Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
PARA pengusaha batu bara tidak keberatan dengan kebijakan pemerintah yang mematok harga batu bara dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar US$70 per metrik ton. Mereka pun mengaku siap menjalan-kan aturan yang dikeluarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
Penegasan itu disampaikan sejumlah pengusaha batu bara kepada Komisi VII DPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Dalam pertemuan itu sebanyak 15 perusahaan batu bara mengaku tidak sampai rugi meski saat ini harga batu bara acuan (HBA) berada di kisaran US$90-US$100 per metrik ton. Akan tetapi, aturan DMO itu diakui memang menurunkan potensi keuntungan yang bisa diperoleh.
Direktur Utama PT Arutmin Indonesia, Ido Hutabarat, misalnya, mengakui adanya potensi kehilangan penerimaan hingga Rp920 miliar. Potensi kehilangan pendapatan itu, kata dia, berasal dari batu bara yang akan dijual ke PLN tahun ini sebanyak 7,4 juta ton.
“Tetapi kami sebagai kontraktor pemerintah selalu mematuhi apa yang ditetapkan. Kami sangat mendukung karena ini adalah untuk kepentingan rakyat banyak,” ujarnya, kemarin.
Direktur Bumi Resources yang mewakili PT Kaltim Prima Coal (KPC), Eddie J Soebari, mengatakan ketentuan DMO menurunkan potensi pendapatan mereka sebesar Rp2,5 triliun.
“Untuk KPC, kalau batu bara DMO 25% ke PLN atau 12,7 juta ton itu perbandingan harga US$70 DMI dengan HBA, potensi kehilangan pendapatan kami Rp2,5 triliun,” tegasnya.
Direktur Mahakam Sumber Jaya Eddy Sumarsono menyebut penetapan DMO untuk PLN tidak membuat mereka rugi.
“Ada selisih US$18 per metrik ton untuk 25% ke PLN. Itu bukan rugi, tapi hanya mengurangi keuntungan,” jelasnya.
Sesuai UUD
Ketika mendengar pendapat para pengusaha batu bara tersebut, Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron menilai penetapan harga DMO sudah benar.
Pasalnya kebijakan itu tidak membuat pengusaha batu bara merugi.
Menurutnya, kebijakan politis itu memang dibuat untuk membantu keuangan PLN agar harga listrik tidak naik. Jika dibiarkan mengacu pada harga pasar, akan menyulitkan keuangan PLN.
“Karena bahan bakar listrik kita 54,5% bergantung pada batu bara dan kenaikannya saat ini luar biasa. Kenapa ada special price untuk PLN, karena sesuai Pasal 33 UUD 1945 cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai dan dikelola negara,” tukasnya.
Anggota Komisi VII Kurtubi mengatakan dengan harga DMO yang dipatok US$70 per metrik ton seharusnya masih bisa disyukuri pengusaha batu bara.
Pasalnya pemerintah hanya mewajibkan 25% untuk PLN sehingga perusahaan masih bisa mengekspor hingga 75% dari produksi dengan harga pasar untuk mendapatkan keuntungan.
Menurut Kurtubi, kebijakan DMO batu bara tersebut juga masih berpihak pada pengusaha. Jika dibandingkan dengan DMO minyak pada 1970-an, pemerintah saat itu menetapkan DMO minyak sebesar US$20 sen, padahal harga minyak kala itu US$3 per barel.
“Ini jauh lebih berpihak pada perusahaan batu bara daripada di migas pada saat penerapan DMO tahun 70-an,” pungkasnya. (E-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved