Setara dan Berhak Nyaman di Dunia Digital

Fathurrozak
25/10/2020 02:15
Setara dan Berhak Nyaman di Dunia Digital
(MI/Duta)

AKTIVITAS dunia maya atau daring yang semakin intens dewasa ini, terutama dengan menyebarnya pandemi covid-19, bak pedang dengan dua mata sisi. Di satu hal, internet memudahkan pertukaran ilmu dan informasi. Di sisi lain, muncul pula aksi-aksi penyalahgunaan ataupun kekerasan, salah satunya seperti kekerasan berbasis gender online.

Fenomena tersebut yang menjadi atensi Plan International Indonesia, yayasan yang berorientasi pada pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. 

Girls Take Over (GTO) ialah salah satu program tahunan yang rutin mereka helat dalam rangka Hari Anak Perempuan Internasional saban 11 Oktober. Dalam program yang dicanangkan sebagai wahana belajar sehari menjadi pemimpin itu, para kandidat disaring lewat Girls Academy Class (GAC).

“Saya mengikuti kelas dan dibagi ke dalam kelompok kecil bersama mentor. Kami berdiskusi lebih dalam, selama empat hari. Setelah itu, kami membuat video kampanye berdurasi 90 detik bertema freedom online. Di video itu, saya mencantumkan pesan kampanye kekerasan berbasis gender online,” cerita Phylia, Kamis, (22/10).

Phylia, 16, ialah siswi SMA asal Kupang, NTT, yang menjadi satu dari lima anak perempuan yang men-takeover para figur publik: Hannah Al Rashid, Muhammad. Farhan, Angkie Yudistia, Najwa Shihab, dan Budiman Sudjatmiko. Dalam sehari, Phylia dan empat rekannya mengambil alih akun media sosial para figur tersebut.

Pada GTO ini, Phylia ‘berpasangan’ dengan Hannah Al Rashid, aktivis kesetaraan gender dan aktris.

Anak perempuan lain yang juga terpilih sebagai GTO tahun ini ialah Devie, 16, siswi SMA asal Maluku Utara. Keikutsertaannya diawali dari tawaran kakaknya yang juga pernah ikut GTO 2018. Devie berkesempatan untuk berdiskusi dengan anggota DPR Komisi I Muhammad Farhan. Komisi I memiliki lingkup tugas di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen.

Devie menyebut dirinya menemukan kesamaan tekad dengan Farhan, yang sama-sama ingin mewujudkan kesetaraan gender, dan kebebasan berekspresi bagi anak perempuan. “Anak perempuan mempunyai kesempatan sama dengan anak laki-laki. Salah satunya dalam kebebasan berekspresi. Namun, pada kenyataannya, banyak pendapat dan aspirasi anak perempuan, baik offline maupun online, yang diremehkan, ditolak bahkan sering dijadikan bahan ancaman atau kekerasan. Salah satunya KBGO (kekerasan berbasis gender online) yang sangat rentan dialami anak perempuan,” ungkap Devie kepada Media Indonesia, Kamis, (22/10).

Ia menambahkan, kekerasan semacam itu mudah ia dapati di lingkungan sekitarnya, baik di sekolah maupun lingkungan pertemanan. Seringnya, ia menemukan perisakan daring, peretasan, “Bahkan tindakan yang membuat korban merasa tidak aman dan nyaman secara gender,” kata Devie.

“Untuk itu dibutuhkan perlindungan bagi anak perempuan agar mereka berani untuk angkat suara mewujudkan kesetaraan gender dan terbebas dari segala bentuk ancaman dan tindak kekerasan,” ujarnya.


Ruang Nyaman tanpa Ancaman

Fenomena serupa juga ditemukan Salwa, 16, siswi SMA asal Kutai Timur, Kalimantan Timur. Salwa menyebutkan ia sering menemukan perisakan, bahkan ancaman kekerasan seksual yang terjadi di media sosial, di lingkup sekitarnya.

