Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Menyucikan Diri Jelang Puasa

YOSE HENDRA
05/6/2016 02:30
Menyucikan Diri Jelang Puasa
(MI/YOSE HENDRA)

BENDUNGAN kecil (Intake PDAM) Sungai Batang Kuranji, Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang, selalu penuh sesak jelang puasa Ramadan. Tak ada sekat antara lakilaki dan perempuan. Tidak begitu terasa aroma jeruk nipis dan rupa kembang bunga mengambang di permukaan sungai. Bendungan dangkal itu salah satu titik favorit bagi masyarakat Kota Padang untuk menceburkan diri dalam tradisi yang mereka sebut Balimau. Kebanyakan mereka ialah kawula muda. Tradisi Balimau merupakan cara menyucikan diri yang menjadi kultur di Ranah Minang sejak beratus tahun lalu. Bukan hanya di bendungan Surau Gadang itu, Balimau juga menghiasi beberapa titik aliran Sungai Kuranji. Selain itu, beberapa lubuk dan sungai lain, seperti di Lubuk Minturun, Lubuk Tempurung, dan hampir semua daerah di Sumatra Barat.

Salah satu titik Balimau terbesar ialah di Pangkalan, Kabupaten 50 Kota, dan di Batang Kapas, Pesisir Selatan. Balimau telah menjadi tradisi masyarakat Minangkabau jelang tutup kalender bulan Syakban atau menyambut bulan puasa Ramadan. Tradisi Balimau di Sumatra Barat dimulai sore hari hingga menjelang magrib. Sekitar pukul 17.00 WIB, warga akan berdatangan ke tempat-tempat pemandian umum menggunakan berbagai alat transportasi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang, Duski Samad, menyatakan Balimau merupakan produk budaya. Kreativitas manusia menyucikan diri. “Tidak ada akar agamanya, seperti halnya penyebutan bulan suci Ramadan. Tidak lebih dari penafsiranpenafsiran
dari nilai-nilai agama,” tukas Duski.

Menurutnya, Balimau atau mandi dengan memakai berbagai kembang dan limau (jeruk) serta pewangi yang disiramkan ke rambut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan puasa. “Tradisi Balimau ini tidak ada dalam hadis apa pun,” ujar pengajar di Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol, Padang, itu. Sementara itu, budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal, mengatakan secara hakikat tauhid, Balimau bagus sebagai cara menyucikan diri atau bertobat jelang memasuki
Ramadan. Hal itu tentu diikuti dengan niat tobat atau menyucikan diri seiring dengan masuknya bulan puasa Ramadan yang diyakini bulan baik dan bulan pengampunan.

Seiring dengan itu, Balimau tidak harus di sungai terbuka, tapi bisa di pancuran (tempat pemandian tertutup, misal, di surau) dan kamar mandi, serta tapian (pemandian di sungai yang tertutup) di kampungkampung. Bahkan, ada jenis Balimau yang cukup menarik di Kenagarian Koto Nan Duo IV Koto Hilie, Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan. Tradisi yang dinamakan Balimau Paga dilaksanakan di dekat paga (pagar) masjid khusus bagi pengantin lakilaki yang baru menikah. Tujuannya membersihkan diri secara lahir dan batin khusus bagi pengantin lakilaki yang baru menikah sebelum memasuki bulan suci Ramadan supaya terjalin hubungan silaturahim yang baik, khususnya suami istri dan lebih luas lagi dengan keluarga dan masyarakat.

Secara historis, Balimau telah ada sebelum Islam masuk. Ini produk kebudayaan masa Hindu Buddha. “Dalam kepercayaan Buddha dan Hindu, menyucikan diri penting. Masuk Islam, ditambah doa secara hakikat,” bilang pria yang biasa disapa Mak Katik itu. Mengenai menyucikan diri, itu tergurat dalam pituah yang berkembang di tengah masyarakat Minangkabau. ‘Kumuah basasah (kotor dicuci); baabu digantiak (kalau berdebu dijentik); dan baluluak dibasuah (berlumpur dicuci atau dibersihkan). “Petuah di Minang tersebut menegaskan pentingnya menyucikan diri lahir batin. Konkretnya dengan ilmu berupa tobat dalam konteks Islam. Sebab, pengakuan agama anak baru dari ayah dan induk. Azan bagi laki-laki dan ikamah bagi perempuan,” jelasnya.

Jalan menyimpang
Kendati Balimau menjadi tradisi di Minangkabau, bagi sebagian orang, Balimau dianggap kontradiktif dengan nilai-nilai yang ada di Islam sehingga pro kontra selalu menyelimutinya. Masyarakat harus menyikapi tradisi ini dengan cerdas agar tidak menyimpang dari substansinya. Umumnya Balimau hari ini lebih banyak dilakukan di tempat pemandian umum, seperti lubuk, bendungan, dan sungai. Dalam praktiknya, tidak ada ruang sekat antara laki-laki dan perempuan. Semua berbaur dalam satu lubuk. Bisa dikatakan, kontak fi sik ialah suatu hal yang tidak terelakkan. Balimau harus dipahami sebagai jalan membersihkan diri dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

“Tapi praktiknya malah lebih banyak mengarah pada perbuatan yang tidak perlu ataupun mubazir, seperti hura-hura, yang tentunya bergeser dari tujuan tradisi itu sendiri,” ujar Duski. Padahal, hal terpenting dalam menyambut bulan suci Ramadan ialah membersihkan diri lahir dan batin serta memiliki niat memperbaiki diri dalam hal ibadah. Membersihkan diri lahir dan batin dimulai dari diri sendiri, dengan menjaga perilaku yang menjurus pada maksiat, mengendalikan diri dari hawa nafsu, hingga saling memaafkan satu sama lain, mulai orang terdekat, yakni orangtua, kerabat, serta sesama umat Islam. Menurutnya, tujuan Balimau hendaknya diniatkan untuk meningkatkan keimanan, memperoleh manfaat, dan menuju ketenteraman dengan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. “Sewajarnya menyucikan diri melalui Balimau dilakukan perorangan di kamar-kamar mandi atau di rumah masing-masing dengan niat menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadan,
dan tidak ada tujuan lainnya,” jelas Mak Katik.

Paradigma Balimau di kalangan masyarakat dianggap seperti mandi wajib menggunakan air bersih yang telah dicampur dengan limau (jeruk) serta beragam bunga. Idealnya menggunakan beberapa helai daun pandan kemudian diiris, beberapa kuntum bunga kenanga, beberapa kuntum bunga mawar, segenggam bunga tanjung, bunga melati, dan jeruk kesturi. Semua bahan ini dicampurkan, dituangkan ke dalam air, dan disiram ke seluruh tubuh dengan melafalkan niat dan doa ebelumnya.

Karena dianggap banyak mudarat, MUI Sumbar meminta masyarakat tidak melaksanakan Balimau yang menjadi tradisi selama ini. Ketua MUI Sumbar, Gusrizal Gazha, menegaskan, dalam syariat Islam, tidak ada tradisi Balimau menyambut Ramadan. “Tradisi Balimau itu bukan bagian syariat,” ujarnya. Beberapa hari jelang tradisi Balimau, pedagang bermunculan di titik Balimau. Mereka menjual beraneka ragam makanan dan minuman. Dengan begitu, Balimau bukan saja dipahami membersihkan diri, sisi lain sebetulnya telah memercikkan rezeki ke sebagian masyarakat. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik