Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
“LAOSHI, ni hao? Laoshi, ni hao?” Kalimat itu berulang meluncur dari bibir bocah-bocah usia 6 sampai 12 tahun. Dalam bahasa Indonesia, sapaan akrab Mandarin itu berarti “Guru, apa kabar?”
Anak-anak itu bukan berkumpul di sekolah atau tempat kursus bahasa, melainkan pelatihan seni bela diri Sasana Rajawali Sakti. Berlokasi di salah satu pusat perbelanjaan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, sasana itu mengajarkan banyak seni bela diri Mandarin, salah satunya wushu.
Seperti terlihat Jumat (4/3) itu, banyak murid Rajawali Sakti berusia belia. Salah dari mereka ialah Ivana Beatrice yang berusia 10 tahun. Meski berpostur kecil, kemampuan Ivana tidak remeh. Bocah penuh semangat itu sudah mahir meliukkan tubuh dan melakukan berbagai gerakan dengan baik.
“Sudah belajar wushu dari umur 6 tahun,” ucap Ivana kepada Media Indonesia.
Setelah empat tahun belajar wushu, Ivana cekatan melakukan berbagai atraksi taolu yang berarti bentuk atau gaya dengan beatraksi menggunakan tangan kosong, pedang, golok, tombak, dan toya. Kegemarannya pada olahraga semakin membuat mudah Ivana untuk mempraktikkan berbagai gaya dalam taolu.
“Hobi aku memang olahraga. Jadi awalnya itu belajar di taman deket rumah. Terus disuruh mama pindah ke sini buat latihan,” sambungnya.
Mulai 5 tahun
Pemilik sekaligus pelatih utama sasana tersebut, Herman Wijaya, menilai wushu memang cocok untuk anak-anak. “Banyak manfaat yang bisa didapat dari belajar wushu. Salah satu manfaat yang bisa didapat ialah sifat disiplin, kepercayaan diri, dan konsentrasi yang lebih tinggi,” tutur mantan atlet wushu nasional itu.
Meski begitu, Herman mengungkapkan ada usia ideal bagi anak mulai belajar. “Biasa start awal belajar wushu itu berumur lima tahun karena jika di bawah lima tahun itu masih sulit mengerti dan diatur. Untuk pemula, biasanya mereka akan terlebih dahulu belajar taolu karena badannya yang masih lentur dan mudah diatur,” tambah pria 37 tahun itu.
Wushu juga dapat membantu kemampuan anak di sekolah, seperti Ivana yang mendapat nilai baik untuk pelajaran olahraga.
Dengan kepercayaan diri yang terpompa, gadis ceria itu juga kerap diminta guru di sekolah untuk memimpin sesi pemanasan.
Tiga jenis
Wushu, menurut Herman, terbagi dalam tiga jenis, yakni taolu, sanda, dan tradisional. Selain minat masing-masing, umur menjadi penentu seseorang untuk memilih aliran yang ditekuni.
Taolu cocok untuk anak-anak berusia 6 sampai 15 tahun. Jenis wushu itu lebih banyak memamerkan atraksi seni pertunjukan dengan menggunakan tangan kosong serta berbagai senjata yang tentunya membutuhkan kelenturan tubuh.
“Biasa kalau masih anak-anak sampai remaja lebih diarahkan ke taolu ini. Namun, biasanya kalau sudah menginjak umur 15 tahun ke atas, untuk yang laki-laki lebih memilih ke sanda karena badan sudah kaku dan sanda lebih ke arah fighting dan kekuatan fisik,” ujar Herman.
Sementara itu, untuk tahapan selanjutnya, yakni tradisional, sudah merupakan pemusatan ilmu bela diri seperti wing chun, shaolin, dan taichi.
“Nah untuk yang tahapan tradisional ini biasanya sudah pilihan. Tergantung seseorang itu mau meneruskan belajar bela diri yang mana,” sambung Herman.
Untuk bisa menguasai teknik-teknik dasar dalam seni bela diri wushu, pemula butuh berlatih dengan rutin selama kurun waktu sekitar lima tahun dengan durasi latihan sebanyak dua kali dalam satu minggu.
“Cukup lama memang karena wushu itu dibutuhkan badan yang lentur seperti balet. Nah untuk membuat badan lentur itu tidaklah mudah dan butuh waktu yang cukup lama,” pungkas Herman. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved