Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
ASOSIASI Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) meminta Pemerintah untuk menurunkan bea ekspor cangkang sawit.
Hal itu perlu dilakukan mengingat tidak semua cangkang sawit bisa dimanfaatkan di dalam negeri.
"Dari 8,3 juta ton cangkang sawit, baru 1,9 ton yang diekspor dan sisanya banyak yang tidak termanfaatkan. Sebetulnya ini peluang Indonesia tetapi terhalang oleh pajak ekspor yang mencapai US$7 ditambah US$10 pungutan sawit untuk per ton cangkang sawit. Sementara Malaysia tidak menerapkan pajak itu," kata Ketua APCASI Dikki Akhmar pada diskusi bertema 'Mewujudkan Kemandirian Energi Ramah Lingkungan Berbasis Sawit' di Jakarta, Kamis (3/5).
Ia menjelaskan, akibat pajak ekspor yang berlaku sejak Juni 2015 itu, dari 35 eksportir cangkang sawit hanya lima saja yang masih bertahan. Banyak bisnis ikutannya yang berhenti seperti transportasi, dan pekerja penyortir.
"Akibat lainnya adalah ketika banyak cangkang sawit yang menumpuk karena tidak diekspor, akhirnya hukum pasar berlaku dan harga cangkang sawit jadi turun," katanya.
Menurut dia, bea ekspor yang wajar untuk cangkang sawit itu berkisar US$3 per ton untuk bea ekspor dan US$3 per ton untuk bea pungutan sawit. Sehingga eksportir masih punya marjin untuk menjalankan usahanya.
Saat ini harga cangkang sawit dunia berkisar antara US$77-US$79 per ton. Namun pengusaha juga dikenai pajak PPN untuk pembelian cangkang sawit.
Ia mengungkap, banyak dampak ikutan dari bisnis cangkang sawit seperti bisnis angkutan cangkang sawit dari pabrik ke pelabuhan yang mencapai Rp150 miliar per tahun. Selain itu ada 385 tenaga kerja yang terlibat mulai dari supir, tenaga pemilah, dan tenaga bongkar muat.
Bahkan pajak PPN dari pembelian cangkang sawit mencapai Rp67,5 miliar per tahun. Saat ini Jepang membutuhkan cangkang sawit untuk menggerakkan dua pembangkit listrik tenaga biomasa, sementara ke depan negara itu juga menambah lagi tujuh pembangkit dari biomassa.
Ia juga berharap cangkang sawit yang melimpah itu bisa digunakan oleh pembangkit di Indonesia misalnya menggunakan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit.
Sementara Kasubdit Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Kementerian Perindustrian Lila Harsah Bachtiar yang hadir pada acara itu juga mengatakan, pajak ekspor cangkang sawit itu bisa direvisi. Tetapi ada prosesnya dan ia berharap pengusaha mengajukan usulan dengan alasan-alasan yang tepat.
Lila mengungkapkan, alasan pemerintah menerapkan pajak ekspor cangkang sawit itu karena bahan itu dinilai sebagai sumber biomassa untuk menggerakkan pembangkit listrik. Sehingga diharapkan bisa digunakan di dalam negeri.
Limbah cangkang sawit di Indonesia pada 2020 diperkirakan mencapai 10,4 juta ton, dengan nilai kalori mencapai 3.300 kkal per kilogram. Sehingga jika dimanfaatkan untuk pembangkit listrik bisa menghasilkan ratusan megawatt. (O-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved