi global jelas menderita. Itu hanya menjadi kabar buruk bagi seluruh pihak," ucap Fred Burke, analis investasi dari firma hukum Baker McKenzie.

Seperti biasa, sengketa pahit atas persaingan klaim di Laut China Selatan berpotensi hadir dalam pertemuan di Bangkok. Mengingat, terjadi tabrakan antara kapal Filipina dan Tiongkok di jalur perairan kaya sumber daya.

Awalnya, beberapa pejabat Filipina menyalahkan pelaut Tiongkok, karena sengaja menabrak kapal dan membuat nelayan Filipina terdampar di lautan. Namun, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mengecilkan insiden tersebut, seraya berkata, '"Itu hanya sebuah tabrakan".

Pengamat keamanan, Richard Heydarian, mengatakan titik nyala menggarisbawahi kebutuhan mendesak terkait pengetatan syarat dalam Kode Etik. "Jika otoritas Tiongkok tidak mengendalikan para nelayan mereka, situasi akan menjadi lebih buruk," tukas Heydarian.

Baca juga: BRI Raup Rp 218 Triliun dari Remitansi

Myanmar juga berhadapan dengan tekanan atas repatriasi kelompok etnis Rohingya yang saat ini mengungsi di kamp-kamp Bangladesh. Lebih dari 740 ribu orang Rohingya melarikan diri dari operasi militer pada 2017 di negara bagian Rakhine.

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, diharapkan hadir dalam pertemuan di Bangkok. Begitu juga dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Mahathir Mohamad, yang sebelumnya melanggar protokol diplomatik karena mengkritik sesama pemimpin ASEAN. (AFP/OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya