MASIH terngiang dalam ingatan Bernard, 28, seorang lelaki asli suku Dani di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Neneknya, Okta, sudah tujuh kali memotong jemari. Lantaran sedih ditinggal pergi anak dan cucu kesayangannya. Bagi Bernard, yang kini memutuskan merantau ke Jakarta, tradisi potong jari yang neneknya pernah lakukan di kampung, merupakan warisan secara turun-temurun. Itu sudah berlangsung ratusan tahun sehingga membuat masyarakat adat di sana masih menjaga prosesi adat. Potong jari pun sebagai simbol berkabung. "Sejak kecil saya sudah terbiasa melihat. Kesedihan harus dibayar dengan potong jari," ujarnya, pekan lalu.
Suku Dani mendiami kawasan mulai dari Pegunungan Tengah, Kabupaten Jayawijaya, hingga sebagian Kabupaten Puncak Jaya. Tradisi potong jari sebagai bentuk berkabung. Setiap orang pastilah bersedih kala ditinggal pergi orang yang dikasihi dan dicintai. Apalagi, orang yang meninggal merupakan satu darah. Inilah bentuk solidaritas suku Dani. Mereka tidak hanya menangis, bahkan orangtua atau sesepuh harus melakukan tradisi potong jari. Itu wajib dan mutlak bagi keluarga yang tengah dirundung duka lara. Masyarakat adat beranggapan bahwa memotong jari merupakan simbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya. Tak mengherankan, jari pun memiliki simbol secara harfiah, yaitu bentuk kerukunan, kebersamaan, dan kekuatan dari keluarga yang berduka.
Tentu saja, ada penamaan jari. Ada filosofi hidup suku Dani. Yaitu Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik. Kalimat ini secara harfiah berarti pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga (fam), satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan satu darah. "Bagi masyarakat setempat, kebersamaan sangatlah penting. Bila seorang tetua memotong jarinya. Itu bertanda bahwa ada ikatan batin. Kesedihan dianggap hilang bila luka di jemari telah sembuh pula," ujar Amos Wenda, Kepala Suku Baliem Center di Kabupaten Jayapura, saat dihubungi terpisah dari Jakarta. Menurutnya, tradisi itu merupakan warisan dari leluhur sehingga tak boleh sampai hilang dari Bumi Cenderawasih. Apalagi, ada penghayatan atas perihal kebaikan yang pernah dilakukan seseorang semasa hidupnya. "Potong jari sebagai simbol berkabung. Ini menjadi bukti bahwa orang yang sudah pergi tetap diingat pihak keluarga. Warisan budaya ini menjadi penting sehingga masyarakat adat tetap mempertahankannya," jelas Amos yang juga lelaki asli suku Dani itu.
Kaum hawa Pada kenyataannya, pemotongan jari umumnya dilakukan kaum ibu. Namun, ada juga pemotongan dilakukan anggota orangtua keluarga laki-laki atau perempuan. Apabila seorang istri yang meninggal dan tak memiliki orangtua, sang suami yang menanggungnya. Tradisi potong jari di Papua menjadi unik karena berhubungan dengan bentuk berkabung dan dukacita. Namun, ada juga tradisi potong jari di Jepang yang dilakukan para Yakuza. Tradisi itu muncul dari kaum Bakuto (penjudi) yang disebut yubitsume, yaitu potong jari sebagai penyesalah atau bentuk hukuman. Tentu saja, berbeda dengan tradisi yang ada di suku Dani. Di Papua, potong jari bukan sebagai hukuman. Namun, sebagai pelampiasan kesedihan dan solidaritas sesama anggota keluarga yang dicintai.
Inilah tradisi yang masih bertahan sebagai kearifan lokal di Lembah Baliem. Tradisi potong jari dalam tatanan masyarakat adat di suku Dani dilakukan dengan pelbagai cara. Warga menggunakan kapak, pisau, dan parang. Namun, ada cara kuno yang masih warga jalankan. Seseorang yang jarinya hendak dipotong akan menjalani ritual. Jarinya diikat denga seutas tali dalam waktu tertentu. Setelah alirah darah setop dan tampak kaku, barulah petugas (semacam dukun) melakukan pemotongan jari, baik jari kelingking, manis, maupun telunjuk. Cara ini dinilai lebih ampuh. Tidak banyak darah yang menngucur keluar.
Setelah seruas jari dipotong, luka pun dibalut dengan ramuan obat tradisional. Dalam beberapa hari luka pun mengering. Tentunya, masih terasa perih, namun perih di hati pun sedikit terobati. Lantaran tradisi potong jari pun sudah terlaksana. Selain tradisi pemotongan jari, ada juga tradisi lainnya. Yaitu mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan kelompok atau anggota keluarga dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur memiliki makna penting. Setiap orang yang telah meninggal dunia akan kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah. Kini, tradisi potong jari mulai warga tinggalkan perlahan. Salah satu faktor, yaitu pengaruh agama yang kuat. Kendati demikian, tidak sedikit warga yang masih setia mempertahankan tradisi itu. Bagi mereka ketika satu nyawa hilang, mutlak seruas jemari pun dipotong. Itu sebagai simbol kecintaan pada orang yang lebih dahulu pergi ke alam lain.