“Belum lagi ditambah stigma buruk yang kerap para perempuan dapatkan, yang menambah rasa tertekan korban. Namun, para pelaku berdalih hanya bercanda, kemudian balik menyerang lagi dengan kata ‘baperan,’” cerita Salwa.

Pada GTO ini, Salwa berkesempatan berdiskusi dengan Staf Khusus Presiden yang juga aktivis disabilitas, Angkie Yudistia. Salwa menuturkan diskusi dengan Angkie memberikan pengalaman baru baginya. Terlebih, menurut Salwa, sosok Angkie mampu memanfaatkan media sosial untuk mengangkat berbagai isu, khususnya disabilitas.

“Dalam diskusi, Kak Angkie sangat terbuka dan menerima kebebasan berekspresi di dunia digital. Dia juga mendukung akses digital yang inklusif untuk seluruh kaum muda, yakni hal tersebut sesuai dengan arahan Presiden tentang infrastruktur digital. Dia juga berpesan kepada saya agar bisa menjadi pemimpin untuk diri sendiri sebelum memimpin orang lain, serta sinergi dan kolaborasi yang tepat dengan lingkungan sekitar.”

Sementara itu, Phylia yang berdiskusi dengan Hannah memperoleh wawasan tentang hal-hal yang sepatutnya bisa dilakukan untuk bersuara dan membantu penyintas kekerasan seksual.

“Bagaimana kita peduli dengan sesama, tidak malu dengan apa yang terjadi dalam hidup kita, dan bagaimana kita mau bangkit dari hal ataupun kejadian buruk tersebut. Kita harus menjadikan pengalaman pahit itu untuk membantu orang-orang di luar sana yang mungkin takut atau ragu untuk bersuara.”

Dari riset Plan Internasional di Indonesia yang melibatkan 500 anak dan perempuan muda berusia antara 15 dan 25 tahun, menyebutkan ada 99% menggunakan media sosial, dan 67% aktif memperbarui unggahan. Riset yang dipublikasikan tahun ini tersebut juga mengungkap, sebanyak 56% perempuan pernah atau melihat anak dan perempuan muda lain mengalami pelecehan di media sosial.

Bentuk-bentuk pelecehan daring yang terjadi antara lain ancaman kekerasan seksual, pelecehan seksual, ancaman kekerasan fisik, komentar rasialisme, celaan tubuh, dipermalukan dengan sengaja, penghinaan dan bahasa kasar, penguntitan, dan komentar anti-LGBTQ. Dari berbagai bentuk pelecehan daring ini, 56% pelakunya ialah orang yang dikenal korban. Kebanyakan korban mengalami pelecehan daring pada fase usia 15-20 tahun dengan persentase 19% mengalaminya di platform Facebook, dan 10% mendapatkan pelecehan lewat platform Instagram.

Menurut Devie, beberapa hal yang bisa didorong untuk menciptakan lingkungan daring seperti media sosial agar lebih inklusif bagi semua kalangan adalah dengan menumbuhkan empati. Memosisikan diri sebagai korban dan merasakan yang dilalui para korban akan memunculkan pertimbangan dan berpikir ulang sebelum akhirnya bertindak kejahatan di media sosial.

Namun, lanjut Salwa, regulator juga harus ikut berperan. “Pemerintah dapat menyusun sistem perlindungan terhadap korban, serta hukum yang jelas bagi para pelaku. Ya, kita tunggu keputusan undangundang yang bisa menjadi payung hukum yang jelas untuk kita semua,” tegasnya.

“Serta pesan saya untuk wakil rakyat, segera sahkan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual),” timpal Devie.

Ketiganya, baik Phylia, Devie, maupun Salwa menyatakan ingin terus mengampanyekan pentingnya perempuan memiliki ruang yang nyaman dan aman di dunia daring. Mereka sepakat, perempuan juga sudah sepatutnya memiliki kesempatan sama dan setara.

“Kami, anak perempuan, memiliki kesempatan yang sama dan setara untuk menjadikan dunia digital sebagai wadah kami berekspresi dan berdaya, serta memiliki ruang aman tanpa adanya ancaman kekerasan berbasis gender online,” kata Salwa. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya