Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Pisau Kecil Ibu Dokter Nila

Reporter Cilik 2015, Foriza Sofia Rahma, SDIT Al Muslim, Tambun, Bekasi, Jawa Barat
20/12/2015 00:00
Pisau Kecil Ibu Dokter Nila
Nila Moeloek(MI/ADAM DWI)

APA cita-citamu Sobat Medi? Kalau ada yang ingin jadi dokter atau menteri, kamu bisa becermin dari pengalaman Prof Dr dr Nila Djuwita F Moeloek, SpM, dokter spesialis mata yang juga Menteri Kesehatan Kabinet Kerja.

Nah, ini cerita tentang kisah masa kecil hingga proses meniti karier Ibu Nila yang pastinya berguna buat anak-anak Indonesia.

Oleh-oleh ayah
- Ibu Nila merasa beruntung ditetapkan Tuhan menjadi anak dari seorang dokter.

"Nah, jadi saya melihat bapak saya itu menjadi seorang dokter yang orangnya itu sangat disiplin. Bapak saya sangat senang membaca. Bukunya tebal-tebal sekali. Dulu kan belum ada komputer, jadi dulu kita baca buku yang biasa disebut buku teks. Akhirnya saya bermimpi menjadi seperti Ayah saya. Oh ya, zaman dulu kami sangat sulit untuk mendapatkan ballpoint. Saat Ayah saya pergi ke luar negeri, Ayah saya janji akan membawa oleh-oleh. Akhirnya, saya dibawakan ballpointyang saya impikan. Ayah saya merupakan idola saya."

Cita-cita harus jelas
- Beliau menyarankan anak-anak Indonesia untuk punya cita-cita yang jelas dan spesifik, tentunya setelah kita punya bayangan tentang dunia kerja ya. Caranya bisa dengan berdiskusi dengan orangtua, guru, atau informasi dari buku serta internet.

"Tadi saya sudah bilang, dari dulu saya ingin menjadi dokter. Idola saya bapak saya, sedangkan Ibu saya seorang perawat. Jadi dunia kami memang dunia kesehatan. Ayah saya dokter spesialis telinga hidung tenggorok (THT). Ayah saya juga menjadi profesor dan guru besar pada 1992. Kemudian saya bisa masuk fakultas kedokteran dan menjadi dokter. Namun, saya bertekad, kalau Ayah saya profesor, setidaknya kita juga harus sama. Lalu saya naik S-2 dan S-3, menjadi doktor, baru bisa menjadi guru besar.

Kalau dari kecil kita harus punya cita-cita. Kita harus punya mimpi dulu. Kalau kita sudah punya mimpi, kita berjuang untuk meraih mimpi tersebut. Misalnya, kita mau jadi dokter, kita harus belajar dong. Perjuangan masuk ke fakultas kedokteran itu enggak gampang karena saingan banyak sekali. Waktu itu mulai masuk era komputer. Jadi waktu itu secara komputerisasi, kita mengerjakan dengan ditusuk-tusuk lembar ujiannnya, lalu di-scan. Di Universitas Indonesia, saingannya tiga ribuan orang, tapi yang diterima hanya 150 orang. Sampai masuk di fakultas, teman-teman yang diterima pasti pandai-pandai.

Salah satu teman saya ada yang juara dari Santa Ursula. Saya belajarnya juga tidak sendiri, tetapi berkelompok. Alhamdulillah, akhirnya saya lulus menjadi dokter. Lalu ditetapkan mau jadi dokter apa. Saya memilih menjadi dokter spesialis mata karena saya ingin dokter itu tetap pegang pisau, kalau spesialis mata, pisaunya kecil, jadinya enak, kan? Ilmu mata itu ternyata enggak gampang. Akhirnya saya bisa selesaikan. Saya ingin naik lagi. Setelah S-2, saya disuruh menangani kanker mata. Jadi saya ingin melanjutkan S-3. Saya berpikir, ilmu kita harus diberikan kepada orang lain dan kepada masyarakat. Misalnya, bantuan operasi katarak, saya juga akan bantu."

Mau berkorban untuk Indonesia
- Jadi pejabat negara harus mau berkorban. "Sebagai menteri harus mengingatkan masyarakat agar melakukan kebiasaan yang baik-baik. Terkadang, masyarakat tidak mau mendengarkan. Nah, itulah tantangan terberat Ibu. Namun, negara membutuhkan Ibu, jadi harus rela berkorban.

Setiap pekerjaan pasti ada enak dan nggak enaknya. Ada hal-hal yang mungkin orang-orang tidak ketahui tentang jabatan menteri ya. Jadi, mungkin banyak orang yang tidak tahu, menteri itu harus memberikan pelayanan, banyak sekali orang yang menghubungi Ibu untuk berobat. Jadi, kita memberikan pelayanan. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya