Pemerintah belum lama ini mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sebagai respons atas gejolak perekonomian yang terjadi. Kendati demikian, sejumlah kalangan pengamat mengkritisi implemntasi paket kebijakan tersebut.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan paket kebijakan ekonomi yang dikerluarkan pemerintah masih bersifat normatif. “Paket kebijakan kurang nendang karena masih bersifat normatif. Banyak kebijakan, aturan yang baru akan direvisi atau deregulasi,†ujar dia di Jakarta, Rabu (16/9).
Dia ragu implementasi sejumlah aturan yang akan mengalami revisi dan deregulasi dalam paket kebijakan dapat dirampungkan dengan cepat.
“Kita kurang percaya kalau hal itu akan terselesaikan dalam waktu cepat. kalau tdk ada tekanan dan koordinasi kementerian lembaga. Bagaimana mengkoordinasikan kementerian lembaga, sementara suasana kabinet sekarang antara menteri pun begitu,†kata dia.
Selain itu, paket kebijakan yang dikeluarkan juga dia rasa belum mengakomodir kebutuhan dunia usaha sepenuhnya. “Kalau deregulasi bermaksud untuk memudahkan dunia usaha, ya dunia usaha perlu diakomodasi. Sementara birokrat punya mindset yang berbeda,†ujar dia.
Dia mengungkapkan bahwa pemeritah memang melakukan deregulasi untuk mendukung industrialisasi, Tapi, sayangnya, pemerintah sangat agresif dalam mematok target penerimaan dari pajak. “Masing-masing pelaku industri mengusulkan deregulasi terutama terkait usulan pajak. Tapi, target dan kebijakan pajak malah sangat agresif di tengah perekonomian yang melesu. Ini yang dirasa masih ruwet,†kata dia.
Pakar Ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri juga menyampaikan kritik terhadap paket kebijakan yang telah dikeluarkan. Menurutnya, salah satu tujuan paket kebijakan untuk menstabilisasi moneter, dengan menitikberatkan OJK dan BI sebagai anchor.
“Tapi kelihatannya isi paket kebijakan abstrak semua,†kata dia.
Dia menyoroti sejumlah relaksasi aturan yang masih belum memasuki tahap finalisasi tapi sudah dimasukan ke dalam paket kebijakan. “Aturan dalam paketnya saja baru ada yang masih akan. Baru akan,†kata dia.
Padahal, menurutnya, urgensi aturan moneter pemerintah yang baru dikeluarkan secara bertahap sudah sangat mendesak. “Kita mesti sabar tapi rupiah kan tak akan sabar. Perlu ada quick win,†kata dia.
Dia mengumpamakan pemerintah bisa saja bergerak cepat dalam menetapkan kebijakan menahan laju pelemahan rupiah dengan menggunakan cara jitu. Misalnya, dengan memanfaatkan bilateral swap dengan mitra ekspor impor terbesar yaitu Republik Rakyat Tiongkok.
“Ekspor impor kita paling besar dengan China, perlu bilateral swap dengan China agar kegiatan ekspor impor tak perlu pakai dolar. Itu yang harusnya disosialisasikan,†kata dia.(Q-1)