Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Kala Nusantara Memikat Tagore

Furqon Ulya Himawan
24/11/2018 04:15
Kala Nusantara Memikat Tagore
(Dok MI)

PADA 1913, seorang pujangga dari India memenangi penghargaan Nobel Sastra melalui karya antologi puisinya berjudul Gitanjali (1912). Ia menjadi orang non-Eropa pertama yang mendapatkan penghargaan bergengsi di dunia kesusatraan tersebut. Ialah Rabindranath Tagore, seorang pujangga yang lahir di Kolkata, India, pada 7 Mei 1861.

Tak sedikit predikat yang Ta­gore sandang. Selain pujangga, Tagore juga seorang filsuf dan pemikir keagamaan, seorang pemimpin intelektual yang membuat pembaruan dalam dunia pendidikan. Ia humanis yang selalu mengampanyekan perdamaian dunia. Ia pun seorang pengembara yang mendokumentasikan perjalanannya dengan apik.

Dokumentasi Tagore berupa surat dan catatan harian. Salah satunya, ketika Tagore melawat ke Bali dan Jawa pada 1927. Lawatan itu bukanlah lawatan biasa. Dibawanya misi memperkaya pengajaran di lembaga pendidikan yang dia dirikan di Santiniketan. Hal tersebut terungkap dalam buku berjudul Indonesia di Mata India, kala Tagore Melawat Nusantara.

“Membacanya seperti melakukan perjalanan spiritual dan mendapatkan gambaran apa yang dialami Tagore,” kata Guru Besar Sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo, saat peluncuran buku Indonesia di Mata India, kala Tagore Melawat Nusantara, di acara pembukaan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2018, di Yogyakarta, Kamis (22/11).

Sebagai guru besar sejarah, Joko Suryo menilai buku antologi catatan lawatan Tagore tersebut sangat penting diketengahkan kembali untuk membaca ulang kultur Indonesia. Pasalnya, buku ini me­ngupas catatan perjalanan dari perspektif sejarah yang mampu menunjukkan seberapa luhur budaya dan kultur Nusantara saat itu.

Salah satu yang Joko Suryo soroti ialah pidato Tagore saat penganugerahan Nobel Sastra, seperti tertulis di bab kedua.

Dalam pidatonya saat itu, Ta­go­re mengatakan ingin mendirikan sebuah lembaga pendidikan berupa universitas yang universal. Kampus itu, dalam bayangan Tagore, merupakan sarang dunia yang mempertemukan kebudayaan barat dan timur sehingga mampu menjadi pusat belajar berbagai bangsa di dunia.

Pandangan Tagore itulah yang mendasari pemikiran dan laku spiritualnya sebagai seorang pujangga yang humanis. Itu terbukti ketika Tagore menulis catatan harian dan karya sastra berupa puisi saat melawat ke Jawa dan Bali setelah niat­annya mendirikan universitas tercapai.

Saat melawat ke Jawa misalnya, Tagore mengunjungi sejumlah tempat seperti sekolah Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta. Sekolah itu dianggap memiliki model pendidikan serupa dengan Santineketan, yaitu  pendidikan berbasis kerakyatan dan kemanusiaan.

Sementara itu, saat melawat ke Surakarta, ia berkesempatan tinggal di istana Mangkunegara VII sebagai tamu istimewa. Di situ, ia belajar membatik dan tarian Jawa yang membuatnya terkagum-kagum. Inspirasi itu, Tagore jadikan sebagai materi atau kurikulum pendidikan di Santiniketan.

Tagore pun terpesona pada Candi Mendut dan Candi Borobudur di Jawa Tengah saat ia bertandang ke sana selama 22-23 September 1927. Ia memberikan catatan dan mengakui kekagum­annya pada relief-relief Candi Borobudur karena mampu menggambarkan detail kehidupan rakyat jelata dan hewan sebagai salah satu elemen yang dipengaruhi ajaran Buddha. Saking terkesannya, Tagore kemudian menciptakan puisi berjudul Borobudur -- itu pula mengapa ada patung Tagore di depan Hotel Manohara Center of Borobudur Study.

“Tagore memandang masyarakat Jawa sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya tinggi sekaligus mampu memelihara peradaban dan budaya yang di India sendiri sudah tidak ada. Saya tangkap rasa hormatnya kepada Indonesia yang tersirat dari teks yang dia uraikan dalam puisi dan catatan hariannya,” ujar Joko Suryo.

Kedatangan Tagore ke Jawa dan Bali pada saat itu pun barangkali tidak terlepas dari keinginan melihat pengaruh ‘Indianisasi’ kedua pulau tersebut pada era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha kuno di Nusantara yang menunjukkan kedekat­an historis dan budaya di masa silam.

Kultur kemajemukan
Lebih lanjut, buku setebal 418 halaman yang disusun Iwan Nurdaya-Djafar tersebut, menurut Joko Suryo, merupakan materi yang sangat substantif dan komprehensif untuk mengetahui kultur budaya masyarakat Indonesia pada masa lalu, yakni kultur kemajemukan yang menjadi dasar Pancasila.

Catatan Tagore yang terdokumentasi dengan baik pun menjadi bukti pentingnya literasi dalam kehidupan, sekaligus menggambarkan perpaduan peradaban yang berarti untuk menghasilkan identitas Nusantara. “Ini perlu mendapat perhatian masyarakat saat ini untuk mengingat dan menyadarkan kembali tentang makna persahabatan sebagai bagian berkebudayaan dan beradab,” imbuh Joko Suryo.

Itulah mengapa buku Indonesia di Mata India, kala Tagore Melawat Nusantara diluncurkan dalam BWCF 2018, yang mengambil tema Traveling & diary, membaca ulang catatan harian pelawat asing ke Nusantara, dari Yi Jing, Ibnu Batuta sampai Wallacae.
“Keindonesiaan adalah kultural, artinya kebinekaan kita,” kata Romo Mudji Sutrisno dari tim kuratorial BWFC 2018.

Kebinekaan yang menjadi kultur Indonesia itu ingin kembali diketengahkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya dengan cara menziarahi buku-buku yang memuat perspektif akan kemajemukan bangsa kita, seperti halnya catat­an Tagore. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya