Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Kita Perlu Lebih Disiplin demi Anak

Fathurrozak
27/6/2021 05:00
Kita Perlu Lebih Disiplin demi Anak
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Jakarta Rini Sekartini.(google plus)

PEKAN lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan 1 dari 8 kasus covid-19 di Indonesia terjadi pada anak dan remaja dengan tingkat kasus sekitar 12,5%. Tingkat kematian (case fatality rate/CFR) pada kasus anak usia 0-18 tahun pun mencapai 3%-5%, yang disebut Ketua IDAI Prof Aman B Pulungan sebagai tingkat kematian anak karena covid-19 yang tertinggi di dunia.

Pada Kamis (24/6), masyarakat dikejutkan jumlah infeksi harian yang secara nasional menjadi rekor baru, 20.574 kasus. Dari jumlah itu, 7.505 ‘disumbangkan’ Provinsi DKI. Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 15% atau 1.112 kasus di DKI terjadi pada anak-anak usia 18 tahun ke bawah.

Dalam mencermati situasi tersebut, Media Indonesia berbincang dengan Ketua IDAI DKI Jakarta Prof Dr dr Rini Sekartini SpA(K). Prof Rini mengutarakan salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kasus covid-19 pada anak-anak ialah peranan orang dewasa di sekitar mereka. Berikut petikan wawancara yang dilakukan melalui konferensi video, Kamis.

 

Apa yang menyebabkan ledakan kasus covid-19 pada anak?

Itu, kan, muncul dari klaster keluarga, ya. Sebagian besar orang di rumah tidak pakai masker, baik itu orangtua maupun anggota keluarga lain. Risiko untuk virus menular semakin mudah.

Selama ini, kan, anak-anak masih berkegiatan di rumah, sementara orangtua mereka sudah mulai bekerja di luar rumah. Saya melihat itu juga yang turut menjadikan risiko penularan semakin besar. Ketika di rumah, tidak ada yang menggunakan masker atau menjaga jarak karena, misalnya, menganggap tidak ada yang sakit di dalam rumah dan dianggapnya baik-baik saja.

 

Kenapa angkanya seolah baru terungkap belakangan ini?

Karena virus covid-19 yang saat ini ada, strain-nya berbeda. Para ahli juga mengatakan varian yang ada saat ini lebih mudah dan cepat menular. Pada awal pandemi memang IDAI sudah mengatakan agar anak-anak harus benar-benar dijaga. Sekolahnya dari rumah dan tidak beraktivitas di luar rumah.

Namun, mungkin situasinya ketika sekarang (pandemi) sudah berjalan 1,5 tahun, akhirnya kemudian banyak juga yang jenuh sehingga kemudian di media ada pemberitaan rekreasi di masa pandemi.

Sebelum kemarin ada penebalan PPKM, beberapa tempat publik juga dibuka, misalnya sampai 50%, dan jangka waktu bukanya lebih lama. Itu juga mendorong aktivitas di luar rumah cukup tinggi, termasuk misalnya ke supermarket atau ke sarana rekreasi. Sudah 1,5 tahun, mungkin sudah membuat orangtua dan anak-anak bosan. Jadi, orangtua akhirnya mengajak anak mereka keluar rumah.

Saat awal ketika ada kasus, semua di-trace, termasuk anak. Ada pasien saya tahun lalu, seorang bapak yang positif, lalu semua orang rumahnya di-trace termasuk anak-anak. Sekarang yang positif lebih banyak, artinya yang di-trace juga lebih banyak, ditambah saat ini banyak dewasa yang positif, sehingga kasusnya juga semakin banyak (pada anak-anak).

 

Bagaimana perbandingan CFR anak di Indonesia dengan negara lain?

Anak-anak ialah 30% dari jumlah total populasi di Indonesia. Dari satu keluarga, hampir jarang yang anaknya satu, kebanyakan lebih dari satu anak. Jadi, secara kumulatifnya banyak. Misalnya saja dengan Tiongkok yang juga jumlah populasinya banyak, tetapi jumlah anak dalam keluarga terbatas.

Jadi, secara hitungan, ketika ada satu orang dewasa yang terinfeksi covid-19, kemungkinan anak yang terpapar juga akan lebih tinggi di Indonesia. Jadi, bisa dipahami kalau angka kasus covid-19 pada anak tinggi karena jumlah anak juga banyak. Paparannya juga tinggi dari orang dewasa. Tapi memang saya tidak bisa bicara data secara pasti perbandingannya dengan negara lain.

Prof Aman (Ketua IDAI) mengatakan kita ialah negara yang paling tinggi jumlah kasus covid-19-nya pada anak sebab lingkungan kita secara situasi tempat tinggal, misalnya, yang berdekatan, atau berimpitan, juga memudahkan penularan itu.

 

Ada prediksi darurat covid-19 yang sekarang sedang terjadi akan berlangsung beberapa pekan. Bagaimana impaknya ke tren kasus pada anak?

Ini bergantung pada paparan di tingkat orang dewasa. Jarang, anak-anak menjadi sumber pertama. Misalnya, ada ibu hamil. Ketika dia melahirkan dalam kondisi positif covid-19, bayinya bisa positif pada usia beberapa hari. Pasti ada sumber penularan dari dewasa. Kalau kita tidak bisa mengendalikan paparan infeksi pada orang dewasa, kemungkinan kasus covid-19 pada anak-anak juga akan terus berjalan sejajar.

Jadi, kalau bisa, orang dewasa juga mengenakan masker meski di dalam rumah. Meski kelihatannya sehat atau ketika dites negatif. Tidak boleh seperti layaknya saat masa normal, duduk di meja makan atau nonton TV bersama berdekatan dan bebas pelukan. Harus dibatasi juga. Orang dewasa juga harus benar-benar menerapkan protokol kesehatan meski di dalam rumah.

 

Saat ini tidak semua RS kita punya ruang rawat khusus anak dan jikapun ada, tidak sampai 12% dari kapasitasnya. Bagaimana RS menyiapkan ruang rawat anak?

Harusnya setiap RS ada bangsal khusus anak. Cuma memang jumlahnya sedikit. Untuk anak kelompok balita yang lebih besar (di atas 3 tahun), atau yang sudah masuk usia sekolah, perawat pasti bisa. Yang agak rumit ialah untuk bayi yang baru lahir. Berkaca dari RS (RSCM) tempat saya bekerja, banyak bayi baru lahir yang positif covid-19 dan itu dari ibu yang juga positif.

Yang butuh perawatan secara khusus oleh nakes memang yang anak-anak usia menjelang satu tahun. Perlu penanganan perawat yang terpisah dengan perawat pasien dewasa.

 

Apakah nakesnya mencukupi?

Situasinya, misal berkaca dari RSCM, memang saat ini tidak ada pertukaran (rolling) tugas antara perawat bayi baru lahir dan yang di ruang anak dan perawat pasien dewasa. Saat ini masih tercukupi, tapi masalahnya, nakes kita sekarang juga banyak yang kembali terpapar. Jadi, tentu jumlah nakes akan berkurang sehingga beban nakes yang sehat akan lebih banyak.

Kalau seperti ini, dan mungkin nanti ada kolaps, terpaksa harus ada pertukaran atau perpindahan dari satu RS ke RS lainnya yang kekurangan. Saat ini mereka juga sudah tidak ada libur, paling hanya ada istirahat setelah sif mereka selesai, dan keesokannya masuk lagi.

Bagaimana orangtua atau orang dewasa mengenali gejala covid-19 pada anak dan balita?

Covid-19 itu, kan, penyebabnya infeksi virus sama seperti flu. Jadi, kalau dulu anak kena flu itu biasa saja, sekarang sudah harus tidak bisa seperti itu. Harus selalu berpikir yang terburuknya, itu covid-19 atau bukan. Ketika ada keluhan demam, batuk, diare, atau anak yang lebih besar biasanya juga ada keluhan nyeri sendi, tulang, harus selalu curiga. Kita periksakan. Harus swab, sebisa mungkin PCR untuk diagnosis. Ini harus dipahami.

 

Selain menegakkan prokes, apa rutinitas yang perlu kita lakukan untuk memperkuat perlindungan pada anak-anak?

Pertama kewajiban untuk memenuhi nutrisi harus benar-benar dijaga. Kebutuhan gizi seimbang dan protein. Multivitamin boleh diberikan secukupnya saja, tidak usah berbagai macam.

Kedua, tidur cukup sesuai dengan usia. Istirahat yang baik akan mempercepat peningkatan imunitas tubuh. Pandemi ini, kan, mendorong kita semua untuk lebih sering di depan layar, termasuk anak-anak yang sekolah daring. Orangtuanya juga demikian, kerja di depan layar, ditambah menonton. Jangan hanya memberi instruksi kepada anak untuk istirahat cukup, tetapi mereka juga perlu memberi contoh sehingga ketika orang dewasanya punya daya tahan tubuh baik, dibarengi dengan pengetatan prokes, bisa menghindari paparan virus.

Ketiga, aktivitas fisik. Saat ini memang dibatasi untuk berkegiatan di luar rumah. Jadi, bisa diisi dengan aktivitas lari-lari di halaman atau di jalanan sekitar rumah ketika tidak ramai. Jangan hanya di depan televisi atau tidur-tiduran terus, aktivitas fisik perlu dilakukan juga.

 

Kalau begitu, wacana pembelajaran tatap muka terbatas juga perlu dibatalkankah saat ini?

Di Jakarta tentu sepertinya amat mungkin tidak jadi dilaksanakan, ya. Namun, di beberapa daerah yang populasinya sedikit, bisa saja. Ini dikembalikan ke wilayah masing-masing. Namun, tentu juga harus mendengar dari pihak orangtua, apakah ada izin dari mereka.

 

Pembelajaran daring juga punya tantangannya tersendiri, seperti orangtua yang kewalahan mendampingi dan anak yang jenuh. Bagaimana menjaga kesehatan mental anak?

Saya melakukan sedikit penelitian untuk anak kategori SMP-SMA (usia 10-18 tahun). Hasilnya sebagian besar mereka menghabiskan waktu untuk PJJ (pembelajaran jarak jauh) hingga 4 jam sehari. Selain PJJ, mereka juga banyak aktivitas di depan layar lainnya seperti berselancar di internet, bermain gim, media sosial, dan itu menggunakan ponsel. Penggunaan ponsel yang secara lingkup penglihatannya kecil itu juga perlu pengawasan. Kesehatan mata juga harus diperhatikan.

Beberapa hasil survei dari sejawat psikiatri juga mengungkap anak mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku. Jadi, situasi saat ini memang memberikan banyak dampak.

Anak usia prasekolah atau balita akan sangat kesulitan untuk mengikuti pembelajaran daring. Saya sarankan, kalau anaknya tidak mau belajar, jangan dipaksa. Biarkan saja. Nanti orangtua yang menyampaikan pembelajaran ke anak.

Namun, kalau mereka sibuk bekerja di rumah dan tidak sempat menyampaikan pembelajaran, ketika anak tidak bisa, jangan marah. Orangtua juga harus memahami situasi dan jangan menuntut anak untuk selalu unggul. Justru, orangtua harus melihat apakah anak ada kecemasan, kebosanan.

Ketika orangtua bekerja di rumah, setidaknya juga beri 1-2 jam untuk diskusi atau menyanyi bersama, luangkan waktu untuk anak. Keluar rumah, ajak melihat situasi lingkungan untuk relaksasi sejenak dan melakukan aktivitas fisik.

 

Saat blended learning dijalankan, antisipasi apa yang perlu dilakukan selain prokes?

Cakupan imunisasi pada guru dan para pekerja di sekolah. Selain itu, mereka yang bekerja di sarana umum seperti sopir transportasi umum. Orangtua juga jangan menunda untuk vaksinasi karena memang itu untuk melindungi anak-anak juga ketika di rumah.

 

 

Terkait dengan vaksinasi untuk anak, bagaimana prospeknya di Indonesia?

Masih diteliti. Di beberapa negara memang sudah mulai diberikan vaksin untuk anak usia sekolah 12-15 tahun ke atas. Namun, kalau untuk bayi, belum ada. Kajiannya nanti juga akan dengan Badan POM untuk menggunakan vaksin kelompok anak-remaja. Yang bisa disegerakan mungkin ialah usia SMP-SMA. Untuk anak usia SD, masih perlu ada kajian lebih lanjut.

Karena penelitiannya juga masih sedikit, jadi belum tahu pasti kajiannya seperti apa. IDAI juga ada satgas imunisasi, sudah membahas hal tersebut. Ada wacana penelitian vaksin covid-19 pada anak-anak. Ini akan dilaksanakan pada bulan-bulan depan, akan berproses. Hanya memang belum tahu kelompok anak untuk subjek usia berapa.

 

Apa yang bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua dalam situasi saat ini?

Para orang dewasa yang keluar rumah harus lebih memperketat prokes. Memang sudah pakai masker, tetapi perlu dicek kembali apakah cara pakai sudah benar. Bahkan sekarang, kan, juga dianjurkan untuk dobel. Anggap saja orang di luar sana yang bertemu dengan kita itu ialah positif, sebagai bentuk jaga diri.

Kalau di kantor, karena sekarang juga masih ada kebijakan 25% WFH, misal saat makan cari tempat yang terbuka, yang tidak ada orang, keluar dari ruangan indoor. Ketika masuk ke rumah, sudah dengan baju bersih. Hal-hal seperti ini yang sudah terlupakan. Orangtua dan dewasa harus dikuatkan lagi disiplinnya dan tetap sabar demi keamanan anak. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya