Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
SOBAT Muda, kalian pernah enggak sih kepikiran kalau seni itu sebenarnya lebih dari sekadar karya? Seni bukan hanya tentang estetika atau bentuk ekspresi pembuatnya, melainkan juga bisa menjadi media belajar atau sarana untuk mendidik penikmatnya.
Mencoba memenuhi peranan seni itu, mahasiswa jurusan seni rupa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) angkatan 2017 menghadirkan pameran bertajuk Enlighten. Tema tersebut diambil dari bahasa Inggris yang berarti mencerahkan, menerangkan, atau memberi penerangan. Melalui kegiatan itu pula mereka tidak hanya ingin menunjukkan peran seni dalam dunia pendidikan, tetapi juga ingin menawarkan sudut pandang baru untuk melihat suatu keadaan dan kondisi yang ada saat ini.
Karya yang ditampilkan dalam pameran selama 2 hingga 8 Januari lalu itu cukup beragam. Berbagai media digunakan untuk menyampaikan pesan, mulai batik, keramik, kayu, dan logam, hingga grafis, maupun seni lukis.
Salah satu mahasiswa seni rupa Unesa, Lailey Lanisi, misalnya, pada kesempatan ini mencoba menggunakan seni batik sebagai media edukasi perihal keragaman laut.
Secara spesifik, Lailey mengetengahkan Segitiga Bermuda (The Bermuda Triangle) dalam karya batiknya. Menurutnya, selama ini banyak kejadian misterius di perairan Kepulauan Bahama, AS, tersebut, seperti karamnya kapal atau jatuhnya pesawat terbang yang tidak dapat ditemukan keberadaannya. Menurut Lailey, di dalam imajinasi, laut dalam juga memiliki kehidupan yang tidak diketahui seperti adanya ikan-ikan laut dalam yang belum pernah ditemukan sebelumnya.
“Jadi dalam karya batik kali ini mengambil motif ikan laut dalam yang mungkin saja berada di kedalaman Segitiga Bermuda yang tidak diketahui manusia,” imbuh mahasiswa tersebut, dalam keterangan tertulis karyanya yang dipamerkan secara daring.
Batik juga menjadi medium pilihan Rendra Aditya Putra Adam untuk memberi pencerahan tentang sejarah Surabaya. Lebih dari itu, ia bahkan menciptakan motifnya sendiri, yang terinspirasi dari beberapa jalan di Kota Surabaya seperti Jalan Praban, Jalan Kembang Jepun, dan Jalan Tunjungan.
Ketiga nama jalan tersebut lantas ia realisasikan dalam bentuk karya batik berjudul Nyai Praban Kinco, Kembang Jepun, dan Kemerlap Tunjungan. Keseluruhan karya dirangkum dengan judul Napak Tilas Ing Suroboyo dan menggunakan materi, seperti katun prima, napthol, remasol, prada emas, dan ecoprint.
Rendra merancang batiknya menjadi tiga bentuk. Pertama, ada hiasan dinding dengan dimensi 60 x 150 cm, dan jarik dengan dimensi 230 x 115 cm. Batik kreasi berjudul Kembang Jepun, ia desain khusus menjadi satu set pakaian atau baju.
“Jarik dengan judul Nyai Praban Kinco yang terilhami dari nama ibu dari tokoh terkenal, yaitu Joko Jumput yang mahir dalam membuat Jamu tradisional, yang kedua baju dengan judul Kembang Jepun yang berarti Gadis Jepang dengan penggabungan etnik Tiongkok berupa Gapura Kya-Kya, dan terakhir hiasan dinding dengan judul Kemerlap Tunjungan yang terinpirasi dari gemerlap pesona jalan Tunjungan Surabaya,” tulis Rendra.
Sementara itu, Dhyanah Fajar Islamiyah mencoba memberikan edukasi tentang fl ora dan fauna lewat karyanya yang berjudul Aura. Karya ini ia buat dengan bahan dasar logam atau lebih tepatnya tembaga dengan dimensi 146 x 80 cm.
Aura karya Dhyanah ialah visualisasi tanaman edelweiss dan biota laut, yakni uburubur atau yang biasa disebut jellyfish. Dua unsur tersebut secara simbolis dimanifestasikan dalam Aura, yang menggambarkan seekor ubur-ubur cantik bersinar memakai sebuah mahkota dari bunga edelweiss.
Dhyanah mengatakan edelweiss dan ubur-ubur memiliki makna sama, yakni keabadian. Selain itu, ubur-ubur juga merupakah hewan yang suka berlayar tanpa peta dan hidup dalam kebebasan. Ia cenderung mudah berbaur dengan lingkungannya dan mengikuti gelombang lembut dari arus lautan.
Masalah persatuan turut disuarakan Pradita Ratna Arianti lewat kriya logam berjudul Unity. Karya itu ia buat karena terinspirasi dari Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dengan tiap-tiap pulau memiliki budaya tersendiri.
Ragam budaya itu lantas direpresentasikan Ratna menggunakan berbagai macam batik yang menempel pada lambung perahu. Motif batiknya mengedepankan nuansa Indonesia yang terdiri dari bambu hingga Monas. Adapun perahu dipilih sebagai instalasi untuk menggambarkan kondisi geografis di Indonesia yang terkenal dengan perairan yang sangat luas.
“Perahu dengan rangkaian ornamen-ornamen ragam hias dalam kriya logam ini membentuk hasil karya sebagai tanda pengenal bangsa. Perahu merupakan simbol dari negara Indonesia yang berbentuk kepulauan, sedangkan ornamen-ornamen ragam hias pada karya ini berasal dari ciri khas masingmasing budaya daerah di Indonesia. Hasil karya ini akan mengingatkan kembali masyarakat Indonesia tentang ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu jua’ melalui ornamen-ornamen yang ada, serta dapat memperkenalkannya pada bangsa lain,” terang Ratna.
Lebih dari seni
Seni, menurut Kepala Sekolah Gudskul Studi Kolektif MG Pringgotono, pada dasarnya merupakan fitrah manusia dalam arti kepemilikan rasa maupun hasrat untuk berekspresi dan lain sebagainya. Akan tetapi, fungsi seni sangatlah luas karena ia juga menjadi alat untuk berkomunikasi, edukasi, dan terkadang alat politik.
Apa yang dikomunikasikan, lanjutnya, ialah keadaan yang mungkin tidak dirasakan pada saat karya itu dibuat. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, buahnya lantas dipandang sebagai sebuah data yang dapat dipelajari untuk penelitian tertentu.
“Sayangnya, saat ini kita masih terus menerus fokus sama seni ini di ekspresi. Jatuhnya seperti yang sudah-sudah, hanya dilihat sebagai sarana rekreasional di sekolahan, jadi tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting, setelah beberapa mata pelajaran yang dianggap penting,” tuturnya di salah satu sesi bincang daring Enlighten, Rabu (6/1).
Padahal, kata Pringgotono, salah satu tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya pun menggunakan kesenian, seperti melukis dan menari untuk pendidikan. Mestinya kawula muda dan orang-orang yang paham dengan cakupan pendidikan saat ini dapat ikut mendongkrak agar seni menjadi sesuatu yang penting.
Karya seni yang ditampilkan dalam sebuah pameran akan memiliki fungsi yang sangat beragam. Contoh sederhananya, menurut Pringgotono, seorang ibu rumah tangga yang datang ke pameran lukisan bisa mendapat tambahan referensi memilih warna baju anak terlepas ia paham dengan konteks lukisan tersebut.
“Dan pernah enggak kebayang kenapa politikus suka mengoleksi karya seniman? Itu sepertinya juga perlu diteliti, apa hubungan karya seni yang ia lihat dengan keputusan yang dia ambil dalam memimpin, mungkin sebuah negara,” imbuhnya.
Sejarah pendidikan seni secara global, kata peneliti neuroaesthetics, Bayu Tejo sudah dikenal sejak lama, bahkan muncul istilah interdisiplin sejak 1970-an. Hal tersebut kemudian dipertimbangkan lebih serius pada 1990-an dan mulai diaplikasikan dalam pembelajaran sejak 1995.
Pada masa itu, lanjutnya, sudah mulai dipertimbangkan berbagai macam koneksi yang ada dalam seni, terutama dalam pendidikan seni. Apa yang dimaksud koneksi ialah untuk menggali apakah seni itu hanya berbicara keindahan, artistik, estetik, warna, simbol, dan lain sebagainya, atau bisa tidak seni itu menjadi wadah yang mengintegrasi antardisiplin ilmu.
“Nah, akhirnya bagaimana dengan pendidikan seni di Indonesia? Saya pernah melakukan riset di 2017. Saya mencari data pendidikan seni, nah ternyata ada sesuatu yang agak menohok. Sejak 2000, sekitar 1.164 seminar seni yang sudah dihelat, yang dibahas cuma itu-itu saja. Mengapa seni menjadi sesuatu yang tersier, bagaimana seharusnya pergerakan seni dan lain sebagainya,” terangnya.
Akhirnya, dengan kondisi seperti itu dalam poin pertama kesimpulan penelitiannya, Bayu mengatakan pendidikan seni di Indonesia hanya akan menjadi wacana. Ekspresi masih menjadi primadona dan dianggap sebagai indikator keberhasilan pendidikan seni.
“Kita selalu membicarakan seni itu di ranah what it means, melalui orangtua, guru, dan siswa. Belum memasuki ranah what it does. Ada missing link antara pendidikan seni yang masa lalu itu dan pendidikan sekarang yang seharusnya dibicarakan what it does untuk generasi Z, “ pungkas Bayu. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved