Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Prof Edward Omar Menghindari Perpecahan lewat Pemahaman Hukum

Furqon Ulya Himawan
28/7/2019 02:05
Prof Edward Omar Menghindari Perpecahan lewat Pemahaman Hukum
Prof Edward Omar Sharif Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM(MI/Furqon)

SIDANG sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) memang sudah lama berlalu. Namun, masih ada hal-hal yang lekat diingat dari persidangan yang berlangsung bulan lalu itu.

Salah satunya ialah sosok Prof Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Prof Eddy. Hadir sebagai saksi ahli, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini sempat menjadi trending topic di Twitter.

Banyak warganet yang menyatakan kagum mengenai penjelasan Eddy, bahkan ada yang berkelakar ingin mengambil kuliah hukum. Jauh sebelum sidang tersebut, sosok Eddy sebenarnya sudah sering menjadi sorotan. Hal itu baik karena prestasinya yang diukir semenjak muda (meraih gelar Profesor dari UGM di usia 37 tahun) maupun karena keberanian sikap dan lisannya. Tidak jarang pula, ia dinilai kontroversial karena keterangannya yang meringankan terdakwa korupsi. 

Lalu, bagaimana ia menjelaskan mengenai kontroversi-kontroversi yang ia pilih maupun integritasnya sebagai seorang ahli hukum? Berikut petikan wawancaranya dengan Media Indonesia, pada Sabtu (20/7). 

Apakah Anda sadar menjadi trending topic karena sidang MK, bagaimana rasanya? 
Saya itu gak punya media sosial, pertama kali dengar justru dari Taufik Basari pas selesai sidang. Jadi, waktu kita mau sidang gawai disimpan di loker. Ketika sidang selesai saya buka gawai, itu saya menerima pesan WA kurang lebih 900. Ada yang dikenal dan tidak. Saya heran dari mana mereka dapat nomor saya. Terus waktu itu Taufik Basari bilang, “Mas ini banyak lo yang mau masuk fakultas hukum gara-gara Mas”. Terus saya dilihatin di medos itu.
Kalau dampak dari trending itu, ga ada tuh. Cuma apa ya, bukan risih juga, tapi apa yah. Jadi, misalnya, saat mau balik ke Yogyakarta, begitu masuk bandara banyak yang minta foto. Terus Minggu, ada teman dosen jadi manten, juga banyak yang minta foto. Di Mal Amplas, banyak yang minta foto juga (sambil tertawa).
  
Terkait dengan sidang di MK itu, bagaimana Anda bisa tenang meski keahlian dipertanyakan, bahkan soal jumlah publikasi yang Anda buat?
Jadi yang pertama, hampir seluruh kuasa hukum (pasangan capres) 02 saya kenal baik. Jadi teman kalau bergurau itu sudah biasa. Makanya, ketika mereka bertanya, saya anggap angin lalu saja, jadi jawabnya santai. Kedua, kalau saya terpancing, nanti konsentrasi saya buyar. Selain itu, saya anggap itu pertanyaan yang tidak subtantif. Mereka lebih cocok bertanya seperti itu di seminar. Bagaiamana ke depan, apa kelemahan dari Gakkumdu (Sentra Penegakkan Hukum Terpadu) dan segala macamnya. Itu kan pertanyaan di seminar, bukan di pengadilan yang di situ menjadi forum pembuktian. 
Selain itu, sebenarnya ketua tim kuasa hukum 02 tidak tahu kalau pada 1999, saya itu panitia pengawas pemilu bersama Pak Mahfud di DIY. Pada 2001, saya diundang KPU-nya Filipina. Saya diundang sebagai pemantau asing. Dari Indonesia cuma 10 orang yang diundang, termasuk saya. Terakhir, sejak 2017-2019 saya selalu memberikan pelatihan kepada Jaksa dan Polisi terkait dengan Gakkumdu. Jadi, kalau ditanyakan pengetahun tentang pemilu, ya ga begok-begok amatlah, he he he.

Bagaimana soal tudingan jika keterangan Anda tergantung permintaan klien? 
Saya pernah sebagai ahli dari seorang terdakwa tukang parkir di Yogayakarta. Jadi, dia dituduh membunuh di PN Sleman, padahal dia bukan pelakunya. Waktu itu probono, dan alhamdulillah bebas. Ini sekaligus membantah omongan bahwa saya menjadi ahli itu tergantung bayarannya. Itu saya paling puas, kejadiannya 2009 atau 20010. Lalu juga kasus Jessica dan kasus Ahok. Meskipun Ahok dipenjara, saya menyatakan dia tidak bersalah. Saya tidak pernah mengatakan Ahok bersalah, sama sekali tidak. Saya itu menjadi ahli netral, saya ahli yang dihadirkan dari Bareksrim, bukan dari Ahok. 

Lalu bagaimana soal berbagai langkah kontroversi Anda, termasuk pada 2011, menjadi saksi ahli bagi terdakwa korupsi padahal saat itu Anda merupakan Kepala Divisi Korupsi dan Perundang-undangan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM?
Soal 2011, itu bahkan saya didemo. Saya menjawab itu dengan menuliskan surat pengunduran diri (dari Pukat). Namun, sebenarnya langkah menjadi ahli di persidangan itu karena ahli kan netral. Keterangan dia (ahli) dasarnya ialah kebenaran ilmiah, objektif. Keterangan dia (ahli) akan dipakai jaksa untuk memberatkan atau dipakai pengacara untuk meringankan itu kan hal yang berbeda. 
Kalau kita dilarang menjadi ahli terdakwa korupsi, lalu pertanyaannya di balik begini, bagaimana seandainya jika suatu kasus direkayasa jaksa maupun kepolisian? apakah itu tidak termasuk mafia peradilan, lalu bagaimana kita menyikapinya? Kita juga bisa mengambil contoh dalam kasus Denny Indrayana. Kalau mau konsisten, harusnya saya enggak jadi ahlinya Denny Denny berstatus tersangka dalam kasus kasus dugaan suap program pembayaran paspor secara elektronik di Kementerian Hukum dan HAM pada 2015--. Saya menganggap kasus itu direkyasa, makanya kasihan Denny. Nah, lalu bagaimana dengan orang lain yang kasusnya bisa saya rekayasa?
Kedua, contoh lain bahwa keterangan ahli dapat dipakai jaksa maupun pengacara ialah ketika saya menjadi ahli dalam kasusnya Murdoko, (Ketua DPRD Semarang). Waktu itu saya diminta pengacaranya sebagai ahli. Sebelum sidang saya katakan, bahwa kalau jaksa pintar, pernyataan saya pun bisa dibantah. Dalam kasus itu, jaksa pandai dan bisa bertanya dan menggali lebih lanjut atas jawaban kuasa hukum dan itu (jadi) memberatkan. Akhirnya, dalam putusan, itu yang dipakai sebagai dasar pertimbangan hakim. (walaupun) Saya ahli yang diajukan terdakwa, saya kan enggak boleh berbohong, saya jawab apa adanya.

Kembali ke sidang MK sengketa hasil Pilpres 2019, jika demi kenetralan, apakah Anda bersedia jika diminta tim 02 untuk menjadi saksi ahli mereka?
Dengan tegas, 100 persen saya katakan tidak karena saya tidak melihat ada kecurangan di pemilu ini. Dari sisi hukum, gugatan (pemohon) itu lemah. 
Mereka (tim 02) menyentil agar MK jangan menjadi Mahkamah Kalkulator. Namun, saya sampaikan jangan juga hendaknya MK dijadikan Mahkamah Koran dan Kliping. Itu berdasarkan saya membaca gugatan mereka yang dari kliping berita. 
Namun, saya harus memberikan apresiasi terhadap Prabowo-Sandi dan tim kuasa hukumnya yang memindahkan peradilan jalanan ke Mahkamah Konstitusi. Ketika mereka memindahkan peradilan jalanan ke MK itu ialah cara yang paling elegan, beradab, dan konstitusional.

Sebagai pembelajaran, apa yang ingin Anda sampaikan kepada publik terkait dengan pascasidang MK kemarin?
Hikmah dari semua ini, jangan sampai kepentingan politik dijadikan untuk merebut kekusaaan yang sesaat. Itu membuat rakyat terbelah dengana cara terprovokasi dan teragitasi.

Apa menurut Anda penting bagi masyarakat untuk paham soal hukum? 
Ya karena selama ini, menurut saya untuk kepentingan kekuasan, rakyat dipecah belah, terjadi polarisasi. Mungkin dengan menerangkan kepada mereka hukum ini seperti ini, mungkin membaut mereka sadar tidak mau dipecah belah dan diadu domba.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya