Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Kedepankan Lokalitas Demi Keberlanjutan

Galih Agus Saputra
09/8/2020 02:25
Kedepankan Lokalitas Demi Keberlanjutan
Greta Elsa Nurtjahja(Dok. Pribadi)

MENELAAH budaya lokal dari cerita dan literatur tidak cukup bagi perempuan yang satu ini. 

Greta Elsa Nurtjahja, nama perempuan tersebut, memilih mendatangi masyarakat Kampung Buni Kasih, Jawa Barat, untuk menyesap langsung bagaimana interaksi, sistem kepercayaan, budaya, sumber daya manusia, dan sumber daya alam setempat. 

Anak kedua dari tiga bersaudara itu kemudian menuangkan hasil amatannya menjadi sebuah karya berjudul Rumah Kopi. Rumah Kopi (A Communal House of Coffee) menjadi wujud nyata kerja arsitektur vernakular yang membutuhkan baik proses adaptasi perilaku, budaya, maupun tradisi masyarakat di suatu wilayah yang menjadi objek amatan. 

Berkat karya itu pula, ia berjaya di ajang Asia Young Designer Award (AYDA) Summit. Bahkan, Greta merupakan perancang muda pertama dari Indonesia yang menjadi juara kategori desain interior sejak 12 tahun ajang itu dihelat di tingkat Asia. 

Berikut ialah wawancara Muda bersama pemilik hobi bulu tangkis itu via aplikasi obrolan, Rabu (22/7):

Bagaimana perasaanmu jadi juara AYDA Summit 2020?
Bangga, senang, dan yang pasti bersyukur di situasi seperti ini bisa membawa berita baik bukan buat saya saja, melainkan juga buat masyarakat Indonesia. Terus, di perjalanan ini, saya sebenarnya tidak merasa begitu berkompetisi. 

Lebih seperti belajar. Makanya, mengucapkan terima kasih sekali buat Nippon Paint yang setia melaksanakan acara ini walaupun situasi seperti sekarang. Saya kuliah lulusnya kan lima tahun.

Sempat tidak lulus (mata kuliah) studio, jadi mengulang setahun. Waktu itu sudah ingin pindah jurusan. Jadi, ketika jadi juara, terlintas andai dulu pindah jurusan, berapa besar kesempatan terbuang, kan?

Makanya, saya bersyukur banget karena kalau kita punya mimpi dan cita-cita, perjalanannya mungkin sulit, tapi kita tidak boleh mudah menyerah karena kita tidak melihat hasilnya langsung.

Apa pendapatmu soal tema AYDA Summit 2020, Forward: a sustainable future?
Itu yang ingin sekali saya sampaikan pada desain saya. Sekarang kan kita ada di era industri, masa orang berlomba-lomba untuk memproduksi, terus mulai banyak yang membicarakan era baru, yaitu 4.0.

Nah, dalam konteks Indonesia, kadang kita terlalu fokus ke teknologi dan tidak melihat keberlanjutan itu sebagai keseimbangan. Padahal, keberlanjutan di masa depan, khususnya di Indonesia, benar-benar harus memperhatikan sisi manusianya. 

Baik dari budaya, kehidupan sosial, maupun aktivitas manusia terhadap alam yang mana mungkin teknologi bisa membantu itu. Makanya, desain saya lebih banyak mengangkat unsur-unsur lokalitas. Saya ingin menyampaikan apa yang dibilang masa depan keberlanjutan itu tidak harus menciptakan sesuatu yang benar benar baru, tetapi lebih bagaimana kita menerjemahkan masa lalu kita menjadi hal yang lebih baik, mengambil inspirasi dari apa yang kita sudah punya.

Bagaimana pendekatan kamu dengan masyarakat Kampung Buni Kasih hingga akhirnya melahirkan karya arsitektur vernakuler Rumah Kopi?
Sebenarnya kenapa vernakular, saya merasa Indonesia itu dari dulu kan memang sangat kaya, ya. Budaya, SDM, dan
SDA. Kekayan itu saya lihat justru adanya di daerah yang lebih desa begitu, bukan di kota. Namun, saya juga ingin melihat apa sebenarnya permasalahan desa di Indonesia?

Menurut saya, seperti ada rasa inferior di masyarakat desa. Padahal, potensi desadesa di Indonesia itu sebenarnya besar. Keterampilan mereka juga tidak kalah. Jadi, ketika saya ke Kampung Buni Kasih, sudah terpikir bikin proyek tentang pemberdayaan masyarakat.

Waktu tinggal di sana, saya melihat di desa masih sangat arif, banyak budaya, dan kepercayaan. Dari situ saya merasa kalau membuat desain bagus yang tibatiba datang begitu saja, belum tentu diterima masyarakat setempat.

Mereka pasti merasa seperti ‘ini siapa?’ Yang ada, desain saya dilihat sebagai benda asing. Akan tetapi, dengan melibatkan masyarakat, mereka jadi ada perasaan self-belonging.

Lalu, bagaimana cara kamu memahami mereka?
Saya akhirnya menggunakan arsitektur vernakular untuk memahami mereka. Proses awalnya karena di kampung itu hanya ada 35 keluarga.

Jadi, di arsitektur vernakular itu, kan, ada tujuh unsur pembentuk kebudayaan. Saya mencoba mengkaji dari tujuh unsur itu. Bagaimana polanya terbentuk, dari kepercayaan, filosofi , material, hingga sebagainya. Polanya, lalu saya ambil untuk jadi struktur utama dari rancangan saya.

Cita-citanya, selain masyarakatnya dapat membangun desain saya, setelah desainnya jadi pun, mereka berpikir itu merupakan bagian dari kampung mereka.
 
Apa harapan kamu dari desain itu, mengingat kita hidup di negara dengan sejarah arsitektur cukup panjang, ditandai bangunan-bangunan ikonik mulai Candi Borobudur hingga Rumah Sate Bandung dan lain sebagainya?
Sebenarnya ini juga saya alami. Kalau kita dapat proyek-proyek ini, kan, banyak orang opsi pertamanya itu dijadikan tempat pariwisata. 

Padahal, dalam konteks melestarikan atau keberlanjutan secara utuh, tidak bisa dilihat dari aspek lingkungan atau ekonomi saja. Ada faktor manusia, dan kehidupan sosial serta budayanya yang harus dilestarikan.

Kalau lihat Kota Tua dan segala macam, sebenarnya kan bagus. Permasalahannya, setelah bangunan itu ada, manusianya tidak teredukasi untuk merawatnya. Jadi, sering kali pada akhirnya rusak. Saya tidak ingin itu terjadi. 

Makanya, arah desain saya bukan untuk mengundang orang luar investasi di desa, melainkan lebih untuk mengembangkan SDM lokal supaya mereka sadar bahwa mereka punya hak atas SDA yang mereka miliki dan mereka bisa mengelola itu untuk kehidupan seharihari secara berkelanjutan.

Bagaimana pendapat kamu soal budaya Indonesia dalam kaitannya dengan dunia arsitektur dan desain interior?
Secara teori kalau lagi kuliah, kan, belajar, setiap daerah punya budaya, tapi semenjak proyek ini saya benar-benar merasakan sendiri.

Waktu mempelajari tujuh unsur budaya, kemarin, saya baru benar-benar sadar bahwa ternyata benar, ya, di Indonesia itu orang di wilayah tertentu itu keren banget. Misalnya, belum ada teknologi, internet, dan segala macam, tapi mereka punya proses berpikir yang baik sehingga itu bisa diterjemahkan menjadi sebuah bentuk yang sekarang menjadi sebuah budaya yang diwariskan ke kita.

Karena itu, kita yang muda-muda ini punya tanggung jawab untuk melestarikan, memahami juga nilai-nilainya. Kadang kesalahannya itu kita melihat budaya itu hanya kulit luarnya saja. Misalnya, seperti Kota Tua, kita hanya melihat bangunannya saja, tapi tidak cari tahu apa sih yang terjadi pada waktu itu sampai akhirnya bentuknya seperti itu, konteksnya apa. Padahal, sebenarnya lebih penting untuk melestarikan budaya kita sendiri, bukan sekadar bentuk bangunannya saja.

Dewasa ini, Indonesia punya banyak arsitek dan desainer andal, seperti Sofian Sibarani, perancang ibu kota baru. Apa harapan kamu pada arsitek dan desainer muda kita?
Iya, Pak Sibarani kan juri AYDA juga, dan kita bisa melihat filosofi keberlanjutan di (desain) ibu kota baru itu. Makanya, kita yang baru-baru akan memulai karier ini seperti diingatkan mereka yang sudah senior dan sukses saja tidak lupa untuk membawa unsur budaya.

Nanti, kan, juga kalau kita sudah mulai berkarier, agak sedikit hilang idealisme. Namun, kita bisa pelajari dari para senior itu bahwa mereka sampai di titik mereka sekarang, ya, karena punya idealisme.

Maksudnya, desain, baik arsitektur maupun interior itu bukan sekedar membuat gambar cantik. Kita ternyata punya impak begitu besar untuk masyarakat. Jadi, kita jangan sekadar membuat karya yang bagus, tapi juga mesti bermanfaat. (M-2)
 


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik