Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
Wahai angin yang bertiup
Ombak kembali ke tengah
Perahu tanpa pendayung
Siapa dalam kesedihan?
Wahai bunga kampung yang pendiam
Pergi ke lain tempat
Bambu apus penjemuran
Kini berkurang kain gantungan
Sayang cintaku padamu
Tiada bandingnya lagi
Jodoh belum bertemu
Kini berpisah mati.
Syair di atas dilantunkan lirih oleh Imam Rozali di antara sekian syair yang dilantunkannya malam itu. Imam ialah salah seorang seniman Kias yang cukup dikenal di wilayah Lampung Selatan. Dia merupakan salah satu dari sedikit pemuda yang mencoba melestarikan tradisi lisan ini agar tidak punah. Malam itu, di Desa Palembapang, Imam diminta oleh Abdul Mu’in yang tengah menyelenggarakan pesta pernikahan anak bungsunya untuk berkias atau ngias. Maka, tampillah lelaki 47 tahun itu menunjukkan kepiawaiannya berkias di panggung, ditemani sebuah gitar listrik yang dia mainkan mengikuti tema tiap-tiap syair.
Kias ialah pelantunan syair, berisi ungkapan perasaan atau berisi cerita. Tema-temanya selalu hubungan sukaduka dan cerita-cerita keseharian orang Lampung. Kadang ditampilkan juga tema kesejarahan, seperti perjuangan Raden Inten atau bagaimana orang Lampung bersikap terhadap sepak terjang Belanda di tanah mereka. Pada masa lalu, Kias merupakan tradisi berlantun masyarakat di waktu senggang. Syair-syairnya biasanya bertemakan nasihat kepada seseorang atau kepada khalayak yang menontonnya. Kisahnya biasanya berhubungan ajaran moral dan keseharian dalam masyarakat.
Seorang seniman Kias harus memiliki pengetahuan terhadap situasi lingkungan dan memiliki kepekaan pada situasi di sekitarnya. Pengetahuannya itu dia gunakan sebagai dasar menciptakan syair-syair yang akan didendangkan. Syarat lainnya ialah suara. Seorang tukang Kias harus memiliki suara yang enak didengar. Tanpa kedua syarat itu, walaupun Kias merupakan kesenian rakyat yang banyak menarik minat, tidak banyak yang akhirnya muncul sebagai ‘artis’ yang dikenal luas masyarakat.
Tradisi ber-Kias biasa ditampilkan dalam berbagai kegiatan adat, terutama yang berhubungan dengan upacara-upacara daur hidup, seperti dilakukan oleh keluarga Abdul Mu’in tadi. Pelantunan Kias biasanya dilakukan pada malam hari hingga menjelang pagi. Hal itu disebabkan masyarakat jurai (subsuku) Peminggir atau disebut juga Sai Batin ialah masyarakat petani sehingga pada malam harilah waktu yang ideal untuk orang berkumpul karena seharian penuh waktu mereka dihabiskan di ladang atau di sawah. Sementara itu, para ibu dan anak-gadis sibuk di rumah masing-masing mengerjakan tugas-tugas domestik.
Alat kontrol
Kias tidak terbatas sebagai media hiburan belaka. Keberadaan tradisi ini difungsikan sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat, termasuk para pemimpin (Sai Batin), yakni sebutan bagi para kepala adat yang mengepalai buay atau marga. Masyarakat Peminggir yang tinggal di Pesisr Barat Krui, Pesisir Semangka (Semaka), Pesisir Teluk Betung, dan Persisir Way Handak (Kalianda) terbagi dalam berbagai buay (marga). Mereka mendiami pekon-pekon atau desa-desa dan disatukan semangat muakhi atau kekeluargaan.
Sai Batin tidak dipilih. Dia diangkat berdasarkan keturunan dan jatuh pada anak laki-laki pertama Sai Batin sebelumnya. Pengukuhannya melalui upacara pemberian adok (gelar) yang di dalamnya dibacakan sejarah keberhasilan marga dan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya. Juga dibacakan riwayat hidup Sai Batin yang baru, kemudian ditutup dengan pemberian gelar kepadanya. Bila dilihat dari prosesnya, tampak bahwa seorang Sai Batin ialah ’mejong dihejongan’, yakni ’duduk yang didudukan’. Istilah ini bermakna bahwa seseorang telah didudukkan oleh adat karena ia terpilih untuk duduk di situ. Jadi, seorang menjadi Sai Batin haruslah dipandang sebagai takdirnya karena takdirlah yang mendudukkannya di situ.
Menjadi Sai Batin selain memiliki kehormatan yang tinggi, dia juga memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Adat Peminggir menyebutkan bahwa Sai Batin ialah pemilik adat (kedau adat), yakni kehidupan beradat kebuayan sangat bergantung padanya karena masyarakat telah menyerahkan adat kepadanya. Seorang Sai Batin bertugas memelihara pusaka leluhur (pemanohan) milik kebuayan. Pusaka itu biasanya gong, kenong, keris, tempat sirih, seperangkat pakaian adat, dan beberapa benda-benda lain yang dipandang sakral, bertuah, dan memiliki kaitan langsung dengan sejarah kebuayan.
Gelar yang disandang seorang Sai Batin ialah kehormatan diri dan masyarakat yang dipimpinnya sehingga tidak boleh ia melakukan hal-hal tercela dari segi moral dan agama. Seorang Sai Batin dimuliakan oleh adat dan masyarat. Sebagai manifestasinya dia dipanggilnya dengan sebutan ‘Pangeran’, menggantikan nama panggilannya sehari-hari. Warga masyarakat di kebuayan harus patuh pada Sai Batin karena masyarakat itu merupakan rakyat. Mereka harus patuh, sebaliknya Sai Batin harus menjaga muakhi dalam masyarakat.
Turun-temurun
Bagi orang Lampung dari jurai Peminggir, khususnya yang tinggal di wilayah Kalianda dan sekitarnya, Kias merupakan kesenian turun-temurun yang tidak diketahui kapan mulai ada. Orang-orang tua yang ditanya mengenai hal ini hanya menjawab bahwa sewaktu kecil mereka sudah kenal dengan tradisi ini.
Seniman Kias atau Tukang Kias kini dapat dihitung dengan jari. Mereka yang menggeluti tradisi ini biasanya seketurunan, orang dekat, atau murid pelantun yang lebih senior. Kalaupun tidak, biasanya dia ialah orang lain yang memiliki perhatian khusus. Biasanya dia ialah orang yang rajin hadir pada pertunjukan-pertunjukan Kias atau menjadi murid merangkap asisten si pelantun senior. Namun demikian, seiring perubahan gaya hidup, pewarisan Kias berdasarkan garis keturunan mengalami kemunduran, digantikann oleh pewarisan yang sifatnya bebas, dalam arti siapa aja yang suka. Akhirnya, seorang pelantun Kias mewarisi keterampilannya itu karena dia memang suka, memiliki kemampuan mencipta, di samping bersuara indah.
Kias tampaknya masih memiliki pendukung walaupun memperlihatkan kecenderungan ditinggalkan kalangan muda. Alasannya klasik dan terjadi pada semua seni tradisi, yakni tergerus modernisasi. Anak-anak muda, terlebih yang memiliki pendidikan, lebih suka kesenian modern semacam organ tunggal karena dipandang cocok dan tidak ketinggalan zaman. Dengan kesenian itu, mereka serasa mendapatkan oase bagi pelepasan gairah jiwa muda yang meledak-ledak. Hal ini perlahan menyeret Kias dan seni tradisi lainnya di Lampung ke wilayah yang relatif sepi.
Padahal, di masa keemasannya dulu, seorang juru Kias duduk dikelilingi oleh para penontonnya. Sang seniman mendapat penghargaan tinggi dalam masyarakat sebagai juru nasihat yang menjadi andalan para kepala adat. Kini pertunjukan Kias dilaksanakan di atas panggung. Seorang juru Kias melantunkan syair dengan latar belakang suara gitar listrik yang ia mainkan. Para penonton ada yang duduk di tanah berlaskan tikar atau duduk di kursi-kursi yang telah disediakan menghadap kepada si juru Kias seperti layaknya menonton wayang atau orkes dangdut.
Menurut seorang pelantun Kias senior bernama Hasan Mataraja, seorang juru Kias harus dapat menyesuaikan syair yang akan dibawakan dengan karakter penontonnya agar pesan yang disampaikan tercapai. Karena itulah seorang juru Kias harus tanggap terhadap situasi. Inilah yang barangkali menjadi syarat terberat bagi orang yang hendak terjun sebagai Juru Kias. Sementara itu, tidak semua orang dikaruniai oleh Tuhan dengan suara yang merdu.
Kian sunyi
Itu sebabnya, keberadaan Kias dewasa ini mengalami perubahan ke arah yang sunyi. Ini terlihat dari durasi penampilannya dan posisinya dalam rangkaian acara. Juru Kias pada zaman dulu akan melantunkan syair-syairnya semalam suntuk di antara para penonton yang mengerumuninya. Namun, kemajuan teknologi informasi dan pergeseran pola hidup dewasa ini membuat semua itu berubah. Timbul semacam kompromi masyarat dalam menyikapinya. Di satu pihak, mereka melihat Kias sebagai bagian dari adat. Di pihak lain, faktor sosialekonomi dan zaman yang telah jauh berubah tidak dapat diabaikan begitu saja.
Ini terlihat di malam itu, kala Imam melantunkan syair-syair yang diciptakannya, tetapi ditonton oleh hanya sedikit orang. Malam itu, dia melantunkan sebuah kisah sedih mengenai pasangan yang tidak sampai berjodoh karena sang perempuan mati sebelum mereka menikah. Suara Imam yang mampu membangkitkan kesedihan di hati pendengarnya seakan jeritan hati seniman itu terhadap nasib Kias saat ini. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved