Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
Industri Dalam Negeri Tertinggal karena Malas Membangun di Masa Lalu
KRISIS moneter 1998 tidak hanya membawa dampak buruk bagi industri di dalam negeri. Fenomena itu juga memberi keuntungan bagi beberapa pelaku usaha terutama yang bergerak di sektor komoditas atau barang mentah.
Demikian diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam Rapat Koordinasi Kementerian Perdagangan di Jakarta, Selasa (12/3).
Ketika kurs rupiah luar biasa melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), dari Rp2.600 per dollar AS menjadi Rp9.000 per dollar AS, banyak pengusaha mengambil kesempatan.
"Mereka mencari barang yang bisa diekspor secepatnya, seperti hasil tambang, kebun," ucap Darmin.
Selama bertahun-tahun, tren tersebut berjalan. Tanpa disadari, kondisi itu membuat industri manufaktur dalam negeri tidak bergerak. Pasalnya, mengekspor produk olahan atau barang jadi butuh proses panjang dan modal yang besar.
Saat itu, skema tersebut tidak menjadi pilihan bagi pelaku usaha. Mereka hanya ingin mendapatkan hasil dari proses yang instan. Pemerintah pun tidak banyak mengambil tindakan untuk mengubah situasi tersebut.
"Ya karena banyak yang berkepentingan, maunya hanya impor-impor saja. Akhirnya, 2005, saat minyak defisit, baru mulai sibuk urus industri hilir. Itu yang akhirnya membuat industri kita agak tertinggal. Bagi orang yang kritis, mereka bilangnya jauh tertinggal, bukan hanya agak," tuturnya.
Permasalahan itu akhirnya diwariskan hingga saat ini. Industri manufaktur Tanah Air masih belum mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Namu, kini sedang diubah pemerintah.
"Sekarang kita coba dorong hilirisasi dari produk-produk sumber daya alam. Apa yang mau diekspor, kita siapkan kebijakan di industrinya," sambung Darmin.
Baca juga: Jokowi Perintahkan Permudah Izin Industri Hilirisasi
Ia mengatakan ada banyak daftar industri yang belum dimiliki Indonesia. Seperti yang mendasar saja yakni besi baja dan petrokimia jumlahnya sangat sedikit.
"Dulu, waktu Indonesia masih surplus migas, tidak ada yang bangun industri itu secara masif. Jika saja dulu itu dilakukan, tentu sekarang kita sudah memiliki fondasi yang kuat karena memiliki bahan baku melimpah," jelas Darmin.
Kendati demikian, ia tidak pesimistis. Kesempatan membangun industri petrokimia masih terbuka karena Indonesia memproduksi banyak batu bara.
"Batu bara bisa diolah menjadi gas untuk kemudian dimanfaatkan industri petrokimia. Kita bisa bikin macam-macam produk dari situ, poliester, plastik, farmasi, bahan-bahan kimia dasar. Jangan sampai, ketika batu bara juga habis, petrokimia belum terbangun," tegasnya.(OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved