SEPERTI mobil tanpa lampu, begitulah generasi pertama robot Atlas. Pada kelahirannya pada 2003 itu robot buatan Boston Dynamics yang bekerja sama dengan Badan Proyek Penelitian Pengembangan Pertahanan (DARPA) Amerika Serikat harus selalu terhubung dengan ke sumber listrik untuk dapat berfungsi.
Akibatnya meski dirancang untuk dapat melakukan aktivitas kasar manusia, Atlas jadi tidak banyak berguna. Ibarat mobil tanpa lampu tadi, fungsinya jadi serbaterbatas. Ruang gerak Atlas hanya pada jarak tertentu. Ditambah lagi ketika dioperasikan, ia sangat bising.
Namun, kelemahan-kelemahan mendasar itu akhirnya bisa diatasi. Boston Dynamics, yang kini dimiliki Google, baru-baru ini merilis versi terbaru Atlas. Selain sedikit lebih tinggi dan berat, sekarang tingginya 1,88 m dan berat 156,4 kg, Atlas versi baru kini dapat bekerja tanpa harus terhubung kabel.
DARPA menjelaskan sekitar 75% desain Atlas telah diubah. Hanya bagian lutut ke bawah yang masih sama dengan versi awal.
Itu berarti tidak hanya Atlas bertenaga baterai dan tidak bising, tetapi kemampuan motoriknya juga meningkat. Jangkauan tangan Atlas kini lebih luas dan kuat. Atlas sekarang ini bahkan bisa melakukan aktivitas yang lebih halus, seperti memutar kenop pintu.
Di sisi lain, Atlas juga masih dilengkapi dengan tali di bagian atas. Namun, tali itu hanya berfungsi sebagai pengaman.
Versi baru Atlas itu menjadi gambaran pesatnya perkembangan robot humanoid (menyerupai manusia). Bahkan banyak ahli yang memprediksi pada 2045 robot-robot sudah dapat benar-benar menggantikan tugas manusia sepenuhnya.
Humanoidialah robot dengan kemampuan gerak dan kognitif menyerupai manusia. Jika robot itu juga dibuat dengan penampilan mirip manusia, termasuk kulit yang elastis, ia disebut sebagai android.
Dari Asia, baru-baru ini robot Kibo menÂcetak dua rekor dunia Guinness. Ia menjadi robot pertama yang menemani astronaut di angkasa luar dan robot yang mencapai jelajah tertinggi.
Robot buatan Jepang bertinggi 34 sentimeter itu tinggal di stasiun angkasa luar internasional selama 18 bulan. Selama di sana, robot yang bicara dalam bahasa Jepang itu menjadi teman ngobrol para astronaut.
Sebagai negara Asia terdepan dalam teknologi, Jepang juga punya banyak robot humanoid lain. Asimo, misalnya, ialah robot yang bisa berjalan dan berlari layaknya manusia.
Pada 2005, atau lima tahun setelah kelahiran pertamanya, kemampuan Asimo diÂtingkatkan sehingga dapat berjalan dengan kecepatan 6 km/jam, dapat berinteraksi dengan manusia, memegang piring, dan menyajikan makanan.
Merawat manusia Perkembangan teknologi robot humanoid tidak hanya mengarah ke kemampuan ketangkasan dan kecerdasan, tetapi juga kemampuan emosional. Seperti Romeo yang merupakan robot dengan ukuran anak 8 tahun dengan tinggi 1,4 m dan berat 40 kg. Romeo ialah robot yang diciptakan untuk memberikan perawatan dan bantuan pribadi dengan elemen yang lebih emosional.
Seperti dilansir www.wtvox.com, Romeo terbuat dari serat karbon dan karet sehingga bobotnya ringan. Ia dirancang untuk menghindari risiko cedera pada orang yang akan menggunakannya.
Saat ini, Romeo bisa berjalan, melihat lingkungan sekitarnya dengan tiga dimensi, mendengar, dan berbicara. Menurut rencana, uji coba robot tersebut dalam kondisi dunia nyata diproyeksikan dilakukan 2016, dengan tujuan akhir agar dapat digunakan di panti-panti jompo pada 2017 atau 2019.
Pengembangan robot Romeo tersebut sebagian besar didanai pemerintah Prancis dan Komisi Eropa dengan anggaran proyek 37 juta euro untuk tujuh tahun.
Perusahaan pengembangan robot asal Prancis lainnya, Aldebaran Robotics, membuat robot yang dapat menjadi pendamping di lingkungan rumah. Robot bernama Nao ini dirilis pada 2008 silam dan mulai dipasarkan untuk umum sejak 2011.
Versi terbaru dari robot tersebut ialah 2014 Nao Evolution. Hingga awal 2015 Nao tercatat sudah terjual sebanyak 5.000 unit dan sudah digunakan lebih dari 50 negara. Sementara itu, di jerman, para ahli bahkan membuat robot yang pandai melakukan tari tiang (pole dance).
Ancaman Kekhawatiran dampak buruk dari perkembangan robot humanoidtelah muncul lama. Salah satunya karena alasan akan berkurangnya lapangan kerja untuk manusia. Namun, hal itu tidak akan mudah terjadi jika melihat ulasan pendiri perusahaan Marylin Monrobot, Heather Knight.
Dalam artikel yang diterbitkan tahun lalu di situs The Brookings Institution, Knight yang juga kandidat doktor di Carnegie Mellon melihat ada filter budaya di setiap negara terhadap keberadaan robot.
Menurutnya, robot humanoid sejauh ini baru diterima luas di Jepang. Salah satu adalah karena pemikiran masyarakat Jepang bahwa manusia, hewan, dan objek lainnya memiliki jiwa yang serupa dan semuanya ingin menciptakan harmoni. Keterbukaan masyarakat Jepang terhadap objek kebendaan juga bisa dilihat dari serial kartun populer Astroboy. Robot itu digambarkan diciptakan untuk menggantikan anak yang meninggal dunia.
Sementara itu, di negara lain, khususnya di negara barat, robot kerap digambarkan mengancam keberadaan manusia. Di sisi lain, Knight mengakui mungkin saja penerimaan masyarakat barat berubah seiring dengan waktu. Untuk itu, menurutnya, dibutuhkan kebijakan dari pemerintah masing-masing untuk membatasi peran robot. (Darpa.mil/M-3)