Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SULAWESI Utara (Sulut) bukan cuma Bunaken, taman laut nan memesona, atau Tomohon yang selalu semarak dengan warna-warni kembang. Kini, ada Likupang yang ‘wajib’ masuk bucket list para travelers.
Bahkan, wilayah di Kabupaten Minahasa Utara yang berjarak dua jam dari Manado, itu, telah dinobatkan sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas, bersama Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, dan Mandalika.
Untuk itu, kini tengah dibangun tol dari Manado yang kelak akan memangkas waktu satu jam perjalanan menuju Likupang yang juga merupakan kawasan ekonomi khusus (KEK) bidang pariwisata tersebut.
Bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Media Indonesia menapaki sejumlah destinasi di Likupang pada akhir November lalu.
Yang istimewanya, Likupang juga seperti Sulawesi Utara, punya segmentasi pada pelancong asal Tiongkok yang sangat mudah ditemui hilir mudik di berbagai destinasinya. Tak mau bergeser dari kelas wisatawan massal itu, Sulut juga berambisi mempertahankan wisatawan premium, yakni para penikmat pesona bawah laut asal Eropa.
Kedua segmen itu, tentunya wisatawan Nusantara, akan difasilitasi aneka infrastruktur dan fasilitas yang pembangunannya tengah digenjot dan dinaungi kawasan ekonomi khusus (KEK) guna memudahkan masuknya investasi. Saya bersama wartawan lain dan tim Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjajaki berbagai destinasi di Likupang pada 27 hingga 30 November lalu.
Lihaga, surga karang dan kawanan ikan
Destinasi pertama yang kami sambangi ialah pulau tak berpenghuni yang ditempuh sekitar 15 menit dari daratan utama. Lihaga nama pulau itu tengah disiapkan sebagai daya tarik baru bagi penikmat wisata bawah laut, khususnya wisatawan asal Eropa yang memang menjadi salah satu target pasar utama pariwisata Sulawesi Utara (Sulut).
Hamparan karang dan ikan-ikan berwarna-warni yang menghuni perairan pulau tersebut ialah bintangnya. Tarian mereka dalam kawanan besar ialah atraksi utamanya.
Cukup dengan bersnorkeling, kita sudah dapat menyaksikan panorama bawah laut Lihaga, yang menurut saya, lebih istimewa daripada Bunaken.
Ikan badut nan gemuk beraneka warna hilir mudik di sarangnya: anemon-anemon subur yang berwarna hijau, merah, dan kecokelatan. Makhluk yang dikenal posesif dengan telur-telurnya itu tak mau beranjak jauh dari rumahnya, sedangkan aneka rupa kelinci laut, ikan kakaktua, hingga bintang laut dengan warna-warna neon menghadirkan pemandangan yang memukau.
Ditambah perjumpaan dengan schooling fish, ikan dalam kawanan besar yang kompak bergerak meliuk laksana tarian menjadi kenangan paling berkesan. Mereka bisa dijumpai di kedalaman kurang dari lima meter dengan titik snorkeling kurang dari 1 km dari bibir pantai!
Nah, meskipun Lihaga ialah pulau tak berpenghuni, tak perlu khawatir akan kelengkapan fasilitas umumnya. Sudah tersedia fasilitas toilet hingga restoran yang apik di pulau berpasir putih itu.
Pantai Paal, kenangan dabu-dabu
Pantai ini punya wajah berbeda dari Lihaga. Pasir di Paal hitam dengan tekstur halus. Ombaknya pun lebih besar. Tersedia ban-ban besar yang disewakan untuk bermain di pinggir pantai yang konturnya sebagian landai meskipun ada pula yang cukup curam.
Di sini, kenangan saya tertambat pada aneka sajian makan siang nan istimewa, sajian salah satu dari jajaran kedai sederhana. Tampilan warungnya rendah hati, tetapi hidangan tumis kangkung bunga pepaya, ikan bakar panas yang matang sempurna, perkedel jagung, dan tentunya sambal dabu-dabu, semua juara!
Ternyata bukan cuma rombongan kami yang bertandang ke Paal untuk santapan sedap para mama pemilik kedai yang sebagian besar berdarah Ambon, tapi lahir dan besar di Paal beberapa mobil berpelat Manado juga saya lihat terparkir di sana.
Senyum hangat di Pantai Pulisan
Berpasir putih, pantai ini terbilang paling meriah karena berbagai fasilitas yang tengah dibangun di sana. Namun, kesibukan bukan cuma berlangsung di daratan. Di bibir pantai tampak gemericik air.
“Itu ikan-ikan karang. Di sini, kita bisa ambil ikan dari pantai saja, enggak perlu jauh-jauh. Ikannya besar-besar,” ujar Olly Lakuhati, seorang warga setempat yang juga berdarah Ambon, sembari menyajikan pisang goreng goroho yang dicocol sambal roa nan sedap. Mama Olly dengan telaten membagi resepnya pada kami.
Keponakannya, Andy Lakuhati, ikut berbincang dengan kami. Sehari-hari ia mengoperasikan perahu untuk para pelancong. Andy mengaku cukup terpapar informasi tentang Likupang yang tengah jadi primadona.
“Ya, wisata tentunya lebih baik daripada tambang emas yang selama ini jadi andalan Minahasa Utara, buat kepentingan alam dan tenaga kerja yang bisa terlibat, juga usaha masyarakat di sini,” ujar Andy.
Senja itu, di antara kesibukan para pekerja membangun aneka fasilitas di Pulisan, kios-kios hingga toilet, kami menikmati atmosfer penuh optimisme di sini. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved