MEMANG ini bukan melulu tentang panggung. Ada yang berubah ketika pandemi menyerang. Bukan lain soal panggung yang mati dan pentas yang sepi.
Lebih dari itu, pandemi dan era digital juga menjadi mimpi yang tak kunjung usai. Semua harus disikapi dan disiasati. Kesadaran itulah yang muncul dari pementasan virtual Kekayi; Prahara Ayodya oleh The Indonesia Opera Drayang Swargaloka.
Pentas itu berangkat dari kesadaran penuh pada perbedaan antara seni bermedia panggung dan seni bermedia digital. Sintesis keduanya harus ditemukan dalam bentuk yang asyik dan aduhai.
Garapan itu terasa berbeda dengan pentas virtual lain. Alih-alih menampilkan panggung utuh dalam bentuk digital, pentas itu digarap dengan pendekatan film. Ada beberapa unsur sinematografi yang kental, utamanya teknik pengambilan gambar.
Sutradara sekaligus penulis naskah, Irwan Riyadi, mengungkapkan semangat berkesadaran yang menjadi latar terciptanya bentuk visual pentas. Ia bertolak dari pemahaman tentang perbedaan antara seni panggung luring dan daring.
“Kita sadari betul bahwa ini tontonan daring. Orang menonton melalui layar berbeda dengan panggung. Tontonan daring itu butuh move (pergerakan) untuk menyiasati. Sederhananya, kita harus menggarap seperti film,” ujar Irwan, Kamis (3/9).
Secara garis besar, lakon itu bercerita kisah kasih Ramawijaya dan Dewi Sinta yang penuh liku dan romantika. Diawali dari ambisi Dewi Kekayi yang menginginkan putranya, Barata, menjadi raja.
Kekayi mengusir anak tirinya, Rama, yang seharusnya berhak menjadi raja. Padahal, Ramawijaya dan Sinta baru saja dipertemukan dalam sebuah sayembara. Keduanya rela menuruti kehendak Dewi Kekayi demi menepati janji ayahnya, Prabu Dasarata.
Cerita pun dibuat lebih padat. Semata untuk mempertimbangkan kemampuan penonton digital yang berbeda dengan panggung langsung. Ada kemungkinan jenuh melanda penonton ketika pentas disajikan dalam durasi panjang dalam format digital.
“Itu saya sadari betul. Tontonan semenarik apa pun dalam format itu (digital), ada keletihan. Apalagi berbicara tentang wayang. Untuk itu, pelan-pelan, kalau orang sudah mulai tertarik, baru secara durasi bisa kita (tambah),” tambah Irwan.
Untuk menghindarinya, naskah sengaja dibuat padat, ringkas, dan terpenggal sehingga penonton masih berasa kurang dan penasaran dengan aluran cerita. Seperti diputus pas lagi sayang-sayangnya.
“Prinsipnya adalah penonton harus merasa kurang. Jangan sampai merasa muntah,” tandas Irwan.
Berbincang soal tata panggung, ini memang bukan hanya mendigitalkan panggung. Sebaliknya, ada pemampatan dari panggung yang biasanya selebar belasan meter menjadi hanya berukuran inci.
Mungkin panggung lebih menawarkan keluasan. Pada media digital, tidak ada lagi mata penonton yang berkuasa atas arah pandang dan biasa melihat menyeluruh. Hal itu tidak akan mungkin terjadi jika media tonton hanya selebar telapak tangan.
“Memang yang tidak bisa kita dapatkan ketika nonton pertunjukan langsung kan detail, detail ekspresi, detail gerak, mau ke arah mana. Misal pandangan penonton mau diarahkan ke mana, kan di pertunjukan langsung tidak bisa. Nah, kita mencoba membaca peluang, kamera itu bisa menjadi mata yang lebih spesifik,” terang sutradara sekaligus koreografer Bathara Saverigadi.
Sebagai gantinya, penonton diajak untuk fokus pada visual yang disajikan. Penonton tidak lagi diberi keluasan untuk memilih. Segalanya telah diset dan dihidangkan matang.
Berisiko memang. Jika tak pandai menandai fokus, bisa jadi memuakkan. Untungnya, pentas ini tidak demikian. Garapan cerdas itu tidak hendak menonjolkan sebatas fokus, melainkan narasi visual yang saling terkait. (M-4)