Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
SEJAK cilik, Gusti Ayu Made Irenee Sarasvati gemar berkompetisi. Berbagai perlombaan pernah ia juarai dari sejak usia kanak-kanak hingga saat ini.
Beberapa di antaranya ialah juara satu Global English Network Competition 2016, juara harapan satu National School Debating hampionship 2018, hingga peringkat dua debat bahasa Inggris seJabodetabek pada 2019.
Mahasiswi baru (maba) Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu juga sangat aktif di bidang nonakademis. Pada 2017, ia dipilih sebagai Duta Hak Asasi Manusia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. Setahun setelahnya, ia kembali dipercaya menjadi Duta Hukum dan HAM, khusus wilayah Jawa Barat.
Dalam kegiatan nonakademis, perempuan berusia 18 tahun itu fokus kampanye penguatan HAM dan kesetaraan manusia. Lebih dari itu, ia juga sering terjun langsung ke berbagai sekolah untuk memberikan edukasi terkait bahaya perundungan (bullying) terhadap anak.
Lantas, bagaimana kesibukannya saat ini? Berikut ialah wawancara Muda bersama perempuan kelahiran Jakarta, 25 Maret 2002, itu melalui telepon, Rabu (15/7):
Bagaimana awal mula ceritamu menjadi Duta HAM?
Waktu itu, 2017, aku ikut seleksi saat dibuka Kemenkum dan HAM. Akhirnya, ikut mendaftar, habis itu wawancara di kantor Dirjen HAM. Tes daring aku lulus, terus akhirnya pengukuhan. Dari pengu kuhan itu, empat orang anak dipilih dari sekitar 60-an untuk jadi duta HAM, salah satunya aku.
Setahun aku jadi duta HAM, lalu 2018 aku kepilih lagi menjadi duta, tetapi untuk hukum dan hak asasi manusia yang sampai sekarang masih aktif. Tugas menjadi duta ini memberikan kampanye antiperundungan (antibullying) ke sekolah-sekolah. Nama programnya, Duta HAM Goes to School.
Selain itu, kita juga suka ke penjara anak, charity bersama anak-anak yatim. Di luar itu,kita juga menjalankan kampanye daring tentang kesetaraan manusia.
Ada program apa dalam waktu dekat ini?
Sekarang aku sedang mempersiapkan program volunter Mengajar Bahasa Inggris. Saat ini masih dalam tahap planning. Yang sudah pasti, kita bakal mengajar bahasa Inggris ke anak-anak di Kalimantan secara daring. Waktunya belum pasti, tetapi persiapan ini bersama Kemendikbud dan Puspresnas. Sambil menunggu itu, aku juga sudah membangun platform bernama Our Wake Up Call.
Platform apa itu?
Platform ini saya tujukan bukan hanya untuk kesetaraan manusia, melainkan juga kesehatan mental. Kegiatannya sebenarnya ialah kampanye daring. Namun, selain itu, kita juga membangun kerja sama dengan organisasi nonpemerintah dan para psikolog.
Masalah kesehatan mental ini juga berkaitan sekali dengan masalah HAM. Nah, sebenarnya untuk sekarang ini kan aku sudah tidak bisa Duta HAM Goes to School lagi, jadi aku buat lah platform ini sebagai kepanjangan program tersebut, yang mana di dalamnya juga ada podcast tentang kesehatan mental selain juga kesetaraan manusia.
Kenapa tertarik dengan masalah kesehatan mental?
Kesehatan mental biasanya dilihat orang-orang seperti sesuatu yang tidak terlihat, jadi agak sulit untuk lebih diperhatikan. Padahal, menurut aku, seiring kita ingin berprestasi, ingin bekerja, atau berhubungan dengan orang lain, yang menentukan peforma kita itu ialah kesehatan mental.
Jadi, menurut aku, karena kesehatan mental ini merupakan isu yang tidak terlihat, penting untuk bisa dikenali, disadari, agar semua orang ini tahu bahwa kesehatan mental itu ialah yang menentukan peforma kita dalam hal apa pun itu. Dengan adanya Our Wake Up Call, kita ingin bisa memberikan daily dose soal kesehatan mental.
Bagaimana sih keluarga yang sehat secara mental itu? Bagaimana sih menjalin relasi yang baik? Terus bagaimana kita bisa berpartisipasi untuk kita sendiri dan orang lain, khususnya pada masalah kesehatan mental ini? Kurang lebih seperti itu.
Siapa target yang hendak dicapai dalam platform ini?
Khususnya remaja, tetapi bisa segala usia dan berbagai latar belakang juga karena aku lihat followers-ku itu ada yang penderita AIDS dan segala macam.
Jadi, di sini mereka bisa mengobrol, curhat, dan lain-lain. Ada juga follower yang usia lanjut, tetapi awal mulanya, aku tujukan ke teman-teman di usia 13 sampai 21 tahun.
Sejak kapan Anda mulai tertarik dengan masalah ini?
Jujur, semenjak aku jadi Duta HAM. Dari situ, aku jadi tahu kalau orang itu sebenarnya tidak terlihat seperti yang kita lihat selama ini. Terus, beberapa yang aku temui dan yang paling tidak dapat aku lupakan itu ialah anak yatim.
Kenapa membekas banget? Karena ternyata anak-anak yatim itu kadang bukan hanya masalah kesehatan mentalnya saja yang tidak prima, melainkan juga proses tumbuh kembangnya.
Seperti apa kategorisasi yang kamu buat untuk program ini?
Pertama ialah anak yatim tadi. Kategori kedua itu ialah orang-orang dengan penyakit. Tidak harus AIDS, tapi seperti kanker, dan lain-lain juga bisa. Memang yang mereka butuhkan ialah dukungan atau support.
Kebanyakan dari mereka kan sudah berumur dan mereka ini seperti sudah tahu usianya sampai kapan, lalu obatnya kadang tidak ada, apalagi kadang keluarganya itu tidak tahu kalau dia punya penyakit yang diderita.
Terus, kategori ketiga itu, yang sebenarnya membekas buat aku juga itu ialah saat melihat penderita gangguan mental yang sudah sampai menyakiti diri sendiri. Tidak ada yang tahu, tapi tahutahu mereka melukai diri sendiri.
Oleh karena itu, melalui Our Wake Up Call ini, aku ingin mengingatkan kalau segala sesuatu yang ada di diri kita itu masih bisa kita kontrol sendiri seandainya belum bisa sampai ke tahap terapis. Makanya, di platform medsosnya, aku juga berusaha memberikan edukasi psikologis sebaik mungkin kepada mereka yang melukai diri sendiri atau self harm.
Apa pentingnya masalah kesehatan mental ini untuk teman-teman seusiamu?
Untuk seusia aku itu, yang perlu diperhatikan sebenarnya ialah masalah kesehatan mental itu tidak tabu. Stigma itu perlu diperbaiki karena mungkin kita sedari kecil sudah dikenalkan dengan masalah kesehatan mental ialah orang yang aneh atau tidak butuh pertolongan.
Kadang malah ada yang dikucilkan, di-bully, dan segala macam. Padahal, mereka itu butuh pertolongan, dan dari terapislah biasanya pertolongan didapatkan. Namun, yang berkecukupan untuk datang ke terapis kan tidak semuanya.
Jadi, menurut aku, sebagai anak muda, hal terkecil yang bisa dilakukan ialah melalui platform seperti ini. Kita bisa menyediakan konten psikologi kapan saja. Harus balance juga soal konten yang kita tonton dan bagikan, misalnya, untuk senang-senang, untuk kesehatan, dan berbagi sesama orang.
Bagaimana HAM mengajarkanmu untuk berbagi?
HAM itu pada dasarnya kita dapatkan semenjak kita dinyatakan hidup sampai meninggal dunia. Secara hukum, seseorang mungkin bisa dikatakan melanggar HAM kalau dia mengambil HAM orang lain dan diputuskan pengadilan.
Namun, di sini, menurut aku, kesehatan mental itu berhubungan dengan ekspresi seseorang yang mana kesempatan mengemukakan pendapatnya kadang direnggut hingga akhirnya menimbulkan gangguan kesehatan mental. Yang ingin aku katakan ialah hak kesehatan mental itu bukan hanya hak mendapat kesehatan mental itu sendiri, melainkan juga hak untuk hidup. Jadi, seandainya kita tahu ada gangguan mental pada seseorang dan tidak peduli, boleh dibilang kita tidak menghargai hak asasi sesorang tersebut. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved