Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
ISU mengenai kemanusiaan, kekerasan, dan pelanggaran HAM kerap dianggap sebagai bahasan berat.
Sekelompok anak muda pun berikhtiar mengetengahkan problematik terkait dan menyajikannya dengan kemasan yang ngepop agar lebih mudah dicerna sesama anak muda lain.
Pada Maret 2019, Agung Seldy Arimsyah memulai perjalanan dengan bus malam pada pukul 21.00 Wita. Bersama kedua temannya, ia menempuh 10 jam perjalanan dan tiba keesokan paginya di Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ketiganya lalu melanjutkan perjalanan dengan ojek lokal selama satu jam sebelum tiba di tujuan.
Rutinitas yang mereka lakukan dalam kurun tiga bulan itu ialah untuk menjumpai para penyintas korban penculikan anak dari Timor Leste yang kini menetap di beberapa wilayah di Sulawesi.
Agung dan dua rekannya ialah fasilitator program Humanity Youth yang merupakan program bentukan AJAR (Asia Justice and Rights), lembaga nonprofit yang bertujuan pada penguatan HAM dan pengurangan impunitas yang mengakar di kawasan Asia-Pasifik. Sebagai fasilitator, Agung dan dua rekannya berfokus pada isu pemindahan paksa anak-anak selama masa konfl ik di Timor Leste pada 1975-1999.
Selain berkunjung ke Luwu Timur, ketiganya juga menyambangi para penyintas di Makassar, Gowa, Takalar, Luwu, Palopo, dan Luwu Utara. Mereka bertemu dengan 14 penyintas yang mayoritasnya laki-laki dan tiga penyintas perempuan.
“Mereka dulunya tinggal di Timor Leste dan dibawa paksa ke Indonesia, menjadikan mereka sebagai personal ‘tanpa identitas.’ Saya pikir, memastikan kebersamaan anak dan orangtua adalah hak asasi yang layak diperjuangkan. Tidak semestinya anak berada di tempat mereka berada sekarang,” papar Agung kepada Media Indonesia, Senin (13/7), melalui telepon.
Agung dan kedua rekannya bertugas menggali kisah para penyintas tersebut untuk kemudian dituangkan menjadi narasi yang didistribusikan ke publik. Salah satunya melalui pameran Humanity Youth Festival yang berlangsung selama sebulan sejak pekan lalu. Para fasilitator
bekerja sama dengan seniman yang ada di wilayah mereka untuk menjahit cerita menjadi bentuk baru seperti video.
“Dari karya yang tercipta, setidaknya bisa menjadi pelajaran sejarah alternatif dari perspektif korban untuk anak-anak muda,” tambah mahasiswa hukum Universitas Terbuka ini.
Mereka berkolaborasi dengan duo seniman performa audio visual Bombo untuk menggarap karya dari cerita yang sudah dikumpulkan. Rekan Agung yang juga menjadi fasilitator di wilayah Sulawesi, Aswin, bercerita dampak yang dialami para stolen children itu. Kebanyakan dari penyintas yang ditemuinya tidak disekolahkan orang yang membawa mereka.
“Akibatnya, mereka memiliki akses terbatas terhadap pekerjaan saat dewasa, juga terhadap adminduk (administrasi kependudukan). Mereka mesti mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengakses hal tersebut,” kata Aswin.
Impak kekerasan yang dialami selama proses dipindahkan dan terpaksa hidup di tempat asing juga menjadi permasalahan lain. “Banyak yang trauma berkepanjangan. Mereka yang mengalami kekerasan fisik juga masih sering merasakan sakit sampai sekarang.”
Dari yang mereka temui, para penyintas dari Timor Leste itu kebanyakan diambil saat berusia sekitar 17 tahun. Kini usia mereka berkisar pertengahan 40-an hingga 60-an tahun. “Pengambilan dilakukan oknum TNI. Saat itu mereka yang diambil dijadikan TBO (tenaga bantuan operasional) hingga menjelang selesainya bertugas, kemudian dibawa ke Indonesia. Memasuki 1980-an, pelaku bergeser jadi pihak yayasan atau lembaga keagamaan dan orang sipil,” cerita Agung.
Alasan mereka dibawa, lanjutnya, ialah untuk menekan resistansi Timor Leste saat itu dengan cara mengambil generasi muda mereka. Untuk anak-anak yang dibawa pihak militer, beberapa dipekerjakan seperti jualan kue berkeliling, menjaga ternak, atau berkebun di kampung tentara. Karena tidak pernah disekolahkan, mereka pun tidak bisa membaca.
“Nah, yang (dibawa) yayasan yang tidak punya orangtua angkat karena mereka ditempatkan di pesantren keagamaan. Setelah lulus, mereka keluar dari yayasan itu dan mencari kehidupan masing-masing.”
Cerita dari Jawa Barat
Cerita yang sama juga ditemukan Hana Kurniasih, mahasiswi hukum Universitas Padjadjaran yang bersama ketiga temannya menjadi fasilitator program Humanity Youth di Jawa Barat. Ada sembilan penyintas yang mereka temui di Sukabumi, Tasikmalaya, Sumedang, Kota Bandung, Kuningan, Garut, dan Cimahi.
“Selama di sini, anak-anak tersebut tidak lagi berkomunikasi dengan keluarga mereka di Timor Leste. Tidak sedikit yang mengubah identitas, agama, bahkan budaya demi bisa beradaptasi dan melangsungkan kehidupan,” cerita Hana kepada Media Indonesia.
Hana sebelumnya tak banyak mengetahui perihal konfl ik Timor Leste. Dirinya baru menemukan isu penculikan anak Timor Leste saat mengikuti program ini. Untuk menggali kisah para penyintas, Hana dan rekan-rekannya menggunakan metode PAR (partisipatory action research). Metode ini juga digunakan Agung dan Aswin. Berkolaborasi dengan kolektif seni rupa Fat Velvet, Hana dan para fasilitator di Jawa Barat memakai medium buku cerita dan video untuk memublikasikan hasil temuan mereka. “Kami mencoba menawarkan isu kemanusiaan dengan berbagai medium dengan harapan bisa lebih mudah diterima anak muda dan masyarakat,” papar Hana.
Kisah-kisah para penyintas korban penculikan anak di saat konflik Timor Leste pada 1975-1999 itu didistribusikan melalui Humanity Youth Festival. Festival itu secara khusus ingin menawarkan cara alternatif yang dekat dengan anak muda dalam membicarakan HAM sekaligus memberi ruang apresiasi terhadap narasi para penyintas pelanggaran HAM. Total ada kisah 78 penyintas pelanggaran HAM yang diangkat dalam festival ini.
“Kami telah berproses bersama selama 20 bulan. Ada training khusus untuk men-support kebutuhan teman-teman fasilitator turun ke lapangan. Setelah bekal sudah lengkap, fasilitator bertemu dengan korban-korban pelanggaran HAM untuk melakukan pembelajaran antargenerasi sekaligus membantu proses pemulihan dari trauma yang (mungkin) ada di diri penyintas,” cerita Program Assistant AJAR Indonesia Raisa Widiastari kepada Media Indonesia, Selasa (14/7).
Raisa menyebutkan, pihaknya berharap generasi muda saat ini bisa belajar dari peristiwa kekerasan di masa lalu untuk memutus polanya. “Kami percaya, masa depan yang bebas dari kekerasan dan pelanggaran HAM adalah hak semua manusia.” (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved