Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
MESKI harus tetap waspada terhadap pandemi korona (Covid-19) sekaligus mematuhi kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hasrat berkarya Bara Alauddin rupanya tak pernah padam.
Dengan memiliki kegigihan seperti itu, ia akhirnya dapat melahirkan sebuah karya berjudul Nitik, beberapa waktu silam. Menurutnya, Nitik merupakan karya yang tergolong sederhana karena dibuat dari material yang mudah didapat, yaitu batu.
“Dalam penerapan warna pada karya Nitik ini, warna yang digunakan adalah gradasi warna, yaitu dari warna pudar menuju kontras, lalu kembali pada warna pudar sehingga menampilkan sebuah kesan keindahan dan tidak lupa juga adanya penerapan prinsip karya seni rupa, yaitu dengan keseimbangan yang simetris dan iramanya progresif,” tuturnya.
Berangkat dari karyanya pula, anak muda yang mengaku mengidolakan desainer seperti Zulyo Kumara, Eko Prawoto, dan Andy Rahman itu dalam wawancara tertulis bersama Media Indonesia, Kamis, (25/6), berharap dapat memberi pengaruh dalam dunia desain sekaligus mengenalkan kembali budaya Nusantara baik untuk masyarakat Indonesia maupun mancanegara.
Bara ialah salah satu mahasiswa yang dihubungi Muda terkait keikutsertaannya dalam Telutif 2020: Nirmana Trimata Exhibition & Bedah Karya. Pameran ini diadakan mahasiswa Desain Interior Universitas Gunadarma angkatan 2019 sebagai penutup mata kuliah nirmana sekaligus sebagai ajang apresiasi terhadap karya mahasiswa.
Seluruh agenda Telutif 2020 berlangsung secara daring mulai 23 hingga 30 Juni di berbagai saluran, seperti Instagram, Zoom, dan Google Meet. Selain Bara, ada juga Hawa. Menurut mahasiswa yang karyanya terinspirasi dari bentuk kuda catur itu, kata telutif sendiri berasal dari bahasa Jawa yang bermakna tiga dan tif yang terdiri atas unsur kreatif, produktif, dan adaptif.
“Adaptif, hal ini sebagai puncak tertinggi dari pencapaian mahasiswa dalam berkarya selama menghadapi masa pandemi. Dengan dukungan dari unsur kreatif dan produktif membentuk mahasiswa untuk tetap berkarya dalam kondisi yang tidak seperti biasa,” tuturnya.
Adapun karya Hawa berjudul Horse Circle. Sifat kuda yang menurutnya kuat sekaligus jinak turut menjadi ide hingga akhirnya dieksekusi menjadi sebuah karya yang membentuk makna together be strong. Kepala kuda yang ditumpuk dan disusun secara melingkar dalam pandangannya jauh menambah kekuatan karena bersama-sama.
“Saya banyak mengambil bahan material dari lingkungan sekitar kos saya. Dalam hal ini, saya sebagai anak perantauan yang tidak bisa mudik hanya bisa mengandalkan bahan-bahan dari lingkungan sekitar saya di samping masa PSBB/lockdown,” imbuhnya saat menceritakan kembali proses kelahiran karya.
Proses penelitian dan pencarian ide atau inspirasi juga dilakukan secara daring. Meski begitu, Heru Surya Tanjung yang pada kesempatan itu turut mengikuti pameran mengatakan bahwa pembuatan karya berupa nirmana tiga dimensi ini dapat berhasil lantaran didukung korespondensi dengan para dosennya.
Adapun kendala yang paling sering dihadapi lagi-lagi berkenaan dengan pencarian bahan atau material yang serbadaring. Sekalipun koneksi internet kerap ‘lelet’, Heru tidak mau patah arang, apalagi kehabisan akal untuk mencari bahan. Potongan bambu yang ia kumpulkan dari lingkungan sekitar kemudian berhasil menjadi sebuah karya berjudul Haleuang.
Haleuang ialah salah satu karya favorit Heru di antara beberapa karya lainnya. “Karya tersebut sangat berkesan dalam proses pembuatannya karena saya mencari materialnya langsung, yaitu bambu, memotongnya, dan proses menyusunnya pun begitu lama. Selain itu, alasannya karena hasilnya disenangi para dosen,” katanya.
Merawat tradisi
Menanggapi hasil karya mahasiswa, dosen mata kuliah nirmana Universitas Gunadarma, Ardianti Permata Ayu, mengatakan bahwa dewasa ini, progres mereka sungguh terlihat. Meski proses belajar mengajar di semester dua ini mengalami berbagai hambatan, mereka tetap dapat
menyelesaikan tugas dengan baik walaupun tanpa tatap muka secara langsung.
“Kreativitas didapatkan dari keterbatasan, keseharian, dan potensi yang ada. Inilah yang dikatakan sebagai transformasi seni, yakni cara berpikir yang memerlukan imajinasi dengan melampaui keterkungkungan atau keterbatasan,” tuturnya saat pembukaan pameran melalui aplikasi Zoom, Selasa, (23/6).
Ardianti selanjutnya menjelaskan pada semester ini, mahasiswa diberikan 11 tugas. Sepuluh di antaranya disajikan dalam pameran yang mana dari ke-10 karya itu bisa dilihat pula mengapa nirmana menjadi penting dalam mata kuliah dasar desain, karena di sana seseorang akan diajak untuk berproses.
Adapun proses itu sendiri, lanjutnya, dimulai dari mencari ide, menganalisis bentuk, membuat transformasi bentuk, mengorganisasikan bentuk dengan komposisi, hingga akhirnya menjadi sebuah karya.
Sebuah karya, baginya, memang tidak ada yang dihasilkan secara harafiah. Jika dilihat dari karya hasil mahasiswa, banyak sekali tema-tema tradisi yang diangkat. Ada alat musik, permainan, kemudian rumah adat, bahkan tarian dan lain sebagainya.
“Tema-tema tersebut sengaja dipilih agar pelestarian tradisi kita yang saat ini masih berjalan tetap berjalan, khususnya oleh generasi penerus. Dan semoga pameran karya Telutif ini bisa menginspirasi kita semua dan menjadi pembelajaran bagi mahasiswa desain interior semuanya,” tutupnya. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved