Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
PELAYAN medis menghadapi tantangan yang tidak mudah. Apalagi dengan kondisi geogra? Indonesia yang sangat beragam sekaligus luas. Tidak sedikit medan berat yang harus dihadapi para petugas medis. Meski mendapat fasilitas minim, mereka terus bergerak untuk membantu sesama.
Dokter Ratih Citra Sari, misalnya, ia sering disebut dokter bencana. Setiap ada peristiwa bencana ia selalu hadir untuk membantu para korban. Di balik julukannya sebagai dokter bencana, ternyata Ratih juga didiagnosis mendapat kelainan sumsum tulang pada 2007. Saat itu, ia masih berusia 27 dan sedang menempuh program pendidikan dokter spesialis anestesi.
“Waktu saya sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis, waktu itu spesialisnya anestesi. Tapi, karena saya sakit, jadi kemudian saya harus mengundurkan diri dari program studi tersebut,” terang Ratih yang mengaku sempat pingsan saat akan membius pasien.
Hingga saat ini, Ratih juga harus terus mengonsumsi obat untuk penyakit yang dideritanya. Ternyata penyakit itu tidak menghentikan niat Ratih untuk terjun membantu sesama. Keterlibatan dengan bencana ini bermula ketika terjadi gempa di Pariaman, Sumatra Barat, pada 2009. Sejak itulah, Ratih mulai berangkat ke berbagai lokasi bencana.
“Karena waktu itu pertama kali, terus saya jadi kenal banyak orang, sesama relawan. Terutama waktu itu saya bergabung dengan posko Wanadri. Jadi saya banyak dapat teman di sana. Kemudian jadi banyak kali, kalau ada bencana-bencana lokal saya diajakin ikut. Kan saya waktunya luang. Saya tidak kembali ke rumah sakit. Saya praktik sendiri. Jadi waktu saya fleksibel. Jadi berangkat ke mana-mana,” terang ibu tiga anak yang mengaku terlibat cinta lokasi (cinlok) dengan sesama relawan yang akhirnya menjadi pendampingnya.
Sejak itu dokter Ratih selalu tergerak untuk membantu korban setiap ada bencana seperti gempa bumi di Lombok dan Palu, Sulawesi Tengah, baru-baru ini. Ia juga pernah membantu korban gempa bumi Nepal pada 2015. Selain korban bencana alam, dia juga melakukan pendampingan untuk ekspedisi, mulai dari pendakian Cartenz Pyramid Papua sampai ke gunung tertinggi di perbatasan Cile dan Argentina, yakni Gunung Akonkagua.
Ratih banyak terlibat dalam pendampingan tim ekspedisi. Tidak mudah untuk menjadi pendamping tim ekspedisi. Mereka yang bertugas harus memiliki kemampuan dan pengalaman yang memadai.
“Itu banyak ekspedisi yang sudah saya dampingi, baik ke gunung, gunung es, gunung hutan, maupun rafting,” ujarnya. Ratih bisa menyesuaikan tugas dengan kondisi tubuhnya. Saat tidak dalam kondisi prima, Ratih biasanya melakukan pendampingan jarak jauh. Ia mempersiapkan kebutuhan kesehatan tim ekspedisi sebelum berangkat hingga memantau kondisi tim lewat radio.
“Jadi saya persiapkan, atletnya saya persiapkan dari mulai gizinya, kemudian kesehatan perjalanan, persiapan mereka sebelum berangkat. Nanti di jalan kita intens komunikasi melalui radio,” ujarnya.
Ratih juga selalu siap untuk diterjunkan untuk membantu korban bencana. Ia juga mendirikan klinik untuk masyarakat tidak mampu di Tambun Bekasi pada 2017. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved