Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Nyi Roro Kidul dan Koinsidensinya

Galih Agus Saputra
18/8/2019 00:20
Nyi Roro Kidul dan Koinsidensinya
Khazanah(MI)

KILAT thatit abarungan. Panjumegur swara kagiri-giri. Narka yen kiyamat iku. Toya minggah ngawiyat. Apan kadya amor mina toyanipun. Semana datan winarna. Ratu Kidul duk miyarsi. 

Kalimat itu dikutip dari lirik tembang macapat yang ada di Babad Tanah Jawi. Judulnya Serat Srinata yang kurang lebih artinya seperti ini: Kilat dan halilintar bersamaan. Gemuruh suaranya menakutkan. Mengira bahwa itu ialah kiamat. Air naik ke angkasa. Bahkan, seperti bercampur dengan ikan airnya. Pada saat itu tidak dikisahkan. Ratu Kidul mendengarnya.

Bagi Eko Yulianto, Serat Srinata merupakan deskripsi yang sangat identik dengan kesaksian para korban tsunami. Sekalipun datang dari masa lampau, tapi hal itu cukup jelas mewakili simbol sebuah peristiwa besar yang mana orang-orang mengalami gempa atau melihat air laut naik ke daratan, sebagaimana yang pernah terjadi di Aceh, Cilacap, Yogyakarta, maupun Banyuwangi.

Eko ialah Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak 2006, ia konsisten melacak terjadinya tsunami di masa lalu atau yang disebut paleotsunami khususnya yang terjadi di Pantai Selatan, Pulau Jawa. Pada Kamis (25/7), ia sempat menceritakan upaya tersebut lewat film dokumenter The Untold Story of Java Southern Sea, di Gedung Graha, LIPI, Mampang Prapatan, Jakarta.

Menariknya, dalam penelusuran itu Eko bekerja menggunakan metode geomitologi, yang memandang bahwa mitologi selalu mengandung informasi tentang suatu peristiwa di masa lampau. Dalam geomitologi pula, menurut Eko, ada sebuah prinsip yang dipegang yang mana bumi selalu memiliki siklus peristiwa, seperti letusan gunung, tsunami, banjir, dan gempa. Segala sesuatu yang dilihat manusia pada zaman sekarang, boleh jadi kurang lebih juga sama dengan apa yang dilihat manusia pada ratusan hingga ribuan tahun silam.

Fenomena demikian pada dasarnya dapat ditemukan di mana saja. Dalam mitologi Yunani, misalnya, ada yang namanya Dewa Poseidon, yang selalu dikaitkan dengan berbagai macam peristiwa di lautan. Sementara itu, di Laut Kidul, ada juga kisah pertemuan antara Nyi Roro Kidul dan Panembahan Senopati, Danang Sutawijaya yang kemudian diikuti letusan Gunung Merapi dan ombak besar di Laut Selatan dan pada saat yang sama pula terjadi pertempuran dengan Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, atau Joko Tingkir.

“Boleh jadi metafora itu dulunya menjadi kebutuhan politik Panembahan Senopati. Ia adalah raja yang bukan berasal dari keturunan raja, maka perlu legitimasi politik yang dikemas secara turun-temurun dalam sebuah mitologi. Tetapi kalau kita bisa membuka isi pesan di dalamnya, sebenarnya medium penyadaran dan kesiapsiagaan bencana dapat ditemukan secara mudah oleh masyarakat,” tuturnya.


Lempeng  Indo-Australia

Sebagaimana diketahui dewasa ini, kawasan Laut Selatan di Pulau Jawa memang selalu menarik untuk menjadi bahan kajian karena berada di daerah penunjaman lempeng benua Australia dan Asia. Implikasi dari penunjaman itu sendiri di satu sisi mengakibatkan bencana, mulai letusan gunung berapi, gempa, hingga tsunami. 

Sementara itu, di sisi lain juga dapat memberikan faedah jangka panjang dari letusan gunung berapi yang menyuburkan tanah di daerah selatan Pulau Sumatra atau berbagai daerah lainnya, mulai Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur.

“Bukan hanya menyangkut SDA terestrialnya, tapi juga lautnya. Seperti tuna sirip biru, yang mungkin satu-satunya di dunia yang mana kawasan pemijahannya itu hanya ada di sepanjang Laut Selatan, mulai Jawa hingga Bali,” imbuh Kepala Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, Zaenal Arifin.  

Secara spesifik, Eko kemudian mengatakan bahwa penelusurannya itu berlangsung di Lebak, Pangandaran, Kulon Progo, Pacitan, Lumajang, dan Bali. 

Memang dalam cerita Babad Tanah Jawi, kata Eko, endapan-endapan yang diperoleh itu tidak diceritakan. Cerita hanya mewakili peristiwa besar pada 1586 yang mana terjadi dua gempa raksasa dan tiga letusan gunung berapi, yaitu Ringgit, Kelud, dan Merbabu, yang rupanya juga tercatat dalam Katalog Arthur Wichmann.

Arthur Wichmann, seorang geolog dan mineralog asal Jerman dalam disertasinya mencatat semua peristiwa gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami di Nusantara sejak 300 hingga 1850. Sumbernya macam-macam, mulai cerita rakyat, catatan eskpedisi cendekia Eropa di Hindia-Belanda, dan lain sebagainya. Dalam catatan itu pula, Wichmann bahkan menjelaskan peristiwa 1584 sampai 1586, yang mana pada masa itu terjadi perang antara Raden Danang Sutawijaya dan Joko Tingkir pada 1584, termasuk deklarasi berdirinya kerajaan Mataram Islam pada 1586.

“Kita tidak tahu apakah ini sekadar kebetulan (concidence) atau bagaimana, tapi bukti geologisnya memang berkata demikian. Jadi, ada endapan paleotsu­nami yang kita teliti itu menunjukkan tahun terjadinya sebelum 1600. Lalu, catatan dalam katalog Wichmann, serta tahun Joko Tingkir menyerbu Panembahan Senopati, serta Deklarasi Kerajaan Mataram Islam. Apakah ada sebab akibat di antara itu semua, nanti kita akan kembali dalam persepsi yang bisa diperdebatkan,” tutur Eko.

Namun, yang semakin menarik, lanjut Eko, jika sejarah Babad Tanah Jawi disimak kembali, dalam catatan tersebut juga dijelaskan bahwa ada pasukan Joko Tingkir yang berhenti menyerang Raden Danang Sutawijaya karena dicegah aliran lahar Gunung Merapi. Sebelumnya juga dijelaskan bahwa ada suatu masa ketika Raden Danang Sutawijaya dan pamannya meminta bantuan dari penguasa Merapi dan penguasa Laut Se­latan atau Nyi Roro Kidul untuk menghadapi Joko Tingkir. “Namun kembali lagi, ini sementara baru kita sebut kebetulan,” terang Eko.


Sapuan paleotsunami

Lantas, bagaimana dengan sapuan paleotsunami di masa lalu itu sendiri? Eko menjelaskan bahwa dirinya menemukan endapan di dua titik yang digali di dekat Bandar Udara Internasional Yogyakarta, Kulon Progo, yang sebagaimana diketahui hanya berjarak kurang lebih 400 meter di bibir pantai. Endapan itu berwarna merah dan di dalamnya terdapat banyak kandungan plankton makanan ikan paus (foraminifera).

Selain itu, dalam kunjungannya ke Bali pada 2009, Eko juga menemukan endapan berwarna putih di beberapa titik yang menjadi lubang galian pemasangan kabel. Ia lantas menyebut endapan itu ialah lapisan abu (tefra) letusan Gunung Tambora pada 1815, yang di bawahnya persis juga terdapat endapan budaya.

“Ada pecahan genting yang saling menumpuk dan membentuk garis dengan sudut kemiringian tertentu, yang menjadi indikasi bahwa endapan itu terjadi karena terbawa arus dari laut menuju daratan. Ini cukup menarik karena boleh jadi dulunya di dekat pantai itu ada begitu banyak peninggalan budaya. Contoh nyata lainnya, juga bisa kita lihat di BKSDA Pangandaran, yang dewasa ini masih menyimpan relik berupa patung Sapi Gumarang. Itu ditemukan di dalam tanah yang digali di daerah sana, maka boleh jadi di sepanjang Pantai Selatan itu dulunya terdapat banyak bangunan budaya serupa yang dihantam peristiwa besar pada 400 tahun silam,” jelas Eko.

Dengan adanya upa­ya pe­nelitian sekaligus pemetaan kawasan paleotsunami itu, Eko selanjutnya berharap agar kerjanya dapat menjadi acuan kuat perencanaan tata ruang wilayah pesisir, khususnya di Laut Selatan. Ia menargetkan langkah tersebut dapat selesai pada 2020 mendatang, dengan tahap awal di 12 daerah yang memiliki kerentanan tertinggi, seperti Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Purworejo, Yogyakarta, dan Pacitan.

Sejauh ini, Eko bersama Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI juga tengah menyiapkan peta ren­daman tsunami dalam skala detail 1:10.000. Itu karena peta topografi terdetail yang dimiliki pemerintah Indonesia saat ini ukurannya hanya 1:25.000. “Itu pun hanya melingkupi wilayah Jawa. Di luar wilayah Jawa, skalanya lebih tidak detail,” imbuhnya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik