Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Pawiwahan Darah Biru

Zico Rizki
20/11/2016 09:15
Pawiwahan Darah Biru
(DOK. NGURAH GDE PARWATA)

Pawiwahan Darah Biru Kerajaan UbudProsesi pawiwahan keturunan darah biru Kerajaan Ubud merupakan prosesi pernikahan adat Hindu di Bali yang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi.

SINAR matahari menerobos langit-langit atap yang terbuat dari ikatan jerami. Berkas cahaya menerangi salah satu prosesi upacara pawiwahan pasangan anyar suami-istri. Pawiwahan dalam bahasa kawi didefinisikan sebagai tradisi adat pernikahan Hindu di Bali.

Pawiwahan antara Cokorda Gde Bayu Putra, 28, dan Cokorda Istri Dewi Primayanti, 27, berlangsung di Puri Anyar, Ubud, Gianyar, Bali (10/11). Keduanya merupakan Keturunan Dalem Sukawati (KDS), keturunan darah biru dari Kerajaan Ubud.

Acara itu bertepatan dengan Wraspati Wage Medangkungan dalam kalender Bali. Pawiwahan terdiri dari beberapa rangkaian acara penyucian diri, yakni mekalan-kalan, widhi widana, dan ngayab, serta dilanjutkan acara resepsi.

Sedari pukul 08.00 Wita, kedua mempelai keluar dari gedong (rumah inti) menuju pelataran inti Puri Anyar untuk melangsungkan tradisi mekalan-kalan. Meraka mengenakan busana payas madya yang dibalut dengan sentuhan warna silver dan ungu.

Setelah berada di dalam ruang prosesi, kedua mempelai duduk sejajar di atas tikar kecil dan melakukan prosesi penyucian yang dipandu pemangku prajapati Ubud atau seorang pinandita (rohaniwan Hindu). Dalam sebuah momen, kedua mempelai mengangkat merapatkan seluruh jari mereka dan menempelkannya di depan kening seraya berdoa.


Menyucikan pengantin

Tradisi mekalan-kalan dilakukan dengan tujuan untuk melindungi dan menyucikan kedua pengantin dari segala mala (bencana). Selain itu, prosesi ini bermaksud menyucikan sukla (sel sperma pria) dan swanita (sel ovum wanita).

Tradisi mekalan-kalan syarat dengan filosofi Hindu dalam membangun keutuhan dan keharmonisan rumah tangga, di antaranya tegen-tegenan (simbol pembagian tanggung jawab), suwun-suwunan (simbol tanggung jawab istri untuk mengembangkan benih yang diberikan suami), dan dagang-dagangan (simbol kesepakatan untuk siap dengan segala risiko dalam kehidupan rumah tangga).

Di tengah-tengah acara tersebut, suara letusan tiga bambu yang dibakar beberapa kali terdengar. Kegiatan yang dinamakan tetimpug itu diyakini sebagai sebuah simbol pemohonan penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

Acara tersebut berakhir pukul 10.00. Kedua mempelai masuk kembali ke gedong untuk mengganti busananya. Selang hampir 1 jam, kedua mempelai kembali keluar dari gedong dan memakai pakaian payas agung. Berbeda dengan busana pertama, kali ini balutan tubuh mempelai pria berupa baju beludru berwarna hitam dengan sentuhan motif berwarna emas dan mengenakan udeng (ikat kepala khas bali) berlapis emas. Sementara itu, mempelai wanita mengenakan kombinasi kain berwarna oranye muda, hijau, dan merah. Petitis emas dan bunga sandat emas yang dikenakan di kepala pun menambah kecantikan sang pengantin wanita.

Acara dilanjutkan dengan upacara inti Widhi Widana. Upacara ini lebih dikenal dengan upacara pemberkatan pengantin yang merupakan manifestasi permohonan restu kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Acara yang dilaksanakan di bale dangin (bale gede), dipimpin langsung oleh pedanda atau pendeta aliran Siwa dan Buddha serta disaksikan keluarga terdekat kedua mempelai.

Suara lonceng yang berbunyi stagnan terdengar menggerincing dari tangan pedanda diiringi mantra serta doa-doa. Dalam sebuah momen, pedanda memercikkan air suci (tirtha) kepada kedua pengantin. Suasana khidmat dan sakral terasa di area pelaksanaan widhi widana sekitar hampir 1 jam. Dalam prosesi tersebut, kedua mempelai turut menandatangani dokumen-dokumen pernikahan, menandakan keduanya kini telah resmi menjadi pasangan suami-istri.


Memohon restu

Seusai pemberkatan, kedua mempelai memohon restu kepada keluarga. Sesekali air mata terlihat menetes di pipi kedua mempelai, suasana haru pun tercipta. Tidak lama setelah memohon restu kepada keluarga, keduanya beranjak dari bale dangin beserta pedanda menuju mrajan (pura tempat sembahyang) yang berada di area pelataran inti puri anyar untuk melakukan sembahyang untuk memuja kebesaran Tuhan YME.

Setelah sembahyang, kedua pengantin berdampingan menghampiri dan menyapa satu per satu tamu yang berdatangan dan turut menyaksikan. Dari prosesi mekalan-kalan hingga widhi widana, tamu yang berdatangan merupakan keluarga besar dari kedua mempelai yang berasal dari Puri Agung Ubud, perwakilan puri-puri se-Bali, pemuka-pemuka adat di Ubud, serta prajuru banjar dari Desa Pakraman Ubud.

Sehabis semua tamu keluarga besar dihampiri, keduanya kembali masuk ke gedong untuk merias dan mengganti busana untuk acara resepsi yang dilaksanakan pada waktu senja.

Menurut salah seorang keturunan Dalem Sukawati Cokorda Gde Bagus Putra, 24, acara dari pagi hingga sore hari dikhususkan untuk disaksikan keluarga besar mempelai, sedangkan resepsi selepas senja ialah resepsi pernikahan umum yang dihadiri kolega kedua mempelai.

Iringan musik keroncong dan gamelan khas bali bercampur guna menghibur para tamu yang datang. Kegiatan resepsi yang berlangsung di malam itu sama seperti resepsi pernikahan pada umumnya di seluruh Indonesia. Para tamu menghampiri singgasana pelaminan kedua mempelai, memberikan selamat, dan mengabadikan momen bahagia melalui berfoto dengan pengantin.

Untuk membuat acara yang tidak kaku, beberapa kali kedua pengantin beranjak dari singgasana pelaminan dan menghampiri para undangan. Cokde Bayu mengatakan hal itu dilakukannya untuk memunculkan suasana ramah tamah dari keluarga puri. Acara berakhir pada pukul 23.00 Wita. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya