Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
CARYS Mihardja bukan remaja biasa. Tidak hanya berprestasi akademik, tapi ia juga telah menjalankan usaha di usia begitu muda. Yang lebih istimewa, ia berkecimpung dalam kewirausahaan sosial dengan misi positif berupa penghapusan stigma bagi para penyandang down syndrome di Tanah Air.
Melalui yayasan sosial Carys Care, sejak 2018, Carys telah bermitra dengan Potads (Persatuan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome) untuk misinya itu. Salah satu program Carys Care ialah menggali kreativitas dan bakat dari anakanak maupun remaja penyandang down syndrome, untuk kemudian diejawantahkan dalam bentuk merchandise atau barang-barang fungsional, seperti tas, masker, dan banyak lagi.
Atas kiprahnya, remaja 16 tahun tersebut baru-baru ini menerima penghargaan APEC BEST (Asia Pacific Economic Cooperation’s Business Efficiency and Success Target) Award 2020 di kategori istimewa untuk social impact in society. Ia pun menjadi kontestan termuda dari Indonesia yang mengikuti dan meraih penghargaan tahunan dari APEC tersebut.
Untuk mengetahui lebih jauh sosok Carys dan Carys Care, Muda berbincang dengannya pada Jumat (11/12), di Jakarta. Yuk, simak obrolan kami.
Apa yang memotivasi kamu membuat gerakan untuk penyandang down syndrome?
Aku sering melihat anak-anak down syndrome di mal, dan aku dengar mereka sering dikurung di rumah. Nah, itu permasalahan, dan menstimulasi kita untuk berbuat sesuatu.
Pertama mulainya itu kelas tujuh. Awalnya kayak masih bingung mau pendekatan gerakannya bagaimana. Kami ingin beda dengan organisasi lain yang sudah banyak membantu ke panti asuhan atau sesekali mengajar.
Sebenarnya kami mulainya dari kecil doang. Kami mulai dengan lukisan, kan sudah bikin business model-nya. Terus, kami jual merchandise pertama, ternyata lumayan sukses. Bahkan, mendapat recognition dari (mendiang) Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB. Terus (mendiang) Nelson Mandela, istrinya, juga membantu. Kami juga mendapat recognition dari Duta Besar AS di Indonesia. Itu semua kami sadari bukan untuk Cayrs ya, bukan untuk nama Carys, melainkan gerakan down syndrome ini.
Setelah itu, kami mau coba menjangkau bigger audience, intinya kami mau orang lebih banyak tahu, jadi kami bikin merchandisemerchandise baru.
Bagaimana respons orangtua kamu saat kamu di usia 14 tahun mengatakan ingin membuat Carys Care Foundation?
Dari dulu aku sudah lumayan dewasa, jadinya enggak suka yang kayak mainmain terus. Nah, pada umur 14 tahun punya ide ini dan langsung ngomong ke mama. Aku tahu orangtuaku sangat support tentang isu-isu sosial seperti ini. Jadi, aku enggak takut karena pasti dapat dukungan. Aku mulai dengan duit jajan sendiri, nabung, itu jadi modalnya, terus ditambahin dengan duit dari orangtua.
Siapa saja yang tergabung Carys Care?
Sebagian besar profit kami diperuntukkan donasi ke Potads. Jadi, kami sebisa mungkin menekan biaya. Kami kerja dengan karyawan yang tidak banyak, juga kerja sama dengan Alleira Batik untuk produksi. Kami kerja dengan pegawaipegawai yang kehilangan pekerjaan karena covid-19, seperti dengan para penjahit lokal melalui subkontrak. Jadi mereka tidak full bekerja untuk kami.
Carys punya pengalaman personal terkait dengan down syndrome?
Pertama, inget banget waktu umur 6 atau 7 tahun, lihat anak-anak down syndrome di mal. Aku pikir, kok wajah mereka sama, kayak adik dan kakak. Sekarang aku sempat menyesal juga pernah mikir seperti itu, dan banyak orang masih berpikir kayak begitu. Kadang stigma dari mereka lebih ekstrem, seperti pengecut atau dipanggil kayak disabilitas gitu.
Makanya aku ingin mereka tidak dilabeli disabilitas, walaupun mereka ada perbedaan-perbedaan ya. Jangan sapa mereka dengan ‘anak down syndrome’, tapi dengan nama mereka.
Seperti apa kepedulian publik, khususnya anak-anak muda sebaya kamu, terhadap down syndrome?
Kalau tentang anak-anak down syndrome, belum banyak. Mungkin aku enggak tahu banyak organisasi yang fokus ke anak-anak down syndrome. Aku banyak lihat yang coba membantu untuk isu-isu sosial seperti ini, tapi sering hanya untuk sementara. Misalnya, kegiatan-kegiatan seperti ini memang disukai universitas kan. Tapi, kamu tidak bisa bikin gerakan hanya untuk di universitas. Kalau kamu benar peduli, tentu setelah kuliah pun dilanjutkan.
Aku tuh enggak bakal setop, selama mungkin karena gerakan ini mulainya juga waktu aku muda dan belum kepikiran kuliah. Jadi, benar-benar murni ingin membantu.
Kamu banyak bertemu public figure selama menjalankan gerakan ini. Siapa yang paling berkesan?
Awal-awal melakukan ini aku ketemu Kofi Annan. Dia men-support, dan dia juga tahu beberapa orang yang down syndrome, yang tentunya butuh lebih banyak awareness. Orang-orang banyak membicarakan soal rasialisme, isu perempuan. Itu penting, tapi anak-anak down syndrome juga penting. Kalau anakanak lain bisa ke luar main, mereka juga harus bisa. Jangan dipaksa di kamar saja karena orangtuanya malu. Itu yang aku sampaikan ke Kofi Annan. Dia juga tidak sombong. Dia bilang, ‘Saya bangga sekali dengan kamu’. Itu bikin aku makin termotivasi.
Oh iya, saat berusia 10 tahun, kamu sempat mengajar bahasa Inggris di perkampungan?
Aku selalu ingin kerja kayak di PBB gitu. Aku dulu ingin jadi dokter, sedangkan temanku ingin jadi artis dan lainnya. Tapi ya memang dunia ini butuh film baru, artis baru ya. Cuma kalau keinginanku itu bermula dari waktu berangkat sekolah, di perjalanan suka melihat banyak anak-anak di jalan memulung, dan ya di Indonesia memang masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Itu jadi refleksi untuk diri sendiri. Jadi, aku mikir kenapa tidak kita bantu? Jadi aku mulainya dengan mengajar anakanak di kampung.
Terus mimpi aku di aksi, bukan teori. Banyak orang kasih sembako, tapi sembako itu kan hilang dimakan. Tidak membekas. Kalau social awareness itu susah hilang. Kita bisa mengubah pemikiran dan itu lebih berdampak daripada donasi (barang) atau sembako.
Sebagai remaja yang aktif, bagaimana kamu membagi waktu?
Banyak orang bikin alasan kayak ‘oh aku enggak bisa ke situ karena sibuk’. Tapi kalau ada motivasi, semua sebenarnya bisa dilakukan. Seperti aku, kalau tahu besok ada dua ujian di sekolah, aku sempatkan untuk belajar sambil di mobil. Selain itu, kita juga memang mesti fokus belajar sebelumnya. Jadi, saat belajar di sela-sela kesibukan lain, bisa tetap efektif. Ini masalah time management.
Kamu berkolaborasi dengan jenama Ibu kamu (Alleira Batik) untuk produksi merchandise. Apa tantangannya?
Jadinya aku tuh jarang bilang kayak, “Mom, bikinin itu dong.” Tentunya ada langkah-langkah yang mesti diikuti, seperti bikin proposal, terus pengaturan keuangan. Jadinya aku ikut sistem kerja profesional.
Ada ajaran dari ibu yang paling berkesan di kamu?
Iya, karena ibu juga bergerak di bidang sosial, jadi ibu tuh suka ngomong bahwa kita harus peduli pada orang lain. Pesan dari ibu itulah yang selalu aku ingat.
Jelang Hari Ibu, ada yang ingin kamu sampaikan ?
Iya, ini bukan hanya buat ibu aku, melainkan juga buat semua ibu yang memiliki anak-anak down syndrome. Kalian ibu dan anak yang kuat.
Terakhir, apa rencana Carys Care ke depan?
Ke depannya, kita juga mau, semoga bisa, kerja misal dengan pemerintah agar penyandang down syndrome bisa lebih membaur ke masyarakat. Beri mereka kesempatan kerja karena mereka bisa lo memasak atau bikin kopi, misalnya. Pekerjaan-pekerjaan itu harusnya ditunjukkan bisa untuk mereka juga, bukan hanya orang-orang biasa. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved