Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Pakar Sebut Penguasaan Negara Atas Air tak Berarti Ikut Mengelola

Mediaindonesia.com
03/5/2019 09:25
Pakar Sebut Penguasaan Negara Atas Air tak Berarti Ikut Mengelola
Gedung Mahkamah Konstitusi(Ist)

DALAM pertimbangannya saat membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) harus dikuasai negara.

Namun sejumlah pakar menafsirkan, hal itu bukan berarti negara juga harus ikut mengelolanya, dalam artian berbisnis air. Ini benang merah dari Diskusi Pakar bertema 'Menafsirkan Hak Penguasaan Negara Dalam Sektor Air' yang digelar di Jakarta, Kamis (2/5).

Hadir dalam acara itu Pakar Sumber Daya Air dari Universitas Ibnu Khaldun yang juga Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG), Mohamad Mova Al'Afghani, Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada, Ricardo Simarmata, Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, Amiruddin Ahmad Dajaan Imami, Pakar Hukum Unika Soegijapranata Semarang, Benekdiktus Danang Setianto, Peneliti Lingkungan Universitas Merdeka Malang, Gunawan Wibisono , Nurkholis Hidayat dari Kontras, Peneliti Limnologi LIPI, Arianto Budi Santoso, dan Pakar Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung sekaligus Sekjen Perhimpunan Ahli Air Tanah (PAAI), Irwan Iskandar.

Ricardo melihat hingga kini MK belum membuat penjelasan lebih lanjut terhadap tafsir itu.

Yang banyak tafsirnya justru lahir dari kalangan akademisi melalui tulisan-tulisan ilmiahnya. Dia curiga jangan-jangan MK mengeluarkan tafsir itu tanpa mengetahui karakteristik air. Artinya tanpa melihat dulu UU Pokok Agraria, di mana di sana bukan hanya mengatur soal tanah, melainkan juga air.

"Karena objek air ini penting untuk membayangkan konsep hubungan negara dengan sumber daya itu," ujarnya.

Dia juga mempertanyakan wewenang negara yang sudah masuk hingga ke wilayah hukum privat melalui BUMN/BUMD.

Padahal, seharusnya sesuai Pasal 33 UUD 1945, kewenangan negara itu tidak sampai ke sana. Mengambil contoh di UU Kehutanan, Pertambangan, Perikanan, meski disebutkan bahwa pengusahaannya diprioritaskan kepada negara tapi tidak seeksplisit yang ada di RUU SDA yang dengan jelas-jelas menyebutkan BUMN/BUMD itu diutamakan.

"Kenapa justru ada pembedaan. Di UU yang lain itu bahkan disebutkan hanya kalau pemerintah tidak cukup modal, maka dia akan mengajak swasta dengan pemberian izin atau kerja sama. Kalau di putusan MK soal UU SDA ini kan agak beda.

Dikatakan prioritas lewat BUMN/BUMD. Kalau di UU lain tidak seeksplisit itu," ucapnya. Benediktus juga melihat adanya ketidakjelasan rezim water right (sebagai pemilik) dan right to water (pembuat regulasi) dari kelima mandat MK terkait UU SDA.

"Artinya, ketika negara mau membuat beleid, itu kan harus bersinggungan juga saat dia mau masuk ke water right sebagai pemiliknya atau sebenarnya dia mau masuk hanya sebagai bagian dari regulasinya. Dalam lima mandat MK itu sendiri kan benturan keduanya tidak jelas.

Risikonya, prinsip-prinsip mengenai sumber daya air sudah pasti kacau," katanya.

Menurutnya, lima prinsip MK di UU SDA itu seharusnya membedakan penguasaan air oleh negara antara hak milik dan pembuat regulasi.

"Kalau saya melihat penguasaan negara dalam mandat MK itu lebih kepada hak milik atau water right.

Bahwa pengusahaannnya harus mempertimbangkan human rights iya. Tapi prinsip dasarnya ini kan harus dikejar dulu. Kalau sampai kepada human rights apakah harus pada manajemen langsung atau tidak. Mestinya dibatasi sampai publik saja, tidak sampai manajemennya," tuturnya.


Baca juga: Program Biodiesel Bisa Tekan Uni Eropa


Mova malah mempertanyakan kemampuan BUMN/BUMD jika nantinya diberikan kekuasaan untuk mengelola sumber daya air. Dia juga merasakan aneh kenapa harus BUMN/BUMD yang diperbolehkan mengusahakan air dalam putusan MK itu.

"Pada prinsipnya semua orang bisa mengusahakan air, beda dengan Pertamina yang dengan susah mengusahakan minyak," paparnya.

Amiruddin mengatakan, seharusnya negara itu hanya menguasai saja dan tidak ikut berdagang secara komersial.

"Ini harus didudukkan dulu supaya jelas. Apalagi ada kata-kata prioritas BUMN/BUMD itu sangat mengacaukan" ujarnya.

Irwan juga menafsirkan prinsip MK itu mengandung arti negara harus bertanggung jawab atas ketersediaan air di masyarakat. Artinya, kalau tidak mampu seharusnya negara menunjuk swasta untuk mengelolanya.

Dia mencontohkan di Bandung di mana pengambilan air tanah dominan oleh hotel. Itu terjadi karena negara tidak bias menyediakannya lewat PDAM. Jadi meski hotel itu sebenarnya bukan pengusahaan air, tapi karena negara tidak sanggup, mereka terpaksa melakukannya.

Nurcholis melihat masalah penguasaan air ini sangat tergantung pada bagaimana kapasitas negara untuk melakukan pemetaan yang konprehensif terhadap ketersediaan air.

"Karena di situ lah negara bisa melakukan fungsi kontrolnya untuk mencegah monopoli," ujarnya.

Gunawan menegaskan bahwa sebetulnya tidak perlu ada penegasan secara eksplisit soal prioritas BUMN/BUMD.  Sebab menururtnya, penguasaan air ini sasarannya adalah kelestarian dan keberlanjutan.

"Jadi sebaiknya jangan lagi menggunakan kata prioritas BUMN/BUMD, karena ini sangat mengganjal di semua pihak terkait," katanya.  (RO/OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya