Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Berkaca dari Pengalaman Orangtua

Galih Agus Saputra
21/9/2019 17:05
Berkaca dari Pengalaman Orangtua
Putri Novita Firdaus dan Nofita Sari(Mi/Sumaryanto Bronto)

BERDASARKAN hasil riset Unicef pada 2015, provinsi Kalimantan Barat dinyatakan sebagai salah satu provinsi dengan tingkat perkawinan anak usia dini tertinggi di Indonesia. Kondisi lingkungan, masalah ekonomi, dan rendahnya pendidikan mengenai kesehatan reproduksi menjadi faktor utama terjadinya perkawinan usia anak.

Putri Novita Firdaus, Nofita Sari, dan Evi Zuhrotul Aini merupakan anak-anak usia muda asal Desa Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mereka menyuarakan kegelisahan mengenai isu pernikahan usia dini yang banyak terjadi di desanya melalui sebuah film berjudul Kembang Deso. Istilah kembang deso sendiri dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ‘perawan desa’.

Emi merupakan gadis desa polos berusia 17 tahun yang diceritakan melalui film Kembang Deso. Ia memiliki keinginan sederhana, yaitu dapat menjalani sekolah formal seperti kebanyakan teman lainnya dan enggan menikah dini. Namun, keinginannya itu terbentur tradisi di desa dan desakan orangtua.

Film Kembang Deso dewasa ini telah memenangi penghargaan Eagle Junior Documantary Camp, khususnya untuk kategori film terbaik yang diselenggarakan Eagle Institute Indonesia bersama Metro TV pada 2014. Film itu pula yang telah beberapa kali diputar di berbagai daerah dan menjadi penguat diskusi perihal isu atau budaya pernikahan dini.

“Cukup banyak (pernikahan dini di kampung) dan mereka itu kasihan karena mereka memiliki mimpi besar untuk dapat bersekolah dan menggapai cita-cita. Tapi karena adat, budaya, dan keluarga, mimpi mereka jadi terhambat. Jadi, mereka menikahnya itu secara kawin kontrak dan tadi di video ada cuplikan yang mana ada seorang calo yang bertemu dengan beberapa orang dari kota lain yang akan datang ke desa untuk mencari istri dan akan ditawari si calo,” tutur Putri.

Putri selanjutnya mengatakan bahwa si calo akan melakukan barter dengan harga tertinggi sebuah motor, sebelum mempertemukan dengan anak perempuan yang kemudian akan dinikah siri. Ironinya, hal itu juga diterima para orangtua anak perempuan dengan dalih kebiasaan, yang menganggap ‘daripada anaknya tidak segera menikah lalu menjadi perawan tua’.

Bahkan, di desa Putri dan Nofita ada anggapan bahwa anak perempuan berusia 18 tahun sudah termasuk sebagai perawan tua. Salah satu kasus yang cukup mengundang prihatin diceritakan Nofita. Dalam desa yang menjadi tempat pembuatan film dokumenternya, ada anak berusia 14 tahun yang dipaksa menikah dengan pria yang usianya terpaut jauh, bahkan menginjak 50 tahun. Tak kalah menyedihkan, setelah anak perempuan itu dinikahi, sang pria tidak tinggal seatap dengannya. Bahkan, ketika si perempuan sudah melahirkan tiga orang anak, si pria hanya mengunjunginya seminggu sekali.

“Ada juga anak perempuan yang melahirkan tiga orang anak dengan tiga orang pria yang berbeda. Ini bukan masalah tega atau tidak tega kami mengangkat cerita ini, tapi faktanya memang seperti itu,” imbuh Putri.

Putri merasa beruntung dapat tumbuh seperti kondisinya yang sekarang dan melanjutkan pendidikan. Ia berkaca dari pengalaman orangtuanya yang juga menikah di usia muda. Kala menikah, ayahnya berusia 20 tahun, sedangkan ibunya berusia 18 tahun. Pernikahan mereka gagal. Oleh karena itu, ia tidak ingin mengulangi pengalaman yang sama dengan orangtuanya. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya