Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Tradisi Keboan Aliyan Banyuwangi

Linda Astri
17/1/2021 00:55
Tradisi Keboan Aliyan Banyuwangi
Perayaan tradisi Keboan(Dok. Linda Astri)

SORE itu, Dusun Sukodono ramai dengan hiruk pikuk warga setempat. Suasana kebersamaan yang hangat lekat sekali terasa. Mereka semua sedang sibuk menyiapkan hajatan besar, yakni perayaan tradisi keboan.

Tak ada satu pun warga berdiam diri. Dusun kecil itu penuh dengan Ibu-ibu yang memasak aneka sesajen di dapur umum. Anak-anak dan remaja menyiapkan berbagai hiasan untuk mempercantik dusun mereka. Bapak-bapak sibuk memasang umbul-umbul dan membuat
kubangan. Beberapa yang lain sibuk memasak di halaman rumah masingmasing.

Meski demikian, ketika saya datang, mereka menyambut dengan sukacita. Warga berbahagia mengetahui saya datang dari Ibu Kota untuk menyaksikan aktivitas mereka. Seorang Ibu, yang juga pawang dalam ritual ini, mengajak saya ikut memasak sesajen. Dari obrolan kami sembari memasak, saya mengetahui ritual ini adalah sebuah upacara pesta panen. Dari asal katanya, keboan diambil dari kata kebo yang dalam bahasa Jawa berarti kerbau. Akan tetapi, ritual ini sama sekali tidak menggunakan hewan kerbau dalam pelaksanaannya. Kerbau yang dimaksud adalah kerbau tiruan yang diperagakan oleh sekelompok orang (laki-laki). Ritual ini diselenggarakan setiap bulan Sura.

Ritual keboan dilaksanakan sejak abad ke-18. Selain kerbau, tokoh sentral yang diperagakan dalam ritual ini adalah Dewi Sri. Kerbau dan Dewi Sri dianggap masyarakat sebagai simbol yang banyak membantu dalam pertanian. Ritual ini merupakan wujud syukur dan  penghormatan terhadap leluhur atas hasil panen yang melimpah, yang dalam hal ini direpresentasikan dengan keboan dan Dewi Sri.

Menurut hasil penelitian BNPB Yogyakarta (2015), ritual ini awalnya dilaksanakan di setiap desa di Banyuwangi. Beberapa desa yang tercatat melaksanakan ritual ini ialah Desa Watu Kebo, Kemiren, Alasmalang, dan Desa Aliyan. Seiring dengan perkembangan zaman, ritual ini banyak yang menghilang tanpa jejak. Sebagai contoh, di Desa Watu Kebo, masyarakat sudah tidak lagi melaksanakan ritual ini secara massal. Ritual hanya dilakukan oleh dua orang dengan membaca doa-doa islami. Di Desa Kemiren pun ritual ini sudah tidak dilaksanakan. Hanya ada dua desa di Banyuwangi yang hingga kini masih melaksanakan ritual keboan, yaitu Desa Alasmalang (disebut ritual kebo-keboan) dan Desa Aliyan.

Bagian inti dari ritual keboan adalah selametan di makam leluhur dan ider bumi. Selamatan dilaksanakan sehari sebelum ider bumi. Ider bumi adalah ritual mengelilingi desa yang dilakukan oleh pelaku keboan, pelaku Dewi Sri, pawang, dan juga masyarakat setempat. Pada saat ider bumi, keboan mengalami kerasukan dan bertingkah seperti kerbau. Masyarakat percaya pada saat itulah roh leluhur mereka hadir ikut merayakan pesta panen.

Pawai ider bumi dimulai dari sanggah (tempat meletakkan sesajen) dan berjalan berkeliling desa sesuai empat penjuru mata angin. Selama ider bumi berlangsung, keboan akan berkubang jika bertemu dengan guyangan (kubangan air). Selanjutnya mereka kembali lagi ke area sanggah yang terletak di persawahan. Di persawahan inilah keboan tersebut memulai perilakunya seperti kerbau yang membajak sawah dan berkubang di sawah. Setelah itu dilanjutkan dengan menanam benih padi. Masyarakat berebut untuk mendapatkan benih padi karena dipercaya bisa menyuburkan sawah mereka.

Ritual keboan di Desa Aliyan dilaksanakan secara bersamaan di dua wilayah, yaitu di wilayah kulon atau wilayah desa bagian barat yang meliputi Dusun Kedawaung, Dusun Sukodono, dan Dusun Damrejo, dan wilayah wetan atau wilayah desa bagian timur yang meliputi Dusun Timurejo, Dusun Krajan, Dusun Cempokosari, dan Dusun Bolot. Karena luasnya wilayah desa, ritual keboan (baik di wilayah kulon maupun wilayah wetan) disepakati untuk dilaksanakan pada satu dusun di tiap-tiap wilayah tersebut. Di wilayah kulon, ritual keboan dilaksanakan di Dusun Sukodono, sedangkan di wilayah wetan pelaksanaannya di Dusun Timurejo. Meskipun dilaksanakan hanya pada satu dusun, semua dusun yang lain juga terlibat dalam pelaksanaan.

Perbedaan pelaksanaan ritual ini terletak pada perbedaan tokoh yang menjadi sentral pemujaan dan beberapa tempat yang dianggap keramat di wilayah desa masing-masing. Tokoh pemujaan di wilayah kulon adalah Buyut Wadung, sedangkan di wilayah wetan adalah Buyut Wongso Kenongo. Kedua tokoh sentral tersebut adalah cikal bakal dari wilayah masing-masing. Masyarakat setempat meyakini jika keboan dari wilayah barat dan wilayah timur disatukan, akan terjadi perselisihan. Untuk menghindari hal tersebut, mereka mengadakan di wilayah masing-masing.


Dari ritual ke festival

Pelaksanaan ritual di dua tempat ini pun sempat mengalami pasang surut. Beberapa kali ritual ini tidak terselenggara akibat gesekan agama dan politik. Ritual ini baru benar-benar mendapatkan perhatian dari pemerintah pada 2013 semenjak adanya berbagai gebrakan kebijakan budaya dan pariwisata yang dilakukan Bupati Azwar Anas. Hal itu terlihat pada saat penyelenggaran Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2013. Saat itu BEC mengusung tema The legend of kebo-keboan. Penggunaan tema tersebut mampu membangkitkan sekaligus merawat memori masyarakat terhadap tradisi tersebut.

Di 2014, ritual ini mengalami babak baru. Ritual keboan menjadi festival dan masuk agenda pariwisata tahunan dalam Banyuwangi Festival. Dalam pelaksanaannya terjadi banyak perubahan sehingga ritual menjadi tampak lebih meriah dan menghibur. Ritual yang awalnya hanya dilaksanakan masyarakat setempat, kini menjadi sajian yang bisa ditonton oleh masyarakat luas sebagai atraksi pariwisata.

Semenjak berkembang menjadi festival, ritual keboan di dua wilayah Desa Aliyan juga mengalami perubahan. Di wilayah wetan yang berpusat di Dusun Timurejo, awalnya pelaku keboan tidak memakai atribut yang menyerupai kerbau seperti tanduk atau rambut palsu berwarna hitam. Ketika sudah berubah menjadi festival, pelaku keboan didandani dengan segala macam atribut yang aktraktif dan mampu menarik perhatian banyak orang. Selain itu, banyak pula penambahan atraksi saat ider bumi, seperti replika kerbau yang digotong masyarakat, tumpeng yang disusun dari hasil bumi, juga ditambah aksi kesenian-kesenian yang lain. Pelaksanaan ritual di wilayah wetan (Dusun Timurejo) ini tidak jauh berbeda dengan di Desa Alasmalang.

Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi wilayah kulon yang diselenggarakan di Dusun Sukodono. Masyarakat setempat melaksanakan ritual ini dengan tetap berpegang teguh pada unsur-unsur yang mereka anggap sakral. Mereka mampu memisahkan penambahan atraksi kesenian sebagai bagian dari festival dengan ritual yang memang mereka yakini tidak boleh diubah bentuknya.


Mitos dalam tradisi

Masyarakat Dusun Sukodono memiliki kepercayaan, jika keboan tidak dilaksanakan, akan terjadi bencana di desa mereka seperti gagalnya hasil panen dan wabah penyakit. Bukan hanya itu, masyarakat di desa ini juga percaya, siapa pun yang mendapat peran dalam ritual harus mau melaksanakannya. Oleh karena itulah, ritual ini tak pernah ditinggalkan.

Masyarakat Dusun Sukodono juga tidak berani untuk banyak menambahkan atraksi dalam ritual yang mereka anggap sangat sakral ini. Semenjak masuk dalam kalender Banyuwangi Festival, sesepuh desa mencoba mengelolanya dengan memisahkan antara ritual sakral dan keramaian festival. Festival dikelola oleh anak-anak muda dengan berbagai atraksi kesenian lokal dan diskusi tentang sejarah keboan, sedangkan ritual tetap dilaksanakan secara sakral oleh sesepuh desa. Integrasi dan kolaborasi itu mampu membuat kelestarian ritual ini tetap terjaga hingga kini. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya