Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Ecek-ecek… …
kembang gudhig, ramane dhewe
Kembang kacang, ayo… padha nonton wayang…
… … …
Suara sinden sayup-sayup terdengar mengiringi pergelaran Wayang Beber. Minggu (14/11/2021), keluarga Wisto Utomo, pewaris Wayang Beber di Dusun Gelaran II, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, DIY, sedang berlatih di pendopo padukuhan didampingi Tim Revitalisasi Balai Bahasa Provinsi DIY.
Dusun Gelaran merupakan salah satu dari tiga tempat penyimpan Wayang Beber Kuno yang terbuat dari daluang (paper mulberry tree). Dua tempat lainnya, yaitu Desa Karang Talun, Kedompol, Donorojo, Pacitan, Jawa Timur dan National Museum of Ethnology, Volkenkunde, Leiden, Belanda. Komposisi dan gaya warna Wayang Beber yang di Leiden ini mirip dengan koleksi Gelaran.
Wayang Beber telah diteliti oleh beberapa ahli, baik dari dalam maupun luar negeri. Wayang yang disajikan dalam bentangan (beberan) lukisan pada daluang ini memuat kisah Panji. Di dunia ini, Wayang Beber Kuno hanya ada tiga jenis, yaitu cerita Panji dengan lakon Jaka Kembang Kuning (Pacitan), lakon Remeng Mangunjoyo (Gelaran), dan lakon pada Wayang Beber Leiden yang belum teridentifikasi.
Sebenarnya tidak mengherankan mengapa cerita koleksi Leiden belum atau tidak teridentifikasi. Wayang Beber ini merupakan peraga tuturan lisan yang memuat sedikit visual lakon. Lukisan itu tidak disertai tulisan atau narasi. Dengan demikian, ketika benda itu tercerabut dari masyarakat pemiliknya, ia tidak lagi bisa bercerita. Membaca cerita dalam lukisan daluang itu perlu banyak referensi. Mirip seperti saat membaca cerita pada relief candi. Nama-nama tokoh dan lokasi hanya bisa dikira-kira. Benar bahwa Wayang Beber Leiden itu bercerita tentang Panji, tetapi Panji Asmorobangun yang menyamar menjadi siapa dan di mana? Hal itu memang tidak dengan segera mudah ditemukan.
Berbeda halnya dengan dua Wayang Beber di Pacitan dan Gelaran. Keduanya hidup di tengah masyarakat pemiliknya yang senantiasa menjaga bersamaan dengan tuturan lisannya. Setiap pewaris merasa berkewajiban mempelajari dan melakonkan sesuai dengan ajaran yang disampaikan leluhurnya. Mereka mempunyai aturan baku (pakem) baik dalam hal sulukan, kandha, dan janturan. Hal itu diwariskan melalui media lisan. Tidak hanya dalam hal kelisanan, dalam hal menjaga gulungan-gulungan Wayang Beber, mereka mempunyai aturan baku yang juga diajarkan secara lisan. Dengan demikian, gulungan Wayang Beber senantiasa harus berdampingan dengan kelisanannya.
Di kedua daerah itu, gulungan Wayang Beber bukan sekadar artefak. Bagi sebagian masyarakat di sekitarnya, terutama pewaris, ia sudah menjadi semacam gagasan sosial untuk menghadapi berbagai gejala yang tidak mudah dijabarkan. Gulungan lukisan wayang dan tuturan ceritanya menjadi semacam representasi konsep dan ide masyarakatnya. Disadari atau tidak, dalam rangka menjaga itu, mereka telah menciptakan seperangkat kegiatan dan benda-benda yang akhirnya membentuk sistem budaya. Di sinilah akhirnya muncul yang sakral dan yang profan. Tentu saja hal ini sulit terjadi pada Wayang Beber Leiden.
Satu Sura
Tidak sulit menemukan Pendopo Padukuhan Gelaran. Semua warga yang kami tanya, dengan ramah, menunjukkan arah bahkan ada yang bersedia mengantar. Sesampainya di lokasi, seorang dalang perempuan, bernama Noni Tia Fatmawati, sedang mengisahkan salah satu adegan lukisan wayang dalam beberan kertas. Saat menceritakan salah satu tokoh, sang dalang menunjukkan gambar tokoh itu dengan bilah kecil dengan panjang sekitar 50 cm. Itulah Wayang Beber. Tidak seperti halnya pergelaran wayang kulit, perangkat gamelan yang digunakan tidak banyak. Di sana hanya ada kendang, saron, dua pencon gong suwukan, tiga pencon kenong, dan kempul.
Sampai latihan berakhir, semua tampak seperti pertunjukan pendongeng dengan peraganya. Biasa saja. Rupanya, gelaran lukisan wayang tersebut hanya duplikat. Mereka tidak berani menggunakan Wayang Beber Kuno di kanvas daluang. Menurut Karmanto Hadikusumo, dalang pewaris Wayang Beber Gelaran, gulungan kuno hanya bisa dibuka pada saat-saat tertentu dengan syarat tertentu. Setiap tanggal 1 Sura (kalender Jawa), gulungan yang terdapat dalam sebuah peti itu diberi sesaji berupa tumpeng, ingkung ayam, dan jajan pasar. Selanjutnya, diadakan kenduri dengan mengundang tetangga.
Menurut Karmanto, leluhurnya menerima dua peti Wayang Beber. Namun, satu peti tidak ada isinya. Mungkin saja isinya disimpan di Leiden mengingat komposisi dan gaya warnanya yang mirip. Peti tanpa isi itu sebenarnya hendak dilarung (dihanyutkan) di Sungai Oya, tetapi gagal. Peti itu malah melaju melawan arus. Akhirnya, peti kosong itu tetap dirawat sampai sekarang. Konon, masyarakat sekitar sering minta obat melalui sarana peti itu. Jika sakitnya sembuh, orang itu memberi jarit Jawa untuk digunakan menutupi/menyelimuti peti.
Kedua peti itu tidak boleh dilangkahi sebagai bentuk penghormatan. Larangan itu tentu saja disertai ‘ancaman’ yang menakutkan. Orang menjadi benar-benar patuh karena takut kena tulah. Tulah itu bisa berupa penyakit atau kejadian-kejadian yang tidak diharapkan. Bisa menimpa orang yang melanggar atau bisa juga menimpa keluarganya. Bahkan, tulah itu bisa menimpa seluruh warga kampung.
Sakralitas lain yang juga dipatuhi adalah kepercayaan bahwa dalang yang boleh memainkan Wayang Beber Kuno ini hanya keturunan keluarga pewaris. Selain keluarga pewaris hanya bisa menjadi pemain iringan dan wirasuara.
Beberapa sakralitas yang semula digunakan untuk menjaga tradisi tersebut sebenarnya menjadi salah satu penghambat berkembangnya Wayang Beber. Oleh karena itu, beberapa pihak berupaya merevitalisasi Wayang Beber dengan tidak menentang kesakralan yang telah dipercaya, antara lain Museum Ullen Sentalu, Sleman; Taman Budaya Yogyakarta; Balai Bahasa Provinsi DIY; dan Dinas Kebudayaan Gunungkidul.
Selain itu, ada seorang pemuda di Bantul, Indra Suroinggeno, mendirikan Museum Wayang Beber “Sekartaji”. Ia berusaha memprofankan hal-hal yang sakral. Ia melatih anak-anak untuk mendalami Wayang Beber mulai membuat daluang, melukis, mewarnai, memainkan gamelan, sampai mendalang. Museum ini tidak hanya melukis dan melakonkan cerita Panji. Mereka juga membuat cerita-cerita baru yang mudah dipahami dan menarik perhatian generasi muda.
Bagaimanapun Wayang Beber adalah entitas pemikiran leluhur yang perlu terus digali, dipertahankan, dan diperkaya. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved