Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
PESAWAT kecil mendarat di negeri antah-berantah. Saat pesawat itu mulai merendah, Matara, seorang anak dari Jakarta, melihat hamparan hijau yang tidak terlalu lebat, juga tak benar-benar hijau. Hijau yang kering dan lesu, tapi terlihat ramah dan tak menakutkan baginya.
Jelas itu bukan hamparan belantara Amazon tempat orang-orang mencari jejak anaconda dan bukan pula rimba Kalimantan, rumah terakhir para orang utan.
Lalu di mana ia? Turun dari pesawat, anak perempuan yang akrab disapa Mata itu kembali menaiki mobil menuju ke hotel. Namun, di tengah perjalanan, bbrrraaakkk, mobil yang ia tumpangi ini menabrak seekor sapi yang memang berkeliaran di tempat ini. Mata tak tahan hanya diam saja di dalam mobil, ia keluar dan melihat sapi berwarna cokelat itu tergeletak berlumuran darah.
Seorang perempuan datang kemudian berjongkok di samping sapi itu, mengelusnya sambil terus menangis. Reinar, sang sopir kebingungan. Tenang sobat, kisah sedih dan menegangkan itu hanyalah fi ksi kok. Kak Rona Mentari, sang pendong eng itu, menceritakan kisah
Matara yang ada di novel ciptaan Kak Okky Madasari dengan penuh ekspresi, terkadang ia selingi dongeng dengan lagu-lagu ceria pada Jumat (16/11) di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia Jakarta.
Ya, Kak Rona hari itu mendongeng kisah novel anak berjudul Mata di Tanah Melus yang menceritakan kisah perjalanan anak perempuan 12 tahun yang pergi ke Belu, sebuah kota kecil di Nusa Tenggara Timur, di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. “Novel ini merupakan novel seri pertama dari seri novel anak yang bercerita perjalanan Matara menjelajahi kekayaan orang, tempat, budaya, etnik, cerita, dan legenda kepulauan Indonesia. Sementara dia bepergian melalui sejarah waktu, bahkan tempat tersembunyi dan rahasia, bertemu dengan orang yang berbeda, menghasilkan cerita menawan,” kata Kak Okky dalam peluncuran bukunya.
Kisah Matara memang menegangkan sobat, apalagi di salah satu bab buku yang memiliki tebal 192 halaman itu mengantarkan Matara pada Suku Melus yang diperkirakan lenyap dari dunia modern. Tidak hanya itu, rencananya buku kedua Kak Okky pun bercerita mengenai pertualangan Matara di Pulau Gapi.
Pulau yang berada di Ternate di wilayah timur laut kepulauan Indonesia, salah satu pusat perdagangan dan ekonomi kuno di abad 15-17 ketika negara-negara Barat memulai perjalanan mereka untuk menemukan sumber daya alam dan menjajah Asia, Afrika, dan Amerika. Di sini, Matara menyaksikan kedatangan kapal-kapal besar yang dimiliki orang kulit putih.
Mereka dengan cepat mengubah pulau itu menjadi pusat dunia, saat Alfred Wallace melakukan penelitiannya dan mengirim surat kepada Charles Darwin dari sebuah pulau di pulau itu. Matara juga mengalaminya saat ketika bendera Merah Putih berkibar di mana-mana, tetapi membuat pulau itu terlupakan. Matara dan dua sahabatnya kemudian kembali ke masa depan untuk menyelamatkan harta Pulau Gapi. “Novel ini memang memadukan cerita nyata yang dimodifikasi hingga memancing imajinasi anak-anak sehingga selain seru, juga mengenalkan sejarah dan keunikan dari daerah tersebut,” kata Kak Okky. Apa saja yang menarik di buku ini? Yuk simak.
Novel tokoh
Matara yang terbiasa menggunakan mobil saat berpetualang, kini harus berjalan kaki. Pasalnya, uang milik Matara digunakan membayar sapi yang ditabrak mobil sewaannya. Beruntung, Mata bertemu dengan Tania, gadis seusianya yang mengenalkan Mata pada kehidupan di tanah Melus ini.
Bersama Tania, Mata pun menemukan sesuatu yang unik saat melakukan ritual dan bertemu dengan makhluk aneh. “Di Belu kental dengan tradisi adat, bahkan masih meyakini hal-hal mistis,” kata Kak Okky. Tak hanya itu, ia bertemu beberapa tokoh yang dianalogikan dari cerita yang berkembang di masyarakat Belu pada buku ini.
Di antaranya, laki-laki bernama Atok dari Suku Melus. Ia diceritakan memiliki kecerdasan istimewa karena bisa berbicara dalam berbagai bahasa. Atok mengira, Matara ialah orang yang disusupkan untuk merusak bangsa Melus. Namun, dirinya meyakinkan bangsa Melus tidak akan menyakiti anak-anak dan perempuan. Matara pun bertemu Bei Nai, Dewa Buaya yang juga Pelindung Melus.
Dalam cerita Dewa Buaya ini menggambarkan manusia separuh
buaya. “Dalam dunia nyata, masyarakat Belu sangat dekat dengan buaya karena nenek moyang mereka dipercaya berubah menjadi buaya. Sampai saat ini kepercayaan itu pun masih terus terjaga,” kata Kak Okky. Ada pula Ratu Kupu-Kupu yang ditemui Matara. Ia digambarkan sebagai manusia dengan sayap indah. Ia hidup abadi bersama jutaan kupukupu lainnya. Ratu Kupu-Kupu membawa Matara berjalan menyusuri kebun bunga dengan diiringi uang kupu-kupu dengan sayap beraneka rupa. Bunga, daun, dan aneka tumbuhan lezat pun bisa dipetik dan langsung dimakan Matara. “Cerita Ratu Kupu-Kupu dihadirkan karena memang di Belu masih banyak sekali sih,” ungkap Kak Okky.
Anak kurang bacaan
Kak Okky bukan menghadirkan cerita pada novelnya secara sembarangan. Untuk mengetahui Suku Melus, hingga kepercayaan yang berkembang di sana, Kak Okky melakukan riset lo. Ia menghabiskan 20 hari riset di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, dan 10 hari di Ternate untuk seri novel kedua berjudul Mata dan Rahasia Pulau Gapi.
Sementara itu, untuk buku ketiga yang terbit Juni 2019, KaK Okky menghabiskan waktu 10 minggu di Kabupaten Bajo. Kak Okky sengaja menghadirkan cerita Mata yang terinspirasi dari kisah perjalanannya bersama anak. “Ya, saya menginterpretasikan anak saya menjadi tokoh Matara, ceritanya pun diangkat dari perilakunya,” kata Kak Okky.
Bagi kak Okky, kehadiran anaknya ini pun dapat dengan mudah mengembangkan ceritanya, tapi tetap pada koridor anak-anak. Ditambah anak-anak zaman sekarang kekurangan bahan bacaan. Padahal, di usia anak-anak cepat menangkap cerita, termasuk sejarah dan kebudayaan daerah. “Saya yakin pada usia yang krusial, anak-anak memerlukan bacaan yang berkualitas. Dengan novel ini saya berharap para pembaca cilik secara tidak langsung belajar sejarah, antropologi, hingga geografi ,” ucap Kak Okky.
Mengenai penulis
Kak Okky Madasari dikenal dengan karya-karyanya yang menyuarakan kritik sosial. Pada 2012, Kak Okky meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk novelnya Maryam. Selama tiga tahun berturut karya-karyanya masuk lima besar penghargaan tersebut. Karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Arab lo sobat.
Novel-novel yang ia tulis di antaranya Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), dan Kerumunan Terakhir (2016). Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2017) merupakan kumpulan cerita pendek yang ia tulis dalam satu dekade atau 10 tahun. Setelah buku Mata di Tanah Melusdan Mata dan Rahasia di Pulau Gapi, akan ada dua novel lagi yang diterbitkan dalam rangkaian novel kisah Mata menjelajahi Nusantara lo. Yuk
sobat Medi ikut baca. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved