Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Eksplorasi Kaligrafi Pirous

13/3/2016 00:40
Eksplorasi Kaligrafi Pirous
(MI/ATET DWI PRAMADIA)

HANYA ada sedikit macam warna dalam kanvas selebar 120 x 100 cm. Warna biru mendominasi semua sudut kanvas. Hanya, di bagian atas masih tersisa warna putih agak buram. Warna itu dibatasi garis yang tidak lurus. Warna itu juga tidak persegi simetris menutup penuh bagian atas kanvas. Itu pun masih harus berbagi dengan warna biru. Lukisan itu berjudul Tulisan Biru (1974) karya AD Pirous.

Tulisan Biru yang dibuat pada 1974 menjadi tonggak awal pencarian Pirous untuk mengeksplorasi kaligrafi. Karya itu sarat dengan atmosfer abstrak. Hanya ada dua warna yang harmonis. Hanya ada simbol tegak seperti alif dalam abjad hijaiah. Simbol itu ditata sedemikian dalam latar putih buram.

Lukisan itu menjadi salah satu yang dipamerkan dalam acara bertajuk Spiritual Calligraphy di Gedung World Trade Centre 2 (WTC 2) di Jakarta. Helatan itu berlangsung selama satu bulan, 1 Maret-1 April 2016.

Pameran itu secara khusus menyorot gaya berkarya khas sang pelukis yang menggabungkan abstraksi Barat dan kaligrafi. Tiga belas karya yang dipamerkan dibuat pada kurun 1970-an sampai 2000-an. Karya-karya Pirous tampak mengalami perkembangan dalam eksplorasi kaligrafi.

Abdul Djalil Pirous ialah nama lengkapnya. Ia lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Pada 1955, ia belajar seni rupa di Universitas Indonesia cabang Bandung (kini ITB), lulus 1964, dan langsung menjadi pengajar di sana. Pada 1969, Pirous belajar seni Barat dan grafis di Rochester Institute of Technology New York, Amerika Serikat.

Saat di Amerika, jiwanya terpanggil untuk menekuni kaligrafi Arab. Panggilan itu muncul pada 1970 saat dia menyaksikan kaligrafi klasik Timur Tengah yang dipamerkan di Museum New York. Periode itu sekaligus penanda mula eksplorasi Pirous terhadap kaligrafi.
Beberapa karya yang dipamerkan dan dibuat pada periode itu ialah Kurnia-Nya yang Mana yang Masih Kau Dustakan (1974), 17 Nama Tuhan (1980), Sehutan Kalam, Selautan Mangsi, dan Tiadalah Asma Allah Habis Tertuliskan (1985).

Karya itu memakai tulisan ayat yang bersumber dari Alquran. Inilah yang kemudian diperjelas Agung Hujatnikajennong dengan menyatakan sejak 1970-an eksplorasi Pirous menunjukkan perluasan dari prinsip formalisme sebelumnya.

“Pada 1970-an, eksplorasi kaligrafis Pirous diwarnai semangat modernis yang kuat. Ia pernah menyisihkan aspek keterbacaan tulisan, mende­formasi huruf-huruf secara ekstrem, dan menampilkannya sebagai pseudokaligrafi yang berlaku sebagai elemen visual belaka,” tulis Agung Hujatnikajennong dalam catatannya.


Elemen komunikatif

Namun, periode 2000, Pirous memasuki tikungan baru. Karyanya justru menonjolkan aspek keterbacaan dan pesan. Ia mengedepankan elemen komunikatif dalam seni. Sebelumnya, Pirous melukiskan hal yang termaktub dalam Alquran dan Hadis. Pada periode ini, Pirous justru banyak mengabadikan kebudayaan lisan tradisional. Ia menuliskan kembali ayat-ayat itu sebagai cermin untuk melihat berbagai peristiwa sosial dan politik.

Seperti dalam karya Etika Gonjang Ganjing antara Pe­nguasa dan Pengusaha (2011) ,ia menulis ‘ada oebi ada talas, ada budi ada balas’. Siapa Takut? (2011) dengan tulisan ‘siapa lancung ke ujian seumur hidup orang yak percaya’.

Apa Namamu? (2005) dengan tulisan ‘harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan. Apa namamu?’.

Senjakala Demokrasi Indonesia (2010) dengan tulisan ‘my loyal to may country ends, where my loyalty to my party begins’. (Abdillah M Marzuqi/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya