Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
BERBICARA isu politik dan anak muda saat ini, tidak bisa lepas dari sosok Aurelia Vizal. Ia kerap menuliskan gagasan-gagasannya yang bertema isu sosial, politik, dan ekonomi. Dari gagasan yang ia tulis itu, kini Aurel kerap diundang menjadi pembicara dalam setiap seminar bertema politik dan anak muda.
Aurel juga aktif menjadi ambasador salah satu lembaga nirlaba Generasi Melek Politik, yang berfokus pada edukasi politik anak muda. Seusai menyelesaikan ujian nasional (UN), Aurel berencana mengambil studi Political Science di Kanada atau Asia Pasific Studies di Jepang. Muda berkesempatan berbincang dengan Aurel di sela kesibukannya menjadi pembicara diskusi Kopi Talk Media Indonesia yang membahas Ke Mana Suara Milenial Berlabuh, di kawasan Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Ia membeberkan ketertarikan awal pada isu politik, perubahan, dan perkembangannya pada suatu ideologi dan gagasan demokrasi bising. Simak petikan perbincangan Muda.
Dari mana kamu tertarik dengan isu politik?
Awalnya dari baca buku, saat SMP aku mulai baca-baca filsafat, lalu akhir SMP mulai merambah ke bahan bacaan politik. Saat itu belum intens, masih fokus pada materi sejarah dan filsafat. Semenjak banyak orang ngomongin politik, sekarang aku konsennya lebih ke membahas kebijakan pemerintah.
Bagaimana perkembangan pandangan ideologi kamu?
Boleh dibilang anaknya kiri banget. SMP kelas tiga menuju SMA awal, ya baca Sukarno, Karl Marx, tapi kemudian aku berpikir, kalau pemikirannya di sini doang enggak berkembang, jadi aku pakai antitesis lain. Pada 2017 akhir, mulai baca The Economist, mempelajari ekonomi daripada tema politik. Pandangan politik pun mengalami shifting, sekarang lebih ke liberal.
Aku ingin netral saja, enggak berat sebelah ke sisi kiri atau kanan, tetapi lama-kelamaan harus punya stance kuat. Enggak bisa ngawang terus. Meskipun aku kanan, tetap baca yang kiri. Ini jadi pergolakan batin, enggak nyaman pada satu ide. Kalau fanatik di satu daerah atau polarisasi satu ranah bakal susah buat kasih pandangan objektif untuk memberikan pendapat. Jadi, tetap bisa tawarkan dua sisi, enggak kanan atau kiri saja, yang ingin dituju ya objektivitas pendapat itu.
Apa sih kegiatan bareng Generasi Melek Politik?
Generasi Melek Politik itu lembaga nirlaba nonpartisan yang dibentuk pada 2017. Aku didaulat jadi ambasadornya baru Desember tahun lalu, saat Festival Relawan. Kami tidak hanya melakukan kaderisasi, tetapi juga edukasi politik, bisa dari gelar wicara (talkshow) maupun di media sosial, seperti Instagram. Kami juga melakukan program semacam simulasi sidang DPR dan bikin konten milenial menggugat.
Sesuai namanya, Generasi Melek Politik bukan hanya guide yang sudah tertarik sama isu politik, melainkan juga yang masih apatis. Itu bukan masalah vote, melainkan keputusan politik. Sesuai yang kita berikan, nonpartisan enggak bikin orang jadi polarisasi Prabowo atau Jokowi.
Apa makna melek politik menurut kamu?
Melek politik itu menurutku bukan hanya tahu cara kerja dan sistem, melainkan juga sejauh mana pemerintah intervensi kita, bahkan masuk ranah privat. Kalau kita enggak tahu akan tergerus.
Saya kurang setuju kalau politik sampai intervensi ranah ekonomi karena itu milik pasar dan konsumen. Kalau pemerintah sampai mengatur harga dan kuota impor, misalkan, sebagai konsumen kita mau tidak mau harus tahu itu untuk pertimbangan membeli barang prapesan (preorder) di toko daring, misalnya, ini harus tahu, dan jadi pengetahuan kita sendiri. Bukan semata caleg dan presiden. Politik itu ada di kehidupan sehari-hari.
Selama ini stigma politik jorok, kotor, tetapi sebenarnya bukan cuma jelek atau kotor, politik ada di kehidupan kita, bukan hanya sistem kebijakan pemerintah, politikus. Semua dalam kehidupan kita itu dipolitisasi. Harus sadar kalau politik dekat dengan kehidupan sehari-hari. Harus sadar tentang itu. Jadi, melek politik itu ya bagaimana mereka bisa ngerti politik dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang kamu maksud dengan ‘pasar ide demokrasi’?
Pasar ide demokrasi ialah yang paling ideal. Pasar paling bebas tanpa limit. Siapa pun bisa masuk dan keluar, berbasis sukarelawan, bukan dipaksa masuk.
Pasar ideal ialah pasar bebas. Kalau ada yang punya ide dikekang pemerintah dan dianggap ide itu subversif atau mengancam negara, ide secara moral salah, tetapi secara hukum tidak salah. Idenya enggak harus dilarang, kasih aja ide antitesis. Kalau ada banyak pilihan kan ya akan jadi petimbangan, seperti itulah pasar ide. Kebebasan pers ialah kebebasan yang paling bisa dijadikan indikator kalau mau melihat kadar demokrasi suatu negara.
Bagaimana kamu melihat kualitas politik anak muda ke depan?
Menurut aku, jika dibandingkan dengan generasi sebelum kita sudah lebih baik, lebih banyak lihat caleg yang masih muda. Sekarang pemerintah jual nama milenial, memang juga bakal hadapi bonus demografi, ini bisa gaet vote dengan menggaet milenial.
Sisi positifnya, pemerintah bawa nama itu (milenial) dan tertanam di bawah sadar. Harus ada orang yang representasikan anak muda di parlemen. Parlemen itu esensinya representasi dan kalau anak muda masih sedikit berarti belum optimal.
Orang lupa esensi parlemen itu representasi masyarakat. Kalau DPR-nya jelek berarti karena masyarakatnya begitu semua. Belum memiliki kesadaran memilih caleg mereka.
Dari dahulu, mikirnya orang yang ada di sistem, di pemerintah ekonomi, dibesarkan sewaktu mereka zaman Orba, otomatis masih di situ. Kalau shifting, perlahan akan terjadi perubahan dalam lingkup sosial. Bukan hanya ekonomi, politik, dan cara menangani suatu isu, misalnya lingkungan, akan ada perubahan besar.
Bagaimana kamu melihat nuansa politik kita sekarang?
Dari zaman dulu, menjelang pemilu polarisasi itu kental. Adanya polarisasi, sisi baiknya mau enggak mau para pendukung tiap paslon mempelajari karakteristik mereka.
Bagusnya dari sisi edukasi politik, ini bukan masalah sosial yang soal ribut atau enggak. Demokrasi yang baik ialah yang bising. Orang jadi punya tempat buat ngobrol.
Berantem sedikit tidak apa-apa, ini namanya pertarungan ide, hal yang sehat, dan itu proses politik suatu negara. Demokrasinya bagus, orang baru ngeh, tentang apa yang harus mereka lakukan sebagai warga negara. Ini proses yang normal. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved