Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PEMBANGUNAN pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) diperkirakan akan mengambang tanpa keputusan yang jelas. Boleh dibilang sekadar studi dan kajian tanpa tindak lanjut. Padahal, sudah ratusan miliar uang rakyat dipakai untuk studi maupun mempersiapkan infrastruktur.
"Padahal, hampir semua oke, kecuali komitmen nasional saja," ujar Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto, saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Ia mencontohkan studi tapak Bangka Belitung menghabiskan sekitar Rp150 miliar yang dikeluarkan dari anggaran Batan. Belum lagi studi yang sudah dilakukan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dalam menyiapkan infrastruktur peraturan. Pada 2009, lanjut Djarot, Batan juga telah meminta badan internasional untuk mengevaluasi kesiapan Indonesia untuk pembangunan PLTN.
Demi meyakinkan Dewan Energi Nasional (DEN) agar mempertimbangkan kembali opsi nuklir, pihaknya melayangkan surat yang berisi hasil survei terbaru mengenai naiknya dukungan masyarakat terhadap pembangunan PLTN.
Dalam survei itu disebutkan, 75,3% masyarakat setuju dengan pembangunan PLTN. Bahkan, mayoritas penduduk luar Jawa justru menyatakan dukungan lantaran frustrasi dengan kondisi kelistrikan di Tanah Air (Media Indonesia, Selasa, 22/12).
"Ada dua anggota DEN yang menentang opsi nuklir, saya tidak tahu kenapa," tambah Djarot.
Padahal, lanjutnya, yang berhak mengatakan nuklir itu harus ialah Kementerian ESDM khususnya Dirjen EBTKE. Data tentang sumber panas bumi, surya, hidro, dan sebagainya bisa menjadi basis untuk go nuclear.
Lebih mahal
Di sisi lain, saat dihubungi secara terpisah, anggota DEN dari unsur pemangku kepentingan (akademisi) Rinaldy Dalimi menilai tidak ada alasan rasional lagi yang bisa digunakan untuk membangun PLTN di Indonesia. "Harganya lebih mahal daripada PLTU. Kalau PLTN dibangun, subsidi listrik akan meningkat," katanya.
Selain itu, menurut dia, akan mengganggu kemandirian karena harus impor uranium dan teknologi. "Daerah Bangka Belitung dan Kalimantan Utara yang dianggap layak juga sering dilanda gempa sehingga berisiko tinggi," tambah Rinaldy.
Lebih lanjut, ia menegaskan pembangunan PLTN tidak bisa ditetapkan sebagai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), meskipun ada teknologi reaktor generasi III dan IV yang aman dan selamat serta mampu menghasilkan limbah yang sedikit.
"Dalam KEN, sudah ditetapkan pilihan terakhir, artinya selama masih cukup energi yang lain, nuklir tidak diperlukan," pungkasnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved