Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

YONI KENAYA Demi Hak Beribadah LGBT

(*/M-1)
26/12/2021 05:10
YONI KENAYA Demi Hak Beribadah LGBT
(YONI Kenaya merupakan sosok pendeta/MI/SUMARYANTO BRONTO)

YONI Kenaya merupakan sosok pendeta yang memiliki dedikasi luar biasa dalam pelayanan. Pendeta asal Surabaya, Jawa Timur, itu memperjuangkan hak kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) untuk beribadah.

Yoni juga kerap meluncurkan kritik-kritik kepada gereja-gereja yang memilah-milah jemaah. "Siapa saja berhak menjadi umat Tuhan dengan tanpa memandang gender, latar belakang, status sosial, dan ekonomi," kata Yoni dalam episode Kick Andy, malam ini.

Yoni menjalankan persekutuan doa LGBT di rumah milik seorang transgender, Bunda Handayani. Yoni mengatakan jika sebelum pandemi, para LGBT yang diberikannya pelayanan datang dari berbagai daerah baik dalam maupun luar kota sekitar puluhan orang bahkan mencapai lebih dari 100 orang.

Sebelum memantapkan diri menjadi pendeta, jalan hidup Yoni sangat berkebalikan. Ia ialah salah satu bandar narkoba terbesar di Jakarta.

"Saya tujuh bersaudara, saya sendiri laki-laki. Saya baru tau di usia 63 tahun ini, saya bukan anaknya, jadi saya ditinggal sama bapak ibu saya yang asli, lalu diambil bapak ibu saya yang ini. Tapi sudah ada tanda-tanda perlakuan dibedakan. Saya mencari lingkungan teman dan lainnya yang terus tambah dalam, akhirnya saya terjerat," ujar pria yang sempat memiliki 30 kaki tangan untuk menjalankan bisnis narkobanya. Di Jakarta, komplotan bandar yang diikuti Yoni pernah menjadi salah satu yang terbesar sepanjang dekade 1970-an.

Sekitar enam tahun dirinya berada dalam gelanggang narkotika hingga akhirnya dia menemukan titik balik dirinya akibat kecelakaan parah pada 1982. Kala bermobil dari Surabaya ke Jakarta ia ditabrak dari belakang oleh gerombolan bajing loncat. Akibatnya, Yoni koma selama berbulan-bulan di RS Sultan Agung, Semarang.

"Karena medis sudah angkat tangan pada waktu itu, beberapa saraf di kepala saya putus, jadi dokter sudah pasrah," terang pendeta kelahiran Bangka tersebut.

Setelah lima bulan sadar dari komanya, Yoni bercerita bertemu dengan seorang ibu yang menceritakan kasih Tuhan dan mengajaknya berdoa. Ia merasakan sukacita besar akibat peristiwa itu dan hidupnya berubah.

 

Setelah kejadian tersebut dan cukup pulih, kemudian Yoni kembali ke Surabaya untuk mendalami dan menyelami ajaran agama Kristen. Dia mulai sering datang ke persekutuan, belajar agama pada beberapa pendeta di Surabaya, dan menjadi sangat religius.

Akhir dekade 1990-an, tanpa sengaja ia bertemu Bunda Handayani yang saat itu baru saja melakukan operasi transgender menjadi perempuan di salah satu gereja yang sama-sama mereka datangi.

Pendeta Yoni pun diundang untuk memberikan pelayanan untuk para LGBT di Surabaya. Tentu tidak mudah untuk meyakinkan sang istri dan anak-anaknya terkait dengan pilihan hidupnya untuk memberikan pelayanan kepada kaum LGBT.

"Sebetulnya banyak tantangan yang saya hadapi di keluarga, istri, anak-anak juga menentang. Ketika saya melihat mereka pertama kali saya diundang ketika saya sampaikan firman Tuhan simpel sekali, saya melihat wajah mereka haus, mereka butuh siraman rohani, tapi tidak ada sosok yang mau datang dan berbagi kasih dengan mereka," jelasnya.

Larangan tersebut bukan tanpa alasan, banyaknya penyakit menular seperti HIV/AIDS dan lain sebagainya membuat keluarganya takut. Yoni tak patah arang hingga akhirnya keluarganya pun luluh.

Memberikan pelayanan kepada para LGBT di Persekutuan Doa LGBT membuat Yoni mandapat cibiran. Beberapa jemaat gereja besar menuding Yoni juga LGBT.

Gosip lain yang kerap menyulut amarahnya ialah dituduh memanfaatkan para transpuan untuk motif ekonomi. "Saya kena imbasnya, 'kalau Pak Yoni bukan waria enggak mungkin melayani waria’. Saya sempat kaget tapi saya sudah ada di tengah-tengah mereka, enggak mungkin saya meninggalkan mereka seperti itu," ujarnya.

 

Kemiskinan

Di sisi lain, Yoni juga mengungkapkan pihak transpuan dan LGBT ini mengalami tantangan hidup yang berat dalam kemiskinan. "Karena mereka hidup sangat miskin sekali, jadi mereka ini sudah enggak punya apa-apa, rumah mereka juga di pinggir kali, di lokalisasi, tidak ada orang yang peduli dengan mereka, menyapa pun enggak ada, mereka pun enggak berani ke gereja," ujarnya.

Yoni memiliki keinginan untuk para transpuan bisa bebas beribadah di gereja mana saja, tanpa perlu menanggung stigma. Yoni mengaku dalam setiap bimbingan doa tidak pernah memungut satu persen pun uang dari jemaat. Alih-alih diberi gaji, Yoni justru rutin mengirim donasi kepada kawan transpuan.

 

Dia juga mengakui ada beberapa jemaat yang masih belum bisa sepenuhnya keluar dari prostitusi. Bagi transpuan, beralih ke pekerjaan formal tak semudah membalik telapak tangan.

Stigma kerap menghantui mereka, sedangkan prostitusi ialah jalan termudah guna menyambung hidup.

Di momen Natal, ia mengingatkan agar umat berbagi kasih kepada yang lainnya dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan kemenangan. "Merry Christmas, saya percaya merah kasih Natal, kasih yang boleh memenuhi hati kami sehingga kami boleh berbagi kasih kepada yang lainnya. Kami percaya kasih Tuhan dalam Merry Christmas ini, kami percaya bahwa Tuhan yang akan memberikan satu kemenangan untuk kita semuanya," jelasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik