Headline

Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.

Narasoma

Ono Sarwono
15/5/2016 04:00
Narasoma
()

SYAHDAN negara Mandaraka berkabung. Sang raja, Prabu Mandrapati, didapati bunuh diri di salah satu kamar istana. Keluarga dan seluruh rakyat dari kota hingga pelosok negeri menangisi kepergian sang pemimpin yang tidak lumrah secara mendadak itu. Bagi siapa saja, sulit untuk bisa mengerti Mandrapati mengakhiri hidup dengan cara yang tidak masuk akal.

Selama ini ia dikenal sebagai raja yang berwatak sabar, ikhlas, adil, arif, dan bijaksana serta percaya kepada kekuasaan Tuhan. Perbuatannya itu di luar nalar. Lalu, muncullah macam-macam isu dan kasak-kusuk warga tentang latar belakang atau pemicu sang pemimpin nekad melakukan jalan pintas. Namun, sebelum prasangka-prasangka menjadi liar, pihak istana secara terbuka mengumumkan penyebab peristiwa tragis itu.

Sang raja bunuh diri karena tidak kuat menahan rasa malu atas perilaku putra mahkotanya, Raden Narasoma. Mandrapati merasa gagal mendidik anak yang ia gadanggadang menjadi raja. Ia merasa hidupnya sudah tidak berguna. Sebelumnya, Mandrapati kerap terlibat cekcok dengan Narasoma. Sang anak memang sering membantah perintahnya. Sikap itu tidak umum dalam keluarga raja. Sejauh itu, Mandrapati masih bisa mengendalikan diri karena menganggap sikap anaknya itu masih sebagai kenakalan. Namun, ketika mendengar Narasoma membunuh orang, Mandrapati merasa disambar geledek. Itu aib yang tidak terampuni. Terlebih, yang dibunuh ialah seorang resi dan mertuanya sendiri. Korban itu, Bagaspati, merupakan teman dekat Mandrapati.


Mimpi Setyawati

Kisahnya diawali ketika Bagaspati, resi sakti di Pertapaan Argabelah, siang-malam ditangisi Setyawati, anaknya semata wayang. Putrinya, buah pernikahannya Dewi Dharmastuti, jatuh cinta kepada seorang kesatria yang hadir dalam mimpinya. Setyawati terus merajuk bapaknya untuk mencari Narasoma, lelaki memesona yang memikat hatinya. Sebagai bapak, Bagaspati terenyuh dengan 'penderitaan' sang anak.

Teringat peribahasa anak polah bapa kepradah, Bagaspati tergerak mencari Narasoma. Ia lalu pamit serta meminta Setyawati sabar menunggu di pertapaan dan menjaga diri. Di pertapaan, Setyawati sendirian karena ibunya telah kembali ke kahyangan seusai melahirkannya. Setelah lelah melanglang ke berbagai penjuru, Bagaspati akhirnya bertemu dengan seorang pria muda yang tampak sedang merenung di bawah pohon sukun di tepi hutan. Dari cara serta pakaiannya, paling tidak lelaki itu anak priayi. Lalu, dihampirinya pemuda tampan itu.

Bagaspati meminta izin untuk bertanya siapa nama dan ingin pergi ke mana. Dengan lantang dan tegas, pria yang bergaya kementhus (sombong) itu mengaku dirinya bernama Narasoma. Ia menyebut dirinya wong kabur kanginan, tidak memiliki orangtua dan tempat tinggal, juga tidak memiliki tujuan. Langkah kakinya hanya mengikuti kehendak hati. Bagaspati agak kaget mendengarnya. Dalam hatinya berguman, inilah lelaki yang hadir dalam mimpi anaknya. Pikirnya, tidak muskil bila anaknya tergila-gila dengan Narasoma. Selain tampan, badan lelaki idaman anaknya itu mbambang (atletis) dan otaknya cerdas. Sesungguhnya, keberadaan Narasoma di tempat itu karena diusir sang ayah.

Prabu Mandrapati naik pitam ketika sang anak tidak pernah menuruti kehendaknya. Bahkan, berani melawan perintahnya. Namun, setelah Narasoma benar-benar minggat, Mandrapati menyesal. Bagaspati lalu memperkenalkan diri. Ia memaparkan bahwa dirinya sudah berhari-hari mencari Narasoma. Itu karena menuruti permintaan putrinya yang ingin dipersunting lelaki bernama Narasoma. Maka, dengan penuh harapan, Bagaspati meminta Narasoma bersedia ia ajak ke pertapaan Argabelah untuk bertemu dengan putrinya. Terbelalak mata Narasoma dan langsung berdiri dari duduknya.

Sambil berkacak pinggang, Narasoma menolak mentahmentah ajakan itu. Dengan nada tinggi, ia pun menegaskan tidak sudi dinikahkan dengan putrinya yang ia bayangkan berwajah raksasa seperti bapaknya. Bagaspati meyakinkan bahwa anaknya cantik rupawan, tapi Narasoma tidak percaya. Lalu, terjadilah peperangan. Sungguh bukan tandingan Bagaspati, Narasoma bertekuk lutut dan lalu pasrah bongkokan ketika digelandang ke Argabelah. Sampai di Argabelah, Narasoma merasa jantungnya copot saat bertemu Setyawati, anak Bagaspati. Ia tidak menyangka gadis di depannya itu putri resi berwajah gergasi. Bahkan, Narasoma langsung jatuh hati. Dada Setyawati pun tak kalah tegoncang-goncang keras. Lelaki di hadapannya itu persis dengan pria yang mampir dalam mimpinya.

Singkat cerita, karena sama-sama jatuh cinta, mereka dinikahkan. Ternyata, di balik kecocokannya, Narasoma menyimpan ketidaknyamannya sebagai suami Setyawati. Kepada istrinya itu ia sampaikan rasa malunya memiliki mertua berwajah raksasa. Karena rasa cintanya, Setyawati menyampaikan keluhan suaminya itu kepada bapaknya. Bagaspati tidak marah. Ia lalu bertanya kepada anaknya, memilih suami atau bapak. Setyawati memilih suami. Karena itu, demi kebahagian sang anak, Bagaspati rela meninggalkan dunia fana. Maka, ia panggil Narasoma. Daripada menanggung malu seumur hidup, ia mempersilakan menantunya itu untuk membunuhnya. Tanpa sungkan, Narasoma pun membunuh Bagaspati setelah mertuanya itu menanggalkan segala kesaktiannya. Malah, Narasoma mendapat warisan ajian candrabirawa.


Hulu solusi

Peristiwa itu terdengar hingga Istana Mandaraka. Itulah yang akhirnya membuat Mandrapati malu luar biasa. Seperti untuk menebus dosa sang anak, ia akhirnya nekad mengakhiri hidupnya. Awalnya Narasoma tidak peduli dengan kabar ayahnya. Hatinya belum bisa luluh. Ia masih terngiang-ngiang dengan prasetianya sendiri ketika bertegang dengan bapaknya. Pada waktu itu ia bersumpah meninggalkan Mandaraka dan tidak akan kembali. Namun, setelah mendapat masukan dari istri, Narasoma eling. Ia kemudian ingat pula kepada ibunya serta adiknya, Madrim. Sebagai putra sulung, ia pun merasa wajib menggantikan ayahnya memegang kendali kekuasaan Mandaraka. Narasoma juga tidak tahan mendengar tangisan rakyat Mandaraka yang mengharapkannya kembali ke negaranya. Nasi sudah menjadi bubur. Narasoma menyesal. Ia berniat menghapus semua kesalahannya. Ia bersedia menggantikan bapaknya sebagai raja Mandaraka. Kemudian, untuk menghormati mertuanya, Narasoma memuliakan istrinya hingga akhir hayat. Hikmah dari kisah di atas ialah kegagalan orangtua mendidik anak. Sang anak menjadi kurang ajar, perilakunya tidak mencerminkan seorang kesatria. Selain tidak hormat kepada orangtua, sang anak juga berbuat semau-maunya sendiri kepada orang lain. Inilah yang perlu kita renungkan bersama. Banyaknya kasus sosial di negeri ini, bahkan banyak melibatkan anakanak di bawah umur, tidak terlepas dari tanggung jawab orangtua. Pendidikan keluarga inti merupakan hulu dari solusi semua persoalan sosial.(M-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya