Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
LAMPU sorot di atas panggung telah dimatikan. Satu per satu penonton meninggalkan Princess Theatre, Melbourne, Australia, dengan senyuman manis, puas. Malam itu, mereka baru saja menyaksikan babak pertama pertunjukan Harry Potter and The Cursed Child yang begitu memukau.
Ketika teater tidak lagi berpenonton, denyut kegiatan sebenarnya belum berhenti. Belasan jurnalis dari Asia dan Australia, termasuk saya, masih berkumpul di salah satu ruangan privat teater kebanggaan Melbourne itu pada 14 Februari.
Dengan ditemani kudapan dan minuman ringan, kami terlibat perbincangan seru mengulas pertunjukan yang begitu memikat hati. Sedikit informasi, Harry Potter and The Cursed Child ialah pertunjukan panggung dua babak berdasarkan cerita yang ditulis Jack Thorne, JK Rowling, dan John Tiffany.
Kisah ini berlatar 19 tahun pascapertempuran Hogwarts dalam epilog Harry Potter dan Relikui Kematian. Si penyihir besar beranjak dewasa dan bekerja sebagai Kepala Departemen Penegakan Hukum Sihir. Ia memiliki tiga anak hasil pernikahannya dengan Ginny Weasley: James Sirius, Albus Severus, dan Lily Luna.
Perbincangan kami begitu seru karena tidak ada satu pun yang menyangka bahwa medium teater mampu mengukir sukses atas sebuah karya yang sebelumnya sudah fenomenal. Novel yang memiliki tujuh seri itu sudah terjual 450 juta kopi di seluruh dunia dalam 79 bahasa sekaligus melahirkan film yang menjadi box office.
“Jujur saja, saya belum pernah membaca buku Harry Potter, begitu pula dengan film-filmnya. Tapi, buat saya pertunjukan tadi betul-betul luar biasa. Saya tidak sabar untuk menyaksikan babak kedua esok hari,” kata Lesley, seorang jurnalis paruh baya asal Malaysia yang rambutnya sudah memutih itu.
Saya sependapat dengan Lesley. Tidak mudah untuk mengangkat kisah yang sudah begitu menancap di benak jutaan penggemar lainnya. Tentu harus ada suguhan yang luar biasa, bagaimana misalnya, membuat sapu bisa terbang, mewujudkan mantra lewat goyangan tongkat sihir, dan menghadirkan dementor yang menghisap kebahagiaan penyihir.
Hadirkan sihir
Harus diakui suguhun spektakuler itu lahir berkat kepiawaian John Tiffany selaku sutradara serta kerja keras seluruh kru yang terlibat dalam pentas Harry Potter and The Cursed Child. Mereka cerdas dalam menghadirkan sihir yang kasat mata di atas panggung.
Seluruh ornamen disesuaikan dengan tema Harry Potter, mulai wallpaper, lampu berwujud naga, hingga karpet khas sekolah sihir Hogwarts. Penyesuaian itu dilakukan untuk memperkuat atmosfer dunia supranatural dalam menonton Harry Potter and The Cursed Child.
Bangunan cerita yang solid tentu harus mendapat kredit. Itu menjadi kekuatan tersendiri sehingga Harry Potter and The Cursed Child yang dipentaskan sekitar 2,5 jam dalam setiap babaknya bisa menyihir penonton.
Pertunjukan yang lama itu dijeda atau terdapat intermission selama 15 menit. Banyak penonton yang memilih duduk di dalam teater karena tidak sabar menyaksikan kelanjutan babak pertama.
Ketika babak pertama berakhir, ratusan penonton sebenarnya pulang sambil menyimpan rasa penasaran. Akankah dunia sihir dikuasai selama-lamanya oleh Lord Voldemort yang merupakan musuh bebuyutan Harry Potter.
Dalam cerita ini, Voldemort berhasil berkuasa lantaran Albus Severus, anak kedua Harry, melakukan kesalahan dengan pergi ke masa lampau menggunakan mesin waktu. Kementerian Sihir memang baru menyita sebuah mesin waktu ilegal milik mantan pelahap maut.
Albus Severus punya niat mulia, ingin menyelamatkan Cedric Diggory. Ia berupaya memperbaiki kesalahan sang ayah karena membiarkan Cedric tewas dalam sebuah pertandingan di masa lampau. Alih-alih berhasil, upaya Albus Severus malah berbuah petaka. Harry dalam cerita itu tewas setelah dikalahkan di Pertempuran Hogwarts. Voldemort pun berjaya.
Keep the secret
Saat kami sedang asyik memperbincangkan babak pertama pertunjukan Harry Potter and The Cursed Child, Sean Rees-Wemyss yang berperan sebagai Albus Severus tiba-tiba masuk ke ruangan dan berbaur. Ia mengambil sebuah burger kecil. “Saya sangat lapar,” kata Sean.
Ada salah seorang wartawan dari India yang iseng bertanya ke Sean tentang akhir cerita di babak kedua. Namun, Sean hanya tertawa kecil sambil berkata, “Keep the secrets!” Ucapan tersebut malah membuat rasa penasaran semakin bertambah.
Namun, semua pertanyaan yang menggelayut akhirnya terjawab keesokan harinya. Tidak ada lagi kegelisahan untuk mengetahui siapakah si anak terkutuk tersebut, apakah hubungan antara si anak terkutuk, Albus Severus, dan Voldemort, serta apakah Voldemort bisa disingkirkan untuk selama-lamanya.
Tidak hanya tuntas menjawab rasa ingin tahu, babak kedua benar-benar memuaskan dahaga atas aksi panggung teater yang begitu spektakuler. Itu ditabalkan lewat derai tepuk tangan para penonton yang tiada hentinya ketika seluruh pemain menjura ke arah audiens.
John Tiffany, sang sutradara, mengatakan kisah Harry Potter ibarat kado di Hari Natal. Memberitahukan isi kado sebelum Hari Natal tiba sama saja merusak pesta. Ia sungguh sedih manakala ada orang tega ‘spoiler’ pertunjukan yang masih dipentaskan.
Sukses digelar di Inggris dan tengah berlangsung di Lyric Theatre New York Amerika Serikat, pergelaran Harry Potter and the Cursed Child menyambangi Melbourne sebagai kota ketiga. “Saya harap tidak ada satu pun dari kita yang tega merusak kado di Hari Natal ini,” pungkas Tiffany. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved