Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
DI balik kehidupan pesantren, ada banyak cerita yang jarang diperdengarkan. Bukannya dinding tidak berbisik, melainkan kisah itu lebih banyak diceritakan dari mulut ke mulut atau menguap begitu saja ke udara.
Adalah Diyana Millah Islami yang kemudian memutuskan untuk menceritakan penggalan kisah dari pesantren yang jarang diungkap.
Novelnya berjudul Khaddam: Lembar Kisah sang Abdi Pesantren kemudian berhasil memenangi perhargaan kategori fiksi dewasa, dalam Islamic Book Fair 2016 yang baru berakhir 6 Maret 2016.
Sesuai judulnya, novel itu bercerita soal kehidupan khaddam yang dalam bahasa Indonesia berarti pelayan. Di lingkungan pesantren, julukan khaddam lazim disandang santri yang mendapat pembebasan biaya berkat pengabdian kepada keluarga pemilik pesan tren. Mereka umumnya memang berasal dari keluarga kurang mampu.
Jadi selain belajar, mereka mengurusi berbagai urusan rumah tangga layaknya pelayan atau pembantu rumah tangga, mulai mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, dan seterusnya.
Bukan rahasia lagi, menjadi khaddam bukanlah perkara enteng, terutama untuk remaja yang belum puas menikmati masa bermain. Di Pesantren Nurul Muttaqin yang dikelola Kiai Umar, menjadi khaddam lebih berat lagi lantaran sifat dan sikap Nyai Salma yang tak lain ialah istri Kiai Umar. Perempuan itu bisa dibilang hobi sekali marah-marah sehingga tak ada khaddam yang lepas dari caci dan amukannya setiap hari.
Sari, salah satunya, menjadi langganan kemarahan Nyai Salma. Anak itu dianggap tidak becus, padahal sering kali dia memang terpaksa menunda tugasnya karena terdorong untuk membantu khaddam lain. Di tengah rasa frustrasi dan lelah menjadi khaddam, anak yang sudah tiga tahun mondok di pesantren tapi sempat tidak naik kelas karena tidak lulus ujian itu amat mengharapkan penderitaannya sebagai khaddam segera berakhir.
Dia tidak naik kelas pun tidak terlepas dari kesibukannya sebagai khaddam, sering kali membuat telat sampai ke sekolah dan tak punya waktu untuk belajar.
Berhenti mengabdi
Sayang, tak sembarang alasan bisa dipakai untuk berhenti menjadi khaddam. Biasanya, santri bisa berhenti jadi khaddam hanya bila hendak menikah. Itu pun sejak lamaran hingga hari pernikahan, mereka pantang berhenti mengabdi di pesantren. Maka begitulah, satu doa yang terus tersemat di bibir Sari dan banyak khaddam lain, yakni agar segera dilamar hingga terbebas dari beban sebagai khaddam.
Kisah fiksi ini pada akhirnya tak berbeda jauh dengan kisah Cinderella, di saat se orang gadis jelata mendapatkan ‘pangeran’ untuk mengangkat kehidupannya. Bedanya, latarnya ialah lingkungan pesantren, dengan konflik yang dibangun terkait dengan tugas khaddam dan bukannya pangeran yang menjadi penyelamat khaddam, melainkan lelaki berilmu dan dari kedudukan yang tinggi di masyarakat pesantren.
Penulis, sebagaimana dalam pengantarnya, memang ingin mengedepankan nilai dari keikhlasan dan kesabaran, juga berkah dari ilmu. Makanya sekalipun berat dan pedih, pengabdian sebagai khaddam selayaknya pencarian ilmu yang pahit awalnya, kemudian akan berbuah manis.
Sayang, tampak ada upaya klarifikasi yang tidak tuntas di buku itu. Sekalipun sikap pemarah Nyai Salma terus dikritik di sepanjang buku, hal itu dibiarkan hingga akhir dan mengesankan tugas khaddam tak jauh berbeda dengan perbudakan yang sejatinya telah dihapuskan. Ketika seorang khaddam menghadap keluarga kiai, mereka harus menundukkan kepala dan berjalan dengan berlutut, sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa hanya kepada Allah kita layak berlutut dan menyembah.
Di sisi lain, kutipan yang menyelangi setiap babnya memberikan gaya yang cukup menyegarkan. Contohnya seperti yang tertuang di halaman 75, “Jika kamu tidak mau belajar, maka tidak ada yang bisa menolongmu.
Jika kamu mau belajar, maka tak ada yang bisa menghentikanmu.” Buku setebal 377 halaman itu tergolong bacaan ringan dan mengajak mengetahui lebih dalam seluk-beluk dapur pesantren. Terlepas dari kurang tuntasnya autokritik terhadap praktik pesantren yang keliru, buku ini layak dibaca asal diselami dengan ilmu, tidak sekadar menerima segala informasinya begitu saja. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved