Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
RUANGAN itu tidak terlalu besar. Cukup temaram, tapi tidak membuat pandang jadi gelap. Tidak ada lampu utama, hanya sumber cahaya yang ditempatkan di atas lukisan. Dinding dalam ruang itu sengaja ditutup dengan warna hitam. Ada pembatas yang menjadi semacam blok pemisah antarruang. Selain berfungi sebagai pembatas, dinding buatan itu juga berguna untuk media tempel lukisan.
Sebanyak 17 lukisan karya Affandi dipamerkan dalam ruangan itu. Lukisan Affandi tampak begitu hidup dalam ruangan itu. Cobalah untuk sedikit menjauh dari lukisan. Maka, akan tampak keindahan dari setiap gurat, berpadu apik dalam kanvas yang membingkai setiap wajah. Bukan hanya keindahan, melainkan juga emosi yang mampu membuat terlena.
Pesonanya mampu menarik jauh menyelam ke dalam lukisan. Itulah setidaknya yang tertangkap dari pameran karya Affandi yang bertajuk Affandi-The Human Face. Pameran karya Affandi itu termasuk dalam rangkaian Art Stage Jakarta di Sheraton Grand Jakarta, Gandaria City Hotel. Itu merupakan pameran seni premium pertama di Indonesia dengan format internasional yang berlangsung pada 5-7 Agustus 2016. Pameran tunggal karya Affandi itu dikuratori Lorenzo Rudolf sekaligus merupakan penghargaan bagi sang maestro lukisan ekspresionis dan pelukis humanis Indonesia itu.
Pengalaman emosional
Dalam kuratorial dijelaskan bahwa Affandi adalah pelukis yang lebih mengutamakan pengungkapan makna pengalaman emosional daripada realitas fisik. Sebab, bagi Affandi, lukisan adalah panggilan jiwa. Berdasarkan itulah ia melukis dengan cara menumpahkan cairan cat langsung dari wadah botol. Ia juga lebih memilih menyapu cat tersebut dengan menggunakan tangannya daripada menggunakan pensil. Affandi berhasil mentransfer perasaannya di atas kanvas dan membuat lukisan yang penuh ketulusan unik dan kasih sayang manusia. Pameran ini juga bertujuan menampilkan gambaran yang lebih dekat dari seorang Affandi, yang empatinya bagi orang-orang telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
Pameran ini dibagi menjadi dua bagian yang mampu mewakili diri Affandi dan mengungkapkan proses pemikirannya; Daily Life dan Self-Portraits. Pada bagian Daily Life, pameran ini menampilkan lukisan-lukisan yang menangkap pandangan unik Affandi terhadap dunia tempat ia menempatkan dirinya dalam perspektif subjek lukisnya. Beberapa di antaranya Balinese Dancer (1964), Tibet (1951), Ayam Putih (1957), At the Cockfi ght (1964), Ayam Jago (1963), Babi Pejantan dan Nenek (1964), The Pig Seller from Bali (1957), By Affandi (1961), Duck Hunter, Bali (1960), dan Portrait of Mdm.
Caecil Papadimitriou (1961). Bagian kedua menonjolkan berbagai potret diri dari berbagai periode yang berbeda dalam kehidupan Affandi, dan yang paling penting ialah lukisan kecil yang dibuat pada sekitar 1936, saat ia pertama kali mulai melukis. Di antaranya, Zelfportret (1935), Self Portrait with Crab (1966), Me and My Cigar (1961), Tiga wajah (1963), Self Portrait (1965), Affandi with His Adorable Mother (1962), dan Self Portrait (1965) Karya-karya seni dalam pameran ini adalah pinjaman dari koleksi pribadi Caecil Papoadimitriou, Alex Tedja, Deddy Kusuma, dan Rudi Akili.
Affandi Koesoema (1907-1990), tak diragukan lagi, ialah seorang maestro seni lukis Indonesia. Ia produktif dalam melukis. Tercatat sepanjang hidupnya ia telah menciptakan kurang lebih 2.000 karya lukis. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai belahan dunia seperti Inggris, Belanda, dan India. Goresan ekspresif milik Affandi telah menjadikannya sebagai pelukis hebat. Nama dan karyanya tidak hanya menggema di kampung sendiri, tapi juga di negeri seberang. Dengan gaya abstrak dan romantisme, ia mampu membuat Indonesia berkibar dalam kancah seni internasional.
Ada hal menarik dari pameran ini, yakni kutipan Affandi tentang alasannya menekuni dunia seni lukis. "I do the art, not because i like to be rich, not because i like to be famous, but because i have to. It is, I don't know how you call it in English, but we call it 'Panggilan Jiwa' (the calling of the soul). Whether I get a name or not, whether my painting I sold or not, really does not matter. To do the painting is the thing," begitu kata Affandi sebagaimana terpampang di tembok kuratorial yang ditulis Jasmine Prasetio dan Lorenzo Rudolf.
Art Stage Jakarta
Sebagai pasar seni terbesar di Asia Tenggara, Indonesia terkenal dengan seniman-seniman yang unik dengan budaya kuat untuk mengoleksi bendabenda seni. Art Stage Jakarta mempersembahkan kepada pengunjung dari negara lain kesempatan untuk menemukan karyakarya baru yang menarik dari para seniman Indonesia dan mendapatkan wawasan ke dalam dunia koleksi seni di Indonesia. Selain itu, pameran ini merupakan batu loncatan bagi seniman kontemporer Indonesia untuk mendapatkan perhatian dunia.
Art Stage Jakarta diikuti 49 galeri dari Indonesia dan mancanegara. Sebagai pameran seni premium di Indonesia, Art Stage Jakarta memiliki dukungan kuat dari galeri-galeri Indonesia serta internasional. Seluruh galeri yang ikut serta dalam pameran ini berasal dari 16 negara dan 33 galeri internasional. Galeri dari Indonesia di antaranya Nadi Gallery, Galeri Canna, ROH Projects, Galeri Semarang, Andi's Gallery, Edwin's Gallery, dan Rachel Gallery. Galeri-galeri internasional yang ikut serta dalam pameran Art Stage Jakarta 2016 berasal dari Australia, Tiongkok, Prancis, Jerman, Hong Kong, Jepang, Malaysia, Belanda, Filipina, Rusia, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, Taiwan dan Amerika Serikat.
Ada Galerie Perrotin dari Paris, Finale Art File dan The Drawing Room dari Manila, FOST Gallery dan Gajah Gallery dari Singapura, Mizuma Gallery dari Tokyo, Pearl Lam Galleries dari Hong Kong, serta Richard Koh Gallery dan Wei-Ling Gallery dari Kuala Lumpur. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved