Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Belajar Kritis lewat Karya Sastra

Fathurrozak
08/11/2020 00:50
Belajar Kritis lewat Karya Sastra
(MI/Duta)

DALAM enam panel persegi di layar dalam jaringan (daring), enam siswi SMA beradu argumen. Sabtu (31/10) sore, tim SMA Binus School Serpong, Tangerang Selatan, dan tim SMA Global Jaya Bintaro, Tangerang Selatan, yang masingmasing beranggotakan tiga siswi itu silih berganti melempar pertanyaan dalam forum debat sastra Salihara 2020. Kedua tim mempresentasikan hasil kajian terhadap karya sastra.

“Saat kami simak presentasi kalian, yang kami dapatkan belum dipahami secara keseluruhan adalah soal judul besar maskulinitas beracun. Di mana kita bisa mengetahui garis terang mengenai maskulinitas beracun. Apakah ada maskulinitas yang positif dan bentuk-bentuk seperti apa yang mewakili definisi tersebut?” tanya Thalia Valencia Tamahagana dari tim SMA Binus School Serpong pada tim SMA Global Jaya.

“Jadi, kami membahas mengenai maskulinitas beracun. Pada kesimpulan, kami juga membahas bagaimana maskulinitas bisa memberikan efek pada lelaki juga, bukan hanya pada perempuan. Maskulinitas beracun ini tentu datangnya dari masyarakat patriarkis, dari ide Durga dan Umayi, maskulin dan feminin, karena adanya konsep gender biner. Bahwa lelaki harus maskulin dan perempuan harus tunjukkan sifat umayi, dalam arti nurut dan tunduk pada lelaki. Dengan adanya sistem gender biner itu, yang mengharuskan laki-laki harus selalu maskulin, dari situ muncullah maskulinitas beracun,” jawab Tamara Nilakandi Long, dari tim SMA Global.

Itu merupakan sedikit kilasan perdebatan yang muncul dalam lomba debat sastra Komunitas Salihara, pekan lalu. Sebelum sore itu, Thalia bersama dua rekannya dari SMA Binus School Serpong, Faithrista Lavanya Loemongga dan Indyra Radhiyana Nur, sudah menghabiskan malam-malam panjang untuk menyusun kajian sastra dari dua novel. Durga Umayi, karya YB Mangunwijaya, dan Perempuan di Titik Nol, novel masterpiece penulis Mesir, Nawal El-Saadawi.

Kedua karya sastra tersebut, meski berbeda latar sosial politik, sama-sama membahas mengenai perempuan dalam konstruksi patriarkat.

Perjuangan ketiganya pun berbuah manis. Lewat makalah berjudul Menyintas Hidup dalam Gairah Kekuasaan, ketiganya dinobatkan sebagai juara pertama dalam debat sastra tingkat SMA yang diadakan Komunitas Salihara.

Kelompok yang dipimpin Thalia itu akhirnya berhasil mengungguli tim dari SMA Global Jaya, yang juga tidak kalah menarik, dalam  menyajikan telaah kritis mereka terhadap dua karya serupa, dengan judul Patriarki dan Maskulinitas Beracun terhadap Perempuan dalam Budaya yang Menganut Sistem Patriarki.

“Kekuatan sistematika, fokus penggarap an yang mendalam dan tuntas menjadi keunggulan SMA Global Jaya. Sementara itu, kekuatan makalah kelompok SMA Binus School Serpong, ada pada ruang untuk refleksi. Mereka bisa menemukan relevansi antara teks dan konteks hari ini. Namun, mereka juga memiliki keunggulan secara keseluruhan dalam debat, jeli menemukan isu yang dipertajam, dan kuat secara konsep sehingga unggul,” kata Ni Made Purnama Sari, salah satu juri dalam malam pengumuman pemenang, Sabtu (31/10).

Dalam kompetisi debat sastra tersebut, para peserta bukan sekadar menyusun makalah, peserta yang masuk final juga dituntut mampu mengartikulasikan argumentasi mereka secara kontekstual.

Kompetisi ini rutin diselenggarakan Salihara tiap tahunnya sejak 2017. Tahun ini, setidaknya ada 47 makalah yang masuk dari berbagai SMA di Indonesia. Setelah diseleksi dewan juri di tahap pertama, yang terdiri atas penyunting Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Christina M Udiani, sastrawan Mario F Lawi, dan esais Ni Made Purnama Sari, terpilih dua fi nalis dan lima naskah terbaik. Dalam babak final, Ni Made Purnama Sari masih menjadi juri bersama pengajar sastra dan kajian budaya Universitas Indonesia (UI) Manneke Budiman serta novelis Dewi  Kharisma Michellia.

“Tentu kami membaca dulu dua buku yang dikaji. Kami berdiskusi dari yang didapat masing-masing, membahasnya, baru menyusun makalah. Kami bikin kerangkanya, melakukan pembagian tugas dengan tenggat yang telah disepakati,” kata Thalia saat dihubungi Media Indonesia lewat telepon, Minggu (1/11).

Cara itu tidak berbeda jauh dengan yang ditempuh Mika Datyana bersama kedua rekannya di SMA Global Jaya, Diandra Malya Putri dan Tamara. Mika mengungkapkan, dia dan kelompoknya memerlukan waktu untuk memahami isi cerita, tema besar, dan isu yang diangkat dari dua karya sastra yang akan dikaji. Proses diskusi tidak pernah absen, sebelum akhirnya mereka menuangkan pikiran dalam makalah.

“Memilih topik, lalu membuat tiga poin utama. Kami masing-masing mengerjakan satu poin dan saling membantu jika mengalami kesulitan. Tantangan terbesar pastilah memilih topik yang tidak konvensional, tapi tidak menyimpang dari tema besar kedua cerita,” kata Mika, Selasa (3/11).

Ini merupakan pengalaman kedua kali Mika bersama Tamara. Tahun lalu, keduanya juga mewakili sekolah mereka dalam kompetisi ini dan keluar sebagai juara kedua.

“Tahun lalu, acaranya live on the spot di gedung Komunitas Salihara, penontonnya lebih sedikit, tapi rasa gugupnya masih sama. Meskipun akhirnya kedua pengalaman saya mengikuti kompetisi ini berakhir sama (tetap juara dua), tetapi saya sangat bangga bisa menjadi finalis debat sastra dua kali berturut-turut.” 


Referensi

Kualitas kajian sastra yang ditulis kedua finalis, mendapat pujian Manneke Budiman, yang menurutnya mahasiswa sastra saja belum tentu bisa memproduksi kualitas telaah kritis seperti itu. Hal ini tentu tidak terlepas dari proses panjang dalam penyusunannya. Masing-masing memiliki basis riset dan referensi yang cukup kuat.

Misalnya, Mika dan kedua rekannya banyak membaca artikel yang berkaitan dengan konteks dan latar belakang penulis karya yang dikaji. Bahan bacaan terkait dengan konsep feminisme, maskulinitas, dan filosofi pewayangan menjadi bekal yang dilahap. “Kami juga membaca beberapa buku lain untuk pengetahuan tambahan, salah satunya buku Sapiens karya Yuval Noah Harari,” ucap Mika.

“Dari riset dan baca-baca yang kami lakukan, saya dapat belajar banyak tentang berbagai sisi feminitas dan maskulinitas, dan bagaimana patriarki ataupun maskulinitas beracun itu menyakiti kedua pihak, baik itu perempuan maupun laki-laki. Selain itu, saya juga banyak belajar tentang pewayangan, terutama tentang kisah Dewi Umayi dan Batara Guru,” tambah Mika.

Thalia dan kedua rekannya pun tidak kalah intens. Selain referensi tentang konsep feminisme menjadi salah satu daftar wajib, mereka juga mengakses tulisan-tulisan tentang teori kritis, kapitalisme, budaya, dan filosofi agama.

“Kalau aku sendiri tambahan persiapannya dengan membaca beberapajudul, seperti The Tough Standard-The Hard Truths about Masculinity and Violence (Ronald F Levant dan Shana Pryor), dan Marx, Critical Theory, and Religion A Critique of Rational Choice (Warren Goldstein),” kata Thalia.


Berpikir kritis

Melalui proses mengkaji karya sastra, baik menurut Thalia maupun Mika, sepakat hal ini sangat bisa diterapkan sebagai salah satu proses dalam menumbuhkan kerangka berpikir kritis. Pasalnya, saat melakukan telaah, ujar Mika, ada berbagai aspek perlu dipertimbangkan, seperti latar belakang penulis, konteks, dan penggunaan bahasa yang spesifik. Terlebih, jika suatu karya memiliki muatan isu dan tema yang cukup berat.

“Sebagai murid SMA, menurut saya, membaca ataupun mengkaji karya sastra itu sangat penting karena kita bisa mengasah kemampuan menganalisis, berpikir kritis, dan juga mendalami isu-isu yang diangkat para penulis,” kata Mika.

Sementara itu, Thalia menambahkan, kemauan untuk menyimak lawan bicara untuk mendapat ragam perspektif dan melatih kepekaan akan menumbuhkan daya kritisi kita dalam melihat berbagai hal. (M-2)
 


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya