Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Lengger yang Nyaris Lengser

MI/LILIEK DHARMAWAN
27/12/2015 00:00
Lengger yang Nyaris Lengser
(MI/LILIEK DHARMAWAN)
MALAM belum terlalu larut ketika sejumlah pengunjung berada di Balai Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng). Kabut tipis mulai menyelimuti desa yang terletak di lereng pegunungan Ardi Lawet itu. Hawa dingin mulai terasa bersama angin sepoi-sepoi basah. Kedinginan malam itu berubah hangat ketika musik mulai dimainkan waranggana. Seorang sinden mulai bernyanyi mengiringi penari yang dengan gesit bergerak ke kanan dan ke kiri.

Begitulah kelompok penari lengger menyapa para wisatawan yang datang di desa setempat. "Lengger tak pernah terpisahkan dari desa ini. Entah sudah berapa lama lengger mulai menjadi bagian budaya desa ini, tetapi yang pasti kami menjadikan lengger sebagai salah satu kesenian khas yang harus disuguhkan kalau ada pengunjung datang," kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ardi Mandala Giri Desa Panusupan, Yanto Mardi, beberapa waktu lalu.

Bagi masyarakat di Jateng bagian barat seperti Purbalingga, Banjarnegara, dan Banyumas, lengger tak terpisahkan dari perjalanan masyarakat setempat. Dalam catatan Thomas Stamford Raffles yang melakukan riset pada 1811-1816 dan dituliskan dalam buku History of Java, kesenian lengger merupakan kesenian yang disuguhkan dalam suasana penuh kegembiraan. Itu bahkan kemudian menjadi budaya yang dapat diterima seluruh kalangan, mulai masyarakat awam sampai keraton.

Raffles mencatat lengger sudah dimainkan perempuan seperti halnya cerita budayawan Banyumas Ahmad Tohari dalam karya triloginya Ronggeng Dukuh Paruk.

Ini berbeda dengan catatan dalam Serat Centhini bahwa pemain lengger sesungguhnya adalah laki-laki yang berdandan perempuan. Makanya disebut lengger yang berasal dari kata leng artinya lubang dan ger berarti jengger. Kalau diartikan secara bebas, dikira perempuan ternyata laki-laki.

Hingga kini, kebanyakan pemain lengger adalah perempuan, sedangkan pemain lengger laki-laki dapat dihitung dengan jari. Namun, yang pasti, tarian yang mengikuti rancaknya musik mampu menghipnosis penonton untuk ikut menari.
Bahkan, mereka ikut larut dalam riangnya suasana yang diciptakan kelompok lengger.

Seperti halnya di Panusupan, Purbalingga, juga masih memiliki kelompok lengger, tepatnya di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas. "Dulu, desa menjadi basis kesenian lengger karena banyaknya kelompok. Bahkan, saat masa jayanya pada 1960-an, setiap RT ada satu grup lengger. Kemudian ketika Orde Baru hadir, grup kesenian menyusut menjadi setiap RW satu grup. Akan tetapi, sekarang hanya tersisa dua grup lengger. Jumlahnya memang sangat menurun jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya," ujar Kepala Desa Gerduren Bambang Harsono.

Menurutnya, semakin menurunnya jumlah kelompok kesenian lengger berbanding lurus dengan merosotnya tanggapan kesenian khas Banyumas tersebut.

"Salah satu penyebab menurunnya kelompok lengger ialah kian sedikitnya tanggapan dari warga. Kalau dulu, setiap ada orang hajatan pasti menanggap lengger. Akan tetapi, saat ini, lengger telah tergantikan oleh hiburan lainnya seperti organ tunggal dan musik dangdut," ujarnya.

Itu juga diakui mantan pemain lengger Desa Gerduren, Sumiyati, 57, yang kini menjadi ibu rumah tangga.

"Dulu, waktu 1970-an, hampir setiap hari ada tanggapan lengger. Bahkan, grup saya, Lengger Sari, tak hanya pentas di Banyumas dan sekitarnya, melainkan juga sampai ke Bandung dan Jakarta. Makanya, waktu itu pemain lengger bersemangat karena pendapatannya juga lumayan, sebab bisa menghidupi diri sendiri," jelasnya.

Tidak ngurupi

Pemain lengger saat ini, Warsiah, 32, mengakui kesenian itu tak lagi mampu dijadikan tumpuan pendapatan untuk menghidupi keluarga. "Sebab, penari lengger, misalnya, hanya memperoleh pendapatan Rp100 ribu hingga Rp150 ribu sekali ditanggap. Tanggapan lengger hanya berkisar antara 1-2 bulan sekali. Dengan kondisi seperti ini, tidak mengherankan pemain lengger banyak yang meninggalkan profesinya," ujar Warsiah.

Tak hanya penarinya yang memiliki pendapatan terbatas, tetapi juga pemain musiknya. Samiaji, 50, misalnya, mengaku hanya memperoleh penghasilan Rp50 ribu hingga Rp100 ribu setiap kali tampil.

"Tidak mungkin pemain gamelan lengger hanya mendapatkan penghasilan dari bermain musik saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Umumnya, pemain gamelan lengger juga sebagai petani atau penderes," ungkap Samiaji.

Tak hanya Samiaji, Agus Widodo, 28, penari lengger dengan nama panggung Agnes, mengakui kondisi penari dan pemain musik lengger memprihatinkan.  Namun ada juga pemain lengger yang memilih tetap nguri-uri (menjaga) kesenian ini agar tetap hidup, tetap sesungguhnya tidak nguripi (menghidupi). ''Pemain lengger juga manusia biasa yang punya keluarga. Jadi, bermain lengger itu tidak hanya 'nguri-uri' semata, melainkan seharusnya 'nguripia'. Namun, ternyata saat sekarang tidak memungkinkan nguripi,'' kata dia. (M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya