Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
PEMERINTAH dan pemangku kepentingan komoditas teh Indonesia melaksanakan misi advokasi Indonesia Tea Trade Mission (ITTM) ke Uni Eropa (UE) pada 3-9 Desember 2017.
Misi tersebut dilakukan lantaran ekspor teh ke 'Benua Biru' kian menurun.
Diirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan UE telah menghambat ekspor teh Indonesia lewat kebijakan Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 yang diterbitkan pada 23 Oktober 2014 dan berlaku mulai 18 Mei 2015.
Akibatnya, volume dan nilai ekspor teh Indonesia ke UE rata-rata menurun 20% dalam 5 tahun terakhir.
"Misi advokasi teh ini diharapkan dapat meminimali-sasi hambatan ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa sehingga ekspor produk teh Indonesia di kawasan ini kembali berjaya," kata Oke dalam keterangan resminya, Minggu (3/12).
Oke menjelaskan regulasi UE itu mensyaratkan ambang batas residu anthraquinone (AQ) dalam daun teh kering sebesar 0,02 mg/kg dengan alasan melindungi konsumen teh dari bahaya penyakit yang bersifat karsinogenik.
Dasar penetapan regulasi itu ialah prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
Pemerintah Indonesia melihat penentuan ambang batas AQ tersebut hanya ditentukan secara default dengan menggunakan batas terendah dari suatu metode analisis untuk penetapan kadar.
Penentuan ambang batas tersebut juga tidak berdasarkan analisis risiko karena tidak ditemukannya dokumen analisis risiko untuk AQ yang dilakukan European Food Safety Authority.
Dalam misi ke UE, kata Oke, delegasi Indonesia akan mempresentasikan bukti ilmiah yang merupakan hasil studi Pusat Pengujian Mutu Barang Kementerian Perdagangan bersama peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasil studi menunjukkan bahwa ambang batas residu AQ yang dapat ditoleransi manusia ialah 0,2 mg/kg dengan mempertimbangkan analisis risiko, atau lebih longgar dari yang ditetapkan Komisi Eropa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved