Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Jejak sang Pelukis Enam Dekade

Abdillah M Marzuqi
16/10/2016 01:15
Jejak sang Pelukis Enam Dekade
(ANTARA/DODO KARUNDENG)

SOSOK berhidung panjang itu sering kali mencuri pandang. Ia sering muncul dalam beragam situasi dan kondisi. Suatu ketika ia tampak berada dalam sebuah kerumunan. Bukan kerumunan untuk berdamai, sebab beberapa dari mereka membawa senjata tajam. Yang lain tampak dengan wajah geram dan marah. Anggota kelompok itu banyak memakai busana yang identik dengan rakyat kecil. Para perempuan banyak memakai kebaya.

Sosok berhidung panjang itu berada di kerumunan itu. Ia mudah dikenali. Hidungnya yang panjang tampak berbeda dengan balutan warna putih.

Mereka sedang berhadapan dengan kelompok lain. Kala itu, mereka terlihat menang. Kerumanan lawan terlihat mundur teratur. Berkepala binatang dan berbadan manusia, kawanan lawan itu berlari dengan wajah menghadap ke belakang. Berbeda dengan busana kelompok pengejar, kelompok ini terkesan lebih rapi dengan kemeja yang dimasukkan ke celana dan menenteng koper.

Itulah kesan yang dapat ditangkap dari karya Otto Djaya dalam karya Perang terhadap Korupsi. Lukisan itu ialah satu karya yang dipamerkan dalam tajuk 100 Tahun Otto Djaya di Galeri Nasional Indonesia. Helatan itu dikuratori Rizki A Zaelani dan Inge-Marie Holst, serta berlangsung selama 30 September sampai 9 Oktober 2016.

Pameran itu digelar dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Otto Djaya (1916-2002). Pada helatan tersebut, sekitar 200 karya Otto Djaya dipamerkan.

Pameran banyak menampilkan sejarah dan tradisi lokal selama enam dekade masa pemerintahan di Indonesia yang tergambarkan melalui ratusan lukisan Otto Djaya.

Ia melukis dengan kecenderungan visual yang berbeda yang dapat dikenali untuk mengeksplorasi serta mengekspresikan jiwa rakyat Indonesia, khususnya orang Jawa. Ia sangat analitik terhadap kemanusiaan, termasuk dirinya sendiri, dan mampu menyintesis keindahan alam, mitos, cerita rakyat, dan sindiran umum.
'Otto adalah seorang bohemian, seniman nonkonformis, yang mendefinisikan refleksi dan estetika pribadinya sendiri', begitu yang tertulis dalam kuratorial.

Pejuang kemerdekaan

Otto Djaya yang lahir pada 1916 ialah salah satu master dalam sejarah seni rupa Indonesia. Ia pernah menjadi pejuang kemerdekaan di masa kolonial. Bersama saudaranya, Agus Djaya, mereka pernah pergi untuk belajar dan bekerja sebagai seniman di negeri Belanda pada 1947-1950 dan beberapa kali berpameran di Eropa.

Otto Djaya hidup dan melukis selama enam dekade sejarah dan periode politik di Indonesia, semenjak masa kolonial Belanda, masa Perang Dunia II, masa revolusi, masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, hingga masa demokrasi.

Lukisan-lukisan Otto Djaya pun menjelaskan berlangsungnya semacam tegangan kekuatan yang saling menarik antara nilai kenangan dan konteks persoalan sosial-budaya yang bersifat lokal. Ia menunjukkan berbagai kejadian sehari-hari yang umum dikenal masyarakat di Indonesia, seperti tema-tema tentang pasar, warung, para pedagang asongan, perayaan perkawinan, pertunjukan kesenian tradisi, perjalanan dengan kendaraan bermotor, sepeda, kereta kuda, dll. Tentu saja, alam dan lingkungan hidup Otto Djaya di daerah Banten. Tema itu telah menghidupkan pokok penggambaran yang bersifat kultural ketimbang tema renungan yang menyuruk pada persoalan-persoalan yang bersifat personal.

Selain itu, menurut kurator, jenis intensitas warna-warna dari lukisan Otto Djaya melampaui zamannya. Hal itu bisa terlihat dari warna hijau dedaunan yang khas dan biru langit yang cemerlang.

Banyak lukisan Otto yang menjadi khusus juga karena ia mencampurkan atau memasukkan tokoh-tokoh wayang dari keluarga Punakawan, yakni Petruk dan Gareng, dalam situasi hidup keseharian tersebut. Seperti dalam judul lukisan Perang terhadap Korupsi, Petruk berada dalam kerumunan orang yang sedang berperang.

Kisah yang dikutip dari dunia pewayangan dan mitologi tradisi memang menjadi salah satu gagasan sentral yang dikerjakan Otto. Tidak sedikit pula seniman Indonesia mengangkat tema pewayangan sebagai gagasan berkarya. Lalu apa perbedaan karya Otto dengan karya seniman lain yang juga bergelut dengan tema wayang?
'Otto Djaya memunculkannya secara khas, tampil nyaris 'begitu saja', spontan, serta alamiah, seakan-akan kita memang hidup dalam bentangan kisah pewayangan', begitu tertulis dalam kuratorial. Selain itu, ia banyak menampilkan tarian sosial dalam tradisi Indonesia dalam lukisan-lukisannya, seperti ronggeng, reog Ponorogo, Cap Go Meh, kecak, juga penggambaran legenda seperti Arjuna, Jaka Tarub, dan Ramayana.

Event besar ini bisa menjadi kesempatan langka yang bermanfaat bagi publik seni rupa di Indonesia. Dari pameran itu bisa diketahui, sejarah dan tradisi lokal selama enam dekade masa pemerintahan di Indonesia yang tergambarkan melalui lukisan-lukisan Otto Djaya.

Pameran itu juga memperturutkan buku The World of Otto Djaya (1916-2002) karya Inge-Marie Holst. Buku itu menceritakan seorang Otto Djaya sebagai salah satu pelukis Indonesia yang berkarya sejak masa kolonial Belanda, masa Perang Dunia II, masa revolusi, masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, hingga masa demokrasi. Selain itu, dalam buku itu diterangkan kecenderungan visual Otto dalam mengeksplorasi serta mengekspresikan jiwa rakyat Indonesia. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya