Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
ANAK muda yang produktif dengan sederet pengalaman, itu barangkali sekilas gambaran tentang sosok Alma Putri Dhiafira. Dhea, begitu ia akrab disapa, punya segudang pengalaman di kancah nasional dan internasional di usianya yang masih belia. Fokusnya di bidang kepemudaan dan pendidikan, khususnya terkait literasi. Itu antara lain terefleksi dari salah satu predikat yang disandangnya dari organisasi internasional Rotary Club, yakni Duta Literasi Rotary District 3420 periode 2017-2018.
Pekan lalu, mahasiswi program internasional di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya itu berbincang dengan Muda, perihal dunia literasi, minatnya kepada bidang hukum, juga Sumpah Pemuda dan tantangan bagi generasi muda Indonesia dewasa ini. Berikut petikan wawancara melalui sambungan telepon, Minggu (25/10):
Bagaimana awal mula ketertarikanmu dengan dunia literasi?
Semuanya mungkin diawali dengan kegemaran membaca sejak kecil. Karena pengaruh keluarga juga sepertinya. Dengan membaca buku biasanya saya merasa sering tercerahkan dan dengan informasi yang didapat dari buku bisa memiliki diskusi yang setara dengan Mama, dan itu merupakan sesuatu yang menyenangkan.
Lalu, lama-lama jadi hobi menulis?
Seiring bertambahnya usia, saya merasa membaca saja kok sepertinya tidak cukup. Jadi mulai menulis dan public speaking. Mulai karier menulis itu mungkin karena waktu saya menang lomba menulis surat untuk Presiden Joko Widodo, dapat juara dua. Lalu lomba menulis surat untuk Wali Kota Surabaya, Ibu Risma, juara satu. Setelah itu berpikir, ternyata dengan menulis bisa menghasilkan sesuatu yang keren.
Apa manfaat yang kamu petik?
Kenapa kok saya fokus di dunia literasi dan pendidikan, karena berdasarkan pengalaman hidup saya sendiri, saya benar-benar merasakan sekali bagaimana memiliki kemampuan literasi itu bisa membantu kita meraih impian. Saya ingin orang-orang memahami itu.
Contoh sederhana, ketika kita mau mengikuti pertukaran pelajar, kita tentu tidak bisa sekonyong-konyong berangkat. Kita harus wawancara, menulis surat motivasi, dan lain-lain. Nah bagaimana cara kita agar bisa membuat itu semua menjadi bagus kalau tidak memiliki kemampuan literasi yang baik. Jadi seperti itu lah kurang lebih pentingnya untuk kita memiliki kemampuan literasi.
Apakah hal tersebut juga kamu suarakan ke anak-anak muda lainnya?
Iya, saya senang sekali bisa menjadi bagian dari Rotary District 3420 yang merupakan organisasi pengabdian masyarakat di tingkat internasional. Di sini saya bisa bersinergi dengan berbagai pihak untuk melakukan kegiatan literasi dengan berbagai konsep. Salah satu yang paling unik ialah kita pernah bersinergi dengan pihak Konjen Amerika Serikat, namanya Ibu Heather. Saat itu kita menampilkan ludruk dan hasilnya kami sumbangkan.
Kalau yang masif, alhamdulillah saya bisa mengadakan dua Rotary Global Grant Empowering Literacy From Library senilai $84.500, yang memberikan kesempatan pada pelajar untuk pelatihan menulis dan public speaking selama satu tahun. Kegiatan ini juga didukung Rotary dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Taiwan, dan Korea Selatan. Proyek ini untuk 10 SMP dan 10 SMA yang ada di Jawa Timur.
Komunitas yang kamu buat di kampus juga menyoroti literasi?
Tahun lalu, ya alhamdulillah saya kan penerima beasiswa Bank Indonesia di Unair. Sebagai penerima beasiswa ini, kami membuat komunitas yang namanya Generasi Baru Indonesia (Genbi). Nah, Genbi dan Rotary mengadakan kegiatan Genbi X Rotary Youth Day, yang berjalan selama tiga hari terkait literasi, mulai dari anak TK sampai orang tua. Kenapa saya membuat konsep seperti ini, karena kemampuan literasi itu perlu dimiliki semua orang. Tidak hanya anak-anak, orang tua juga perlu.
Bicara soal dunia perkuliahan, kok memilih hukum?
Saya mulai tertarik dengan hukum boleh dibilang sejak kecil. Karena memahami bahwa hukum itu ada di masyarakat untuk memberi keteraturan dan kenyamanan. Dulu saya tidak ingin langsung menjadi pengacara. Ketika ditanya ingin jadi apa, cita-citanya banyak sekali, mulai dari diplomat, politikus, hingga seniman.
Ketika ikut pertukaran pelajar di Amerika Serikat, waktu pulang saya ditinggal pesawat. Waktu itu saya kan masih SMA, 17 tahun, jadi waktu itu saya dapat banyak insight, enaknya mau ngapain setelah SMA. Gara-gara ketinggalan pesawat itu juga saya lalu merasa, kok tidak adil sekali, akhirnya komit deh, berkecimpung di dunia hukum agar bisa meminimalisasi ketidakadilan.
Nantinya, peran seperti apa yang ingin kamu sumbangkan ke masyarakat dengan bekal ilmu tersebut?
Secara spesifik sebenarnya masih dinamis sampai sekarang. Tapi, saya ingin berkontribusi di organisasi internasional mewakili Indonesia. Kemarin kebetulan juga habis membaca buku soal tenaga profesional yang bekerja di badan keuangan internasional seperti Asia Development Bank, World Bank. Saya ingin bisa memberikan dampak seperti mereka. Bahwa saya yang kecil ini bisa memberikan pengaruh besar pada dunia.
Indonesia itu sebenarnya punya andil besar di organisasi-organisasi internasional. Sayangnya, masih sedikit orang Indonesia yang mau berkarier di sana. Lalu kenapa saya ingin di organisasi internasional, ya karena seru saja kalau kita bisa memiliki jangkauan internasional dan memberikan pengaruh secara global.
Pekan ini, kita memperingati Sumpah Pemuda. Masih relevankah menurut kamu?
Bagi saya Sumpah Pemuda adalah momen untuk mengingat kembali tentang keberagaman Indonesia dan bangga terhadap itu. Karena sebagaimana konten di dalam Sumpah Pemuda, bahwa tema ini itu tetap relevan dengan masa kini. Hanya saja, kalau dulu konteksnya kan melawan penjajah, tapi kalau sekarang ya kembali lagi ke diri kita. Bagaimana kita menyikapi itu.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi anak muda Indonesia di masa ini?
Tantangan terbesar, saya pikir, dengan adanya kemajuan teknologi kita sekarang dapat memperoleh informasi dengan sangat cepat. Dan itu terbuka lebar untuk siapapun. Ini bisa jadi hal bagus, tapi bisa juga jadi bumerang. Karena kalau kita tidak pintar mengelola, itu akan jadi berbahaya bagi diri sendiri.
Jadi, kita harus pandai-pandai menaklukkan diri, untuk menahan diri. Untuk tidak berkomentar bila kita tidak paham permasalahannya. Kalau ingin cari tahu sesuatu ya harus akses sumber yang jelas. Jangan cepat percaya dengan satu sumber, jangan hanya katanya ini atau katanya itu.
Apalagi narasi yang kita sampaikan itu ialah cerminan dari diri kita sendiri. Oleh karena itu kemampuan bernarasi boleh dibilang sebagai kartu nama kita. Kemampuan bernarasi itu juga akan lebih baik jika didukung dengan kemampuan literasi. Umumnya, orang-orang melihat literasi itu hubungannya hanya dengan membaca. Padahal lebih dari itu, literasi adalah bagaimana kita menerima informasi, mengelolanya, dan kemudian membagikannya dengan tepat. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved