Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
Pandemi covid-19 menciptakan kesamaan bagi hidup banyak orang: perubahan. Namun, kita menjalaninya dengan cara berbeda, dengan cerita-cerita yang beraneka.
Quarantine Tales, film omnibus yang baru-baru ini rilis di situs bioskoponline.id, memotret lima kisah kehidupan di masa pandemi. Ada Nougat (sutradara Dian Sastrowardoyo), Prankster (Jason Iskandar), Cook Book (Ifa Isfansyah), Happy Girls Don’t Cry (Aco Tenri), dan The Protocol (Sidharta Tata).
Poin plus dari omnibus ini, semua aktor yang berperan, dipilih dengan tepat. Hal itu berdampak pada efektivitas penceritaan dan karakter dari setiap judul. Ditambah, dengan penyusunan urutan film yang pas, sehingga transisi dari tiap cerita yang sebenarnya bergenre cukup kontras ini mengalir aman.
Happy Girls Don’t Cry, menurut saya adalah film yang paling menonjol pada omnibus ini. Aco, yang juga menulis naskahnya menghadirkan satir keluarga kelas bawah, berkelindan dengan fenomena giveaway yang marak di dunia media sosial.
Adin (Arawinda Kirana) adalah remaja yang rajin menonton konten-konten video para pemengaruh (influencer). Tahu kondisinya yang serba kurang, ia nekat ikut undian give away walau harus berkorban kuota data seluler. Adin lalu memenangkan giveaway dari idolanya. Namun, ia lalu harus berhadapan dengan dilema: mempertahankan hadiah itu atau menjualnya lantaran orang tua Adin punya banyak utang.
Yang menarik, Aco tidak berkutat pada melodrama keluarga papa. Aco menarik garis pada area yang menertawakan kelas bawah itu. Dengan dirinya berpijak dan berada pada posisi si subyek dalam kameranya. Sekaligus, menabalkan ada yang memang buang-buang barang dan uang tapi ada juga mereka yang memunguti remah buangan itu, untuk makan. Aco membawa isu ketimpangan lewat fenomena giveaway ini.
Film The Protocol juga punya amunisi yang mumpuni. Terlebih, ditaruh sebagai cerita penutup yang menjadikan klimaks omnibus ini. Digarap oleh Sidharta Tata, film ini berangkat dari ketika pemerintah memutuskan untuk membebaskan para narapidana ketika pandemi berlangsung. Situasi itu kemudian Tata replikasi dalam filmnya.
Alih-alih memilih kengerian napi yang mengintai warga, Tata dengan cerdik membuat olok-olok si napi, dan dengan tanpa fabrikasi yang berlebihan, sejalan dengan situasi pandemi. Ada dua rampok, diperankan Abdurrahman Arif (Abdul) dan Kukuh Prasetya. Keduanya direkrut untuk merampok, tetapi Kukuh yang sebelumnya batuk-batuk tiba-tiba meninggal di seusai merampok. Abdul bingung haruskah ia meninggalkan jasad Kukuh begitu saja, atau memakamkannya secara layak.
Kebingungan itu tergambar dalam serangkaian adegan komedi situasi, pun komedi yang juga dari proses penyuntingan, dengan berhasil menangkap permasalahan yang sedang dihadapi si perampok dengan jenaka.
Cook Book garapan Ifa tampil cukup lain. Meski film ini dibangun dengan ringan pada awalnya, tetapi ada selipan yang mesti harus ditelisik penonton lebih dalam. Khas Ifa.
Berkisah tentang Chef Halim (Verdi Solaiman) yang di masa pandemi ini berupaya merampungkan buku resepnya sebagai suatu warisan. Kisah kemudian bergerak pada plot yang lebih surreal. Meski tampaknya datang dengan ide besar dan ‘kurang cocok’ sebagai bangunan film pendek, justru ini malah menunjukkan kebebasan pada film pendek. Resep yang ingin diwariskan, barangkali bukan hanya sekadar resep oleh chef Halim. Tapi ada tautan pada kilasan histori hidupnya, yang masih membebaninya dalam melangkah ke depan.
Nougat, yang menjadi debut penyutradaraan Dian Sastro menjadi pembuka yang manis dan lembut pada omnibus ini. Layaknya es krim nougat yang dinikmati ketiga karakter dalam film. Menceritakan ketiga bersaudara yang sudah lama terpisah dan hanya terkoneksi via teknologi jauh sebelum pandemi menghantam, digarap dengan rapi. Sehingga kita juga masih bisa melihat variasi sekuens, jika merujuk pada produksi audio visual yang selama ini berseliweran dan menjadi film produksi pandemi yang memanfaatkan ala layar konferensi video. Meski juga tampak ada bocor continuity seperti ketika Ajeng yang sudah mengaduk-aduk es krim nougatnya, lalu pada akhir tiba-tiba es krim tersebut kembali utuh seperti belum tersentuh.
Sebagai jangkar karakter dalam Nougat, Adinia Wirasti bermain dengan porsi yang sesuai. Jika pada Happy Girls Don’t Cry Aco menyorot keluarga kelas bawah, Dian membawa isu yang ada pada keluarga kelas menengah. Antara kepentingan, jarak, dan rumah yang tidak lagi menjadi ruang berkumpul dan kembali, khas masyarakat urban. Adinia yang berperan sebagai Ajeng menjadi titik tengah antara poros Ubai (Marissa Anita) dan Deno (Faradina Mufti). Ini kelihatannya merupakan awalan cukup baik bagi Dian.
Sementara itu, sutradara Jason Iskandar yang tengah menanti rilis feature debutnya Akhirat: A Love Story membawa Prankster dengan genre thriller. Sama seperti Aco yang terinspirasi dari fenomena pemengaruh, Jason membawa fenomena prank dalam filmnya. Meski secara kejutan dan kemasan yang ditawarkan cukup berhasil, tetapi prankster tampak kurang meyakinkan dengan ide prank virtual atau secara tidak langsung. Meski, sebenarnya ini juga menunjukkan, suatu yang terekam oleh kamera juga bisa saja merupakan manipulasi. Karakter Didit Iseng dan Aurel yang diperankan Roy Sungkono dan Windy Apsari, juga terlihat meyakinkan. Menjadi salah satu kunci dari film ini.
Secara keseluruhan, omnibus Quarantine Tales memiliki keseimbangan porsi dari tiap-tiap filmnya. Semua menjadi satu keutuhan dan bisa menjadi pelepas kerinduan kita pada omnibus. Dengan demikian, film-film pendek yang tergabung dalam film ini juga menjadi lebih berbicara. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved