SAMPAI pada akhir 2015, penerimaan perpajakan masih berada di bawah target, yakni sebesar Rp1.055 triliun (netto), dari Rp1.294,25 triliun, dan penerimaan bea dan cukai (netto) Rp181 triliun. Sehingga, realisasi penerimaan perpajakan adalah 81,5%, namun apabila termasuk bea cukai, menjadi 83%.
Maka, melihat pada realisasi 2015 tersebut, sebaiknya pemerintah segera melakukan revisi target penerimaan perpajakan di 2016. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam siaran pers yang diterima Media Indonesia pada Minggu (3/1).
Pihaknya menyarankan, target penerimaan pajak sebaiknya direvisi dari Rp1.368 triliun menjadi Rp1.260 triliun, sudah termasuk potensi tambahan dari pengampunan pajak, dan juga menurunkan target penerimaan cukai dari Rp145 triliun menjadi Rp135 triliun, serta ekstenfisikasi objek cukai.
"Hal ini penting untuk memberi ruang pemulihan ekonomi, menjaga iklim investasi, dan kesempatan yang jernih bagi reformasi sistem perpajakan."
Selain itu, belajar dari pengalaman 2015, Prastowo berpendapat, Presiden sebaiknya segera membentuk Unit Khusus Kepresidenan yang bertugas mengawal proses reformasi perpajakan dengan tugas utama melakukan terobosan, debottlenecking, dan harmonisasi yang sifatnya lintas sektor dan institusi.
Meski begitu, lanjutnya, pemerintah masih patut untuk mendapat apresiasi, sebab secara umum pencapaian ini cukup bagus, apalagi mengingat situasi ekonomi yang sedang melambat.
"Kami mengapresiasi kinerja Kementerian Keuangan dan jajarannya sebab masih dapat mencapai penerimaan yang cukup tinggi dan sekaligus menjaga defisit APBN 2015," ujar Prastowo.
Namun, pemerintah sebaiknya tidak lantas berpuas diri dan segera mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan selama 2015, agar kinerja 2016 lebih baik. Menurutnya, situasi krisis harus dengan cerdas dimanfaatkan sebagai momentum perbaikan arsitektur fiskal yang menyeluruh, guna mendukung kesinambungan fiskal.(Q-1)