Selasa 14 April 2015, 00:00 WIB

SKK Migas Usulkan Model Baru Bagi Hasil Hulu Migas

Jessica Sihite | Ekonomi
SKK Migas Usulkan Model Baru Bagi Hasil Hulu Migas

ANTARA/Yudhi Mahatma

 
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengusulkan perubahan mekanisme bagi hasil dalam industri hulu migas, yakni gross PSC (production sharing contract).

Wacana yang diutarakan Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana itu bertujuan untuk lebih mendorong investor untuk mau mengeksplorasi migas di dalam negeri. Pasalnya, mekanisme bagi hasil yang diterapkan saat ini masih kurang menarik lantaran banyaknya pungutan kepada investor, padahal sumur yang dieksplorasi belum tentu bisa berproduksi menghasilkan minyak dan gas.

"Saat ini negara mengambil terlalu banyak dari kegiatan industri migas. Lalu, mengambil tidak cuma dari PSC, tetapi juga dari pajak, perizinan dan lainnya. Bagi investor, itu merupakan share government. Mereka kan tidak dapat benefit dari itu," kata Gde di Jakarta, Senin petang (13/4).

Yang nantinya akan membedakan Gross PSC dengan PSC saat ini adalah dihapusnya cost recovery dan First Tranche Petroleum (FTP).

FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun, yang dapat diambil dan diterima oleh badan pelaksana dan/atau kontraktor dalam tiap tahun, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi.

"Kalau gross PSC nantinya di split dari net gross. Yang penting negara dapat 50%, sisanya terserah KKKS bagaimana ingin membelanjakan itu. Itu sistem gross PSC," lanjutnya.

Gde menambahkan, mekanisme gross PSC tidak akan membuat sistem PSC yang berlaku saat ini dihilangkan, tidak pula digantikan dengan sistem tax and royalty yang bertentangan dengan konstitusi.

Seperti diketahui, pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 berisi tentang penguasaan sumber daya alam oleh negara. Sedangkan dalam sistem tax and royalty, setiap produksi migas yang dihasilkan langsung dibagi ke negara dan kontraktor dengan porsi yang disepakati sebelumnya tanpa adanya pengawasan.

"Sebetulnya sub kontrak yang kita lakukan sekarang itu kombinasi antara royalty dan PSC. Di dalam PSC, dikenal ada FTP yang besarnya 10%-20%. Itu dibagikan dengan KKKS dan pemerintah," kata Gde.

Dengan dihapusnya dua komponen itu, menurut Gde, penerimaan negara akan lebih terjaga karena negara tidak perlu membayar cost recovery kepada para KKKS. "Apalagi untuk lapangan-lapangan non konvensional," pungkasnya. (Jes/E-2)

Baca Juga

Ist

Mahasiswa Polbangtan Kementan Komitmen Majukan Peternakan Indonesia

👤mediaindonesia.com 🕔Selasa 28 Maret 2023, 22:34 WIB
Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (Ismapeti) siap memajukan peternakan dan mendukung kedaulatan pangan...
DPR RI

DPR: Bulog Lebih Sibuk Urusi Impor daripada Penyerapan Panen Raya

👤mediaindonesia.com 🕔Selasa 28 Maret 2023, 20:49 WIB
Rencana impor beras sebanyak 2 juta ton adalah langkah mundur dan menyakiti hati...
Antara/RENO ESNIR

Krisis Bank AS dan Eropa, Ini Tanggapan Dirut Bank Mandiri

👤Fetry Wuryasti 🕔Selasa 28 Maret 2023, 20:10 WIB
Bangkrutnya bank-bank besar di Amerika, termasuk Credit Suisse di Eropa, serta krisis di Deutsche Bank menjadi sebuah pelajaran penting....

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya