Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
Masa depan Korowai akan tergerus saat mereka bergantung pada kebutuhan akan beras, pakaian, dan lain sebagainya. Mereka terancam harus memiliki uang dengan cara menjual tanah lapang dan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
SUKU Korowai, suku yang meski tinggal diam di pedalaman Papua sangat terkenal di Nusantara maupun di mancanegara. Sayangnya, suku ini dikenal bukan karena keindahannya maupun kekuatan budayanya, melainkan sebuah stigma buruk yang menyatakan bahwa suku ini merupakan salah satu suku kanibal yang berada di dunia.
Hal itu justru sangat memprihatinkan karena dengan adanya stigma itu banyak orang yang takut untuk datang kesini. Lalu, apakah stigma itu benar terjadi atau hanya sebuah prasangka yang terjadi tanpa melihat ke dalam terlebih dahulu.
Dalam hal ini, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai bagaimana suku Korowai ini ada dan kebudayaannya seperti apa. Suku Korowai sering kali diartikan sebagai seorang suku primitif yang tinggal di atas pohon, telanjang, dan masih memakan manusia. Bahkan, National Geographic sendiri memberikan julukan manusia rumah pohon kepada suku Korowai ini.
Namun, suku Korowai sebenarnya memiliki penamaan tersendiri di Papua sana. Kholufo atau manusia hulu sungai, inilah nama sebenarnya dari suku Korowai menurut Rhidian Yasmita Wasaraka dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku Perempuan Perkasa: Belajar Praktik Kesetaraan Budaya Suku Korowai, Kamis (14/2).
"Kalau kita mencari di mesin pencari di internet tentang Korowai, pasti yang terdapat di sana hanya terkait dengan kanibal. Sepertinya, Korowai terlihat seksi jika dikaitkan dengan isu kanibal. Saya tidak tahu, mungkin ini semua terkait dengan banyaknya pemberitaan mengenai suku Korowai itu memakan manusia. Itu terkadang membuat saya geram," ungkap perempuan yang biasa disapa Dian tersebut.
Dian kemudian menjelaskan bahwa kanibalisme yang terjadi di Korowai bukan tanpa sebab, prosesi ini rupanya bisa dikatakan cukup rumit untuk sekadar dimengerti orang awam. Suku Korowai memiliki hubungan erat dengan suku Kombai. Hal ini terkait dengan masalah kekerabatan sehingga mereka mengambil peran sebagai eksekutor dalam proses eksekusi hukuman mati.
Hukuman mati ini karena adanya permasalahan jika seorang suku Korowai diketahui mempraktikkan ilmu hitam atau dalam istilah Papua disebut suanggi dan dalam istilah Korowai disebut khahua. Khahua ini akan diberikan hukuman mati dan tidak akan dikuburkan. Dian menambahkan suku Korowai memercayai khahua ini akan bangkit dari kuburnya dan bahkan jika dikuburkan, arwah mereka akan mengganggu masyarakat. Maka dari itu, suku Korowai memisahkan tubuhnya dan terjadilah prosesi yang dikatakan istilah kanibalisme menurut media-media yang tersebar di dunia maya.
"Hal mengenai kanibalisme ini sudah sewajarnya dikesampingkan dan saat ini, sebetulnya sudah tidak terjadi lagi perihal kanibalisme ini. Terakhir mereka melakukan prosesi eksekusi mati pada tahun 2007 dan saat ini belum pernah lagi ada kejadian serupa," lanjut perempuan keturunan Papua tersebut.
Rumah tinggal
Selain kanibalisme, khaim, merupakan hal lain yang sangat luar biasa yang perlu diketahui mengenai susku Korowai. Khaim merupakan sebuah rumah tinggal yang biasa dihuni satu keluarga inti ditambah mertua atau keponakan. Rumah ini dibangun di atas pokok batang pohon dengan ketinggian 4 meter sampai 6 meter dari permukaan tanah. Rumah ini biasanya berusia 2 sampai 5 tahun, bergantung pada material pembuatannya. Setelah rumah ini rusak, penghuninya akan berpindah dan membangun lagi rumah yang baru.
"Banyak yang menyalahartikan khaim dan khaim dhuof. Para jurnalis, turis, pembuat film, dan fotografer yang meliput di daerah Korowai menyatakan bahwa khaim dhuof sebagai tempat tinggal suku Korowai. Memang keduanya memiliki kemiripan yang signifikan, tapi sebenarnya khaim dhuof itu merupakan tempat bersantai di siang hari dan menikmati pemandangan dari atas karena letaknya pun sangat tinggi," ungkap Dian.
Hutan, juga merupakan hal penting bagi suku Korowai. Karena bagi perempuan Korowai, Hutan layaknya sebuah pasar yang menyediakan segala macam hal bagi mereka, mulai bahan makanan, bahan bangunan, obat-obatan, hingga sandang pangan. Bahkan, hutan menyediakan secara gratis semua kebutuhan suku Korowai asalkan ada kemauan untuk mengolahnya.
Dalam hal ini, Dian menyampaikan sebuah kegundahannya mengenai banyaknya hutan di Korowai yang kini dipakai untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentunya berpengaruh kepada berkurangnya kebutuhan makanan mereka termasuk sagu dan ulat sagu yang menjadi makanan pokok mereka. Melihat permasalahan ini, pemerintah justru menyalahartikan dan malah memberikan bantuan berupa beras, mi instan, pakaian bekas, ikan kaleng, susu formula, dan semua makanan kota.
Hal ini bukannya tidak baik bagi mereka, melainkan mereka akan melupakan hal yang biasa mereka lakukan dan menjadikan sebuah perubahan pola makan. Hal ini berimbas kepada perubahan makanan dari sagu yang memiliki proses lama untuk akhirnya bisa dinikmati menjadi beras yang dapat langsung dimasak, begitu pula dengan mi instan yang dengan mudah bisa dimakan dalam bentuk dimasak maupun tidak.
Suku Korowai yang terbiasa memakan makanan dengan unsur gizi yang baik kini mulai merasakan adanya bentuk modernisasi dari bantuan makanan yang justru merusak pola kesehatan mereka. Selanjutnya, hal itu berefek panjang. Secara tidak langsung melupakan tradisi dan kebudayaan yang sudah secara turun-temurun mereka lakukan. Tak heran jika nantinya masa depan budaya Korowai akan tergerus dengan kebutuhan akan beras, pakaian, dan lain sebagainya yang mereka perlukan, dan tentunya mereka pun harus memiliki uang yang dapat mereka peroleh dengan menjual tanah lapang dan hutan yang tadinya menjadi sumber kehidupan mereka. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved