Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
KONDISI pasar properti Tanah Air diperkirakan baru akan jelas setelah Pemilu 2019 selesai digelar. Saat ini minat beli konsumen dan investor cenderung mengambil sikap wait and see dan selektif.
"Kalau kita lihat memang itu suatu kondisi realitas, kecuali mungkin FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) --untuk rumah sederhana--, yang lain saya rasa wait and see sampai perkembangan pemilu beres," ujar Wakil Sekretaris Real Estate Indonesia (REI), Bambang Eka Jaya, saat dihubungi, Senin (18/2).
Untuk diketahui, kenaikan harga properti residensial di pasar primer pada triwulan IV 2018 melambat. Hal itu tecermin dari indeks harga properti residensial (IHPR) yang tumbuh 0,35%, lebih rendah jika dibandingkan dengan indeks triwulan sebelumnya yang tumbuh 0,42%.
Menurut Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) yang menyampaikan hasil survei harga properti residensial (SHPR) BI di Jakarta, Selasa (12/2), perlambatan kenaikan harga properti residensial tersebut bersumber terutama dari rumah tipe kecil.
Dijelaskan, pada triwulan IV 2018, penjualan properti residensial turun 5,78%, tetapi itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan penjualan pada triwulan sebelumnya yang turun 14,14%.
Sementara itu, pada triwulan I 2019, harga rumah diprediksi meningkat 0,42% disebabkan kenaikan harga bahan bangunan dan upah tenaga kerja.
Menurut Bambang, mengacu pada hasil survei BI itu, tren penurunan sebenarnya lebih dari 23% daripada yang sebelumnya.
Karena itu, segmen rumah menengah atas yang sifatnya menjadi rumah kedua atau rumah investasi merasakan pengaruh yang besar.
Namun, lanjutnya, penurunan pembelian untuk rumah tipe kecil rentang harga di atas FLPP Rp300 juta hingga Rp600 juta juga terpengaruh. Pemain di segmen ini juga sudah berupaya memberikan sejumlah kemudahan baik dari segi suku bunga, metode pembelian, maupun penawaran diskon.
"Kalau untuk segmen primary hampir semua tiarap. Pasar kita lihat sedang tidak kondusif sekali sehingga kami terpaksa menunda meluncurkan proyek hunian harga Rp500 juta hingga Rp700 juta di Tambun, Bekasi," terang Bambang.
Bambang menjelaskan, properti residensial pasar primer biasanya disasar konsumen yang berharap pada kondisi kompleks hunian yang lebih baru atau pasangan yang ingin melakukan peningkatan kualitas.
Berbicara supply and demand<p>, Bambang melihat permintan tidak terlalu banyak, tetapi ketersediaan residensial stok lama masih banyak yang belum terserap. Ia menyebut ketersediaan properti seharga Rp500 juta hingga Rp2 miliar sebagian tidak terserap.
Karena itu, perlambatan kenaikan harga properti residensial di pasar primer ini tidak selalu berarti negatif harga turun. Sebaliknya, melambat sebenarnya, harganya tetap naik tetapi penyerapannya tidak meningkat, malah menurun. "Harga tetap naik tapi penyerapan yang agak berat," kata Bambang.
Gunakan dana internal
Hasil survei BI juga mengindikasikan bahwa penggunaan dana internal memiliki porsi besar dalam pembangunan properti residensial. Porsi penggunaan dana internal pengembang pada triwulan IV 2018 sebesar 58,02%, meningkat jika dibandingkan dengan porsi pada triwulan sebelumnya sebesar 55,73%.
"Sesuai dengan laporan BI, sebagian besar pengembang yang bergerak mengunakan dana pribadi bukan dana pinjaman. Artinya pengembang-pengembang yang bergerak ini menggunakan dia punya saving atau dana yang mereka punya," kata Bambang.
Di sisi lain, porsi penggunaan pinjaman dari perbankan oleh pengembang properti pada triwulan IV 2018 menurun menjadi sebesar 31,18%, dari 33,95% pada triwulan sebelumnya. "Sementara itu, persentase konsumen yang melakukan pembelian rumah dengan menggunakan KPR tetap tinggi, yaitu sebesar 76,73% pada triwulan IV 2018," tulis rilis BI. (Hym)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